Column

Takut Hanya kepada Penyakit

Oleh Editor
Takut Hanya kepada Penyakit

Kebahagiaan tidak lebih dan tak kurang adalah kesehatan yang baik dan daya ingat yang buruk. — Albert Schweitzer

Ilustrasi (https://www.dreamstime.com/).

Suatu kala, saya teleponan dengan seorang kawan. Ia seorang wanita paruh baya, pengusaha sukses. Omongan demi omongan kami mulanya hanya berkisar soal bisnis. Tak sengaja lalu bergeser ke perilaku banyak orang di negara ini. Kami saling berbagi kisah. Soal perilaku-perilaku negatif banyak orang ―khususnya di kalangan menengah-atas― yang sangat kami prihatinkan. Misalnya, main terabas, korup, munafik, main kayu, curang, tak kenal belas kasihan, atau raja tega.

Kami sependapat, seolah semua perilaku buruk itu tak dapat di-rem. Tak ada yang membuat mereka takut. Apakah kaidah agama menakutkan bagi mereka? Tidak. Apakah aturan-aturan negara mereka takuti? Tidak. Ada rasa malu terhadap lingkungan sekitar, keluarga atau masyarakat? Tidak.

Lalu, sang kawan ini, enteng katakan, “Kayaknya orang cuma takut sama satu hal, Pak.” Saya diam dan menyimak. “Takut sama penyakit,” ujarnya. Jawaban itu menyengat. Membuat saya terus memikirkannya.

Dalam perjumpaan dan pergaulan dengan banyak orang, sebagian besar setuju bahwa hal utama dalam hidup adalah kesehatan. Beberapa kali, saya dengar ucapan kawan yang berulang tahun, “Ya, doain sehat aja deh. Sehat terus sepanjang hayat. Yang lain-lain penting gak penting.”

Dalam hal ini, pernyataan kawan saya benar, orang takut sakit, takut terhadap penyakit. Dan demikianlah, hal utama dalam hidup adalah kesehatan. Kata Laozi, filsuf China abad ke-6, “Kesehatan adalah milik paling berharga.”

Sementara, Mahatma Gandhi berpendapat, “Kekayaan sesungguhnya adalah kesehatan, bukan timbunan emas atau perak.” Benar adanya. Sekaya apa pun kita, bila hidup terus-menerus diiringi dengan sakit, kekayaan itu tak akan bermakna. Amit-amit.

Dan ironisnya, terdapat kecenderungan umum, di usia muda orang-orang bekerja sekuat tenaga, dengan sering mengabaikan kesehatan, untuk mengumpulkan harta. Di usia senja, dirundung duka-lara penyakit, bersedia melepaskan harta yang sudah didapat, berharap penyakit musnah. Sering itu hanya upaya sia-sia.

Saking takutnya terhadap derita sakit, seorang kawan mencanangkan, seolah-olah ia bisa menentukan cara dirinya nanti berpulang. “Gua maunya nanti kalau sudah waktunya cabut, mau yang cepat, nggak pakai sakit-sakit berkepanjangan.” He-he-he. Saya sependapat dengan kemauan itu.

Suatu pilihan “terbaik”. Menjalani kehidupan, terus dalam kondisi sehat. Tak mengalami derita sakit. Tak memerlukan banyak usaha dan biaya untuk pengobatan dan perawatan kesehatan. Tak menyusahkan orang lain. Semua nyaman dalam kehidupan, dan lancar pada saat berpulang. Namun, kita harus eling, sama sekali bukan hak kita menentukan bagaimana cara kita dipanggil kembali ke haribaan-Nya.

Kembali kepada fokus pembicaraan, takut hanya kepada penyakit, semua ternyata ada fakta dan dasar-dasarnya. Tak sedikit orang yang kita sangat hormati sebagai seorang agamawan yang nampak sangat kredibel, tertangkap karena korupsi. Bukankah mereka adalah tokoh teladan ketakwaan terhadap kuasa-Nya? Apakah orang-orang ini, yang seharusnya menjadi suri teladan ketakwaan, tak takut kepada-Nya?

Sementara, adanya ketakutan terhadap hukum negara yang berlaku, secara akal sehat adalah hal yang jamak. Proses hukumnya melelahkan. Harus bolak-balik diperiksa. Dan ujungnya, siapa yang tak takut dipenjara? Namun, takut karena faktor ini, dalam banyak kasus, mereka bisa “beli”.

Sudah menjadi rahasia umum, keadilan hukum itu bisa diatur. The money talks, uang bicara. Dengan uang (untuk suap, tepatnya), semua kemungkinan dan harapan bagi yang tersangkut masalah hukum, terbuka leluasa. Semua bisa diatur: hukuman ringan, perlakuan di bui baik, segera dapat remisi. Segera bebas merdeka dari tuntutan hukum.

Risi dan malu kepada tetangga? Mana ada. Di negeri ini, asal kita kaya dan apalagi sedikit mau sumbang sana-sini, kita adalah orang terpandang dan disegani. Tak peduli kekayaan kita dari mana. Atau kita balik, adakah seorang mantan terpidana korupsi yang bebas, lalu dikucilkan oleh tetangga ?

Tak ada cerita itu. Di negara ini para mantan terpidana korupsi itu, pada saat mereka dalam proses hukum hingga pemidanaan, mereka seolah sedang “menepi dan menempuh studi kehidupan khusus”, untuk persiapan agar lebih sukses dalam karier mereka seusai proses hukum.

Yang paling aktual, seorang mantan ketua umum sebuah partai politik yang baru bebas dari status terpidananya, malah sedang dalam proses kenaikan jabatan alias promosi di partainya. Posisi teratas di partainya siap diperuntukkan baginya.

Albert Einstein, sang legenda fisika dunia, dengan nada mencibir mengatakan, “Iblis telah meletakkan penalti bagi setiap hal yang kita nikmati dalam hidup, dalam bentuk gangguan kesehatan badan atau gangguan jiwa.” Benar tampaknya. Penyakit memang tampak paling ditakuti!

Pongki Pamungkas

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved