Marketing Trends

Apa Dampak Thrifting Pakaian yang Menjamur terhadap Lingkungan?

Ilustrasi ragam pakaian (Foto: freepik/pch.vector)

Tren membeli pakaian bekas impor atau thrifting semakin menjamur di Tanah Air. Lapak baju bekas daring maupun luring hampir di setiap kota ada. Bahkan, banyak pedagang yang menjual baju bekas per bal untuk dijual kembali oleh pihak ketiga. Mereka menawarkannya secara online maupun datang langsung ke toko.

Banyak pakaian yang bermerek, harga murah dan kualitas baik menjadi daya tarik konsumen memburu pakaian bekas yang berasal dari luar negeri. Bukan hanya mencari harga murah, cara ini juga dijadikan wujud peduli lingkungan guna mendukung slow fashion.

Para penjual pakaian thrifthing ini bisa ditemui di berbagai kota di Indonesia, salah satunya di Bekasi, Jawa Barat. Salah satu pedagang pakaian bekas, Nunik Unsaeni, mengungkapkan usaha yang digelutinya cukup cerah belakangan ini. Remaja di kota ini kian banyak yang menyukai pakaian branded dengan harga yang murah.

“Saat ini masyarakat khususnya muda-mudi Bekasi ingin memiliki baju yang bermerek dengan harga yang murah,” kata Nunik, saat dikonfirmasi SWA Online melalui telepon, Selasa (21/02/2023)

Hal yang diungkapkan Nunik bisa dilihat dari banyaknya toko pakaian bekas atau thrift store di berbagai sudut Kota Bekasi. Para remaja di sana, selain suka pakaian bermerek, juga memilih pakaian bekas karena model atau bentuk yang unik, corak atau motif yang jarang dan berbeda dari model baju yang dijual di pasaran.

Dia mengaku, saat memulai usaha tersebut 8 tahun silam, merogoh kocek sebesar Rp1,2 juta. Kini keuntungan yang didapatkan mencapai Rp10 juta per bulan. Uniknya, peminat baju di toko ini, tidak hanya berasal dari Kota Bekasi, tetapi juga kota lain, karena di samping berjualan di toko fisik, ia juga berjualan di platform Tokopedia dan Carousell.

“Dalam hal memilih pakaian bekas yang saya jual, saya tidak pernah beli per bal karena risikonya besar, banyak pakaian yang rusak total hingga tidak bisa dijual. Saya beli satuan, memang harganya lebih mahal, tapi minim risiko dan sesuai dengan yang saya harapkan. Saya biasanya ambil 100 pakaian dan minimal 50 pakaian, tapi jika kondisi pakaian banyak yang rusak, saya hanya mengambil bisa 5 pakaian saja. Cuma jarang dapat yang bermerek, klo pun ada, dijual dengan harga di atas Rp 35.000,” ujar Nunik.

Nunik membanderol baju yang dijualnya berharga dari Rp 35. 000 ribu hingga Rp70.000 ribu. Sedangkan untuk celana, harga yang diterapkan berkisar sekitar Rp 70.000 ribu hingga Rp 90.000 ribu. Dia menambahkan, kini pakaian yang berasal dan bermerek Korea dan Jepang memiliki peminat yang lebih banyak. Kebanyakan baju dan celana itu berbahan dan desain yang unik.

Pakaian bekas berdampak pada lingkungan

Tatang Khalid Mawardi, S.ST,. M. Sn selaku pengajar mata kuliah tekstil di Esmod Jakarta dan Politeknik Kreatif Sembiring mengatakan sampah pakaian bekas impor ini semestinya menjadi perhatian sebagai dampak tren thrifting.

“Semakin banyaknya pakaian bekas masuk ke Indonesia di setiap kota, berarti residunya banyak, kita yang rugi dong. Di satu kota aja bisa mennimbun limbah fesyen pakaian bekas impor, ada berapa banyak residu yang tertimbun dan tidak terkontrol. Alhasil, bukannya menjaga lingkungan, tapi jadi penyumbang limbah fesyen juga,” ujarnya Tatang saat di konfirmasi SWA Online, Senin (27/02/2023)

Tren thrifting, menurut Tatang, sebetulnya berdampak positif pada lingkungan jika pakaian bekas yang dijajakan berasal dari produk lokal. Sehingga dapat mengurangi jumlah limbah fesyen dalam negeri karena pakaian bekas terus bersirkulasi dan memberikan manfaat, meski berganti pengguna.

“Peran pemerintah terhadap jual beli pakaian thrifting sangat diperlukan. Sudah ada payung yang dimiliki mestinya bisa terapkan secara maksimal untuk mengurangi dampak limbah fesyen bekas impor yang semakin tak terkendali,” lanjutnya.

Menurut Tatang, produk lokal dalam negeri sekarang kualitasnya juga semakin bagus. Banyak produk lokal yang sifatnya slow fashion. Para pemilik usaha fesyen juga terbuka dengan konsumen untuk memberi masukan tentang bahan, mode dan corak yang dibeli. Lantas, membuat pelaku usaha tersebut terus belajar membenahi kualitas produksi dan membuat pakaian dengan bahan-bahan yang diminati atau digemari pasar di dalam negeri.

Untuk mengatasi fast fashion, lanjut , Tatang thrifting bukanlah caranya. Produsen harus ikut bertangung jawab atas pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari produknya. Produsen bisa mendaur-ulang kembali dijadikan serat, balik lagi jadi fabric, fabric jadi fesyen baru.

“Atau cara lain bisa dengan membangun komunitas atau gerakan tertentu yang bertanggung jawab untuk khusus memilah pakaian berdasarkan jenis bahan dan mengolahnya kembali atau reworked. Misalnya memilih bahan jeans, pilih yang sama terhadap berat bahan jeans, lalu membuat pola desain dengan gaya baru hingga bisa dijual kembali. Beberapa orang kreatif menangkap peluang ini dengan memberikan sentuhan baru pada produk-produk bekas itu sehingga terkesan baru. Memanfaatkan pakaian bekas sama artinya dengan memperpanjang usianya sehingga ikut berperan dalam menyelamatkan bumi dari limbahnya” terangnya.

Tidak ada perhitungan pasti berapa banyak limbah fesyen di Indonesia. Namun, earth.org — platform berita dan data lingkungan – baru-baru ini melaporkan, dari 100 miliar helai pakaian yang diproduksi setiap tahun, 92 juta ton berakhir di tempat pembuangan sampah. Singkatnya, ini setara dengan truk sampah besar penuh pakaian yang berakhir di tempat pembuangan sampah setiap detik. Jika tren ini berlanjut, jumlah limbah fesyen diperkirakan akan melonjak hingga 134 juta ton per tahun pada akhir dekade ini.

Mengingat sejumlah fakta dampak buruk industri tekstil, sudah saatnya masyarakat ikut berpartisipasi menyelamatkan bumi dengan cara bijak dalam berpakaian. Dia membagikan beberapa cara agar pakaian bisa dimanfaatkan secara maksimal dan tidak berakhir menjadi sampah. Caranya dengan membeli pakaian sesuai kebutuhan, hindari perilaku belanja kompulsif sebelum beli cek dulu di lemari apakah sudah punya atau belum. Coba dengan membeli pakaian dengan warna yang sama atau senada agar baju yang dibeli bisa dipadupadankan dengan pakaian yang sudah dimiliki.

“Jika ingin mengurangi pakaian di dalam lemari, maka lakukan cara yang diterapkan Marie Kondo, tapi pakaian hasil decluttering bukan untuk dijual, tapi sebagai bakti sosial kepada orang yang membutuhkan,” ujarnya.

Tak lupa, produsen juga ikut andil dalam mengatasi pencemaran limbah fesyen dengan mengambil kembali fesyen yang sudah tidak terpakai karena tren atau musim telah berganti.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved