Listed Articles

Sejoli Bisnis dari Kota Solo

Oleh Admin
Sejoli Bisnis dari Kota Solo

Mulanya Lis Rusmiyati yang baru setahun dinikahi Sucipto Herlambang meminta izin kepada suaminya untuk membuka usaha warung makan di emperan rumahnya. Kelahiran Yogyakarta yang sudah biasa bekerja ini rupanya tak betah diam di rumah menunggu suami. Suaminya tak keberatan. Begitulah pada 1969, Lis Rusmiyati yang biasa dipanggil Ibu Emi, buka warung kecil-kecilan di emperan rumahnya, yang menyediakan nasi gudeg — masakan tradisional Yogya yang diyakininya bakal disukai masyarakat Solo. Maka, sembari menanti sang suami pulang dari berjualan kasur kapuk, Emi menyediakan sarapan buat orang-orang yang lewat di depan rumahnya. Tiap hari ia bangun jam tiga pagi untuk mempersiapkan dagangannya. Lalu, ia mengajak seorang tukang masak dari kota kelahirannya untuk membantu. Karena bersifat sambilan, segalanya dilakukan apa adanya. Dengan modal pas-pasan, dia mengubah emperan rumahnya menjadi warung sederhana. Tempat duduk pembeli memanfaatkan meja tua miliknya dan dua lincak bambu.

Warung mulai buka pukul 6 pagi, membidik orang-orang yang biasa jalan pagi di depan rumahnya untuk sarapan nasi liwet, nasi langgi, gudeg dan timlo. Bulan-bulan pertama yang datang memang bisa dihitung dengan jari. Lama-kelamaan pelanggannya makin banyak, sampai akhirnya Emi kewalahan melayani pembeli yang membludak cuma dengan seorang karyawan. Mengantisipasi perkembangan positif itu, pada 1970 ia memberanikan diri mengubah ruang depan rumahnya menjadi rumah makan permanen. Tenaga kerjanya ditambah beberapa orang lagi dari Yogya. Warung sederhana tanpa nama yang mulai mendapat tempat di hati konsumennya itu pun diberinya nama Adem Ayem. “Harapan kami, orang yang datang supaya merasa adem dan benar-benar ayem,” kata sang suami Sucipto Herlambang setengah bercanda.

Memasuki pertengahan 1970-an, nama Adem Ayem makin populer dan menjadi salah satu rumah makan favorit di Solo. Memasuki pertengahan 1980-an, laju Adem Ayem makin pesat dan menjadi pilihan kaum berduit Kota Bengawan itu. Adem Ayem pun tak bisa lagi bertahan dengan kesederhanaannya. Begitulah, Adem Ayem pun lalu dinaikkan kelasnya menjadi restoran besar dan representatif bagi kalangan menengah-atas Kota Solo. Menggunakan tabungannya selama 10 tahun, Emi “menyulap” Adem Ayem menjadi restoran terbesar dan termegah di Solo. Resto empat lantai ini dilengkapi pula dengan gedung pertemuan. Dengan segala fasilitas baru yang dimilikinya, Adem Ayem menjadi semakin bergengsi. Banyak perusahaan menyewanya untuk rapat di situ sambil menikmati menu tradisonalnya. Juga kampus-kampus di Solo suka menyelenggarakan acara wisuda di situ. Bahkan kaum berduit Kota Solo tak segan menggunakan Adem Ayem sebagai tempat merayakan ulang tahun.

Menurut Sucipto, renovasi total rumah makannya menjadi modern dan mewah sudah tak bisa lagi ditawar. “Dalam 10 tahun perjalanannya. Adem Ayem sudah memiliki banyak pelanggan loyal. Pasarnya sudah sangat bagus dan besar. Gejala itu harus segera diantisipasi dengan menyediakan ruangan dan pilihan, serta fasilitas yang lebih baik dan lengkap. Kalau tidak, pelanggan setianya akan kehilangan kenyamanan yang selama ini dinikmati mereka,” Sucipto menuturkan. RM Adem Ayem bahkan telah menjadi langganan tetap keluarga kasunanan dan kasultanan Surakarta untuk bersantap. Mereka cocok dengan menu makanan sajian Adem Ayem, yang umumnya menampilkan menu-menu tradisional yang tidak asing lagi bagi warga Solo dan Yogya.

Perkembangan itu menggiring Adem Ayem menjadi restoran serba ada, tanpa meninggalkan menu andalannya. Kini, selain menyediakan menu masakan asli Yogya dan Solo, juga disediakan masakan daerah Indonesia lainnya dan masakan Cina. “Adem Ayem memang harus mengikuti tren pasar karena rumah makan ini juga menjadi tempat favorit orang-orang yang sedang berkunjung ke Kota Solo, termasuk ekspatriat dan wisatawan asing,” Sucipto menerangkan. “Sekarang rumah makan ini masih menjadi tempat favorit untuk lunch break. Menu yang disukai orang asing, antara lain beef black pepper dan ginger chicken,” sambungnya. Menurutnya, posisi Solo yang sejak zaman raja-raja telah dikenal sebagai kota keraton, dagang dan pelesiran memang membawa berkah tersendiri bagi Adem Ayem. Dengan posisinya itu, Solo menjadi satu-satunya kota di Jawa Tengah yang paling hidup pada malam hari.

Setelah posisinya mantap di Solo, tahun 1997 Adem Ayem kemudian melirik Denpasar, Bali. Anaknya yang keempat, Boby Herlambang, dipercaya untuk membuka RM tersebut. Anaknya yang ketiga, Willy Widodo Herlambang, membuka RM Adem Ayem di Yogya tahun 2001. Karena kesibukannya di bisnis properti, Willy kemudian lebih banyak menyerahkan pengelolaan RM itu kepada istrinya. Sementara si bungsu Jefry Herlambang membantu mamanya mengelola Adem Ayem Solo. Jakarta juga dijangkau Adem Ayem, tapi tidak langsung ditangani keluarga batih Sucipto, melainkan oleh keluarganya yang agak jauh.

Perkembangan ini memaksa keluarga Sucipto menerapkan manajemen modern. Pengelolaan Adem Ayem mulai dipercayakan kepada profesional yang menguasai bidangnya, sedangkan keluarga Sucipto mulai pindah ke belakang layar. Saat ini, yang dipercaya menjadi manajer Adem Ayem Solo dan Yogya adalah Hari Rachmadi. Laki-laki ini semula menjadi konsultan manajemen Adem Ayem Yogya, tapi kemudian diajak bergabung dan dipercaya memegang kendali operasional.

Menurut Hari, Adem Ayem Yogya dan Solo memiliki pasar yang berbeda. Solo lebih ditujukan kepada kalangan menengah saja, sedangkan Yogya membidik menengah-atas. Itu sebabnya Adem Ayem Yogya ber-AC, yang di Solo tidak. “Pada awalnya Adem Ayem Yogya membidik semua kelas. Pengunjungnya memang banyak, tapi dari sisi bisnis tidak menguntungkan karena biaya operasionalnya besar. Maklum lokasi Adem Ayem Yogya berada di jantung kota dengan biaya sewa yang mahal. Jadi saya sarankan membidik kalangan middle up saja,” ungkap Hari. Perubahan target pasar ini membuahkan hasil. Omsetnya terus meningkat. “Paling tidak saat ini sudah mencapai ratusan juta sebulan, dengan pertumbuhan terus meningkat,” lanjutnya hati-hati.

Menurut Sucipto, secara umum perkembangan ketiga RM Adem Ayem yang dikelola anak-anaknya cukup bagus. Namun, Adem Ayem Solo masih yang terbagus. “Paling tidak, setiap bulan penjualannya mencapai Rp 500 juta. Solo memang masih paling bagus, karena yang pertama kali berdiri,” tandas ayah lima anak (tiga laki-laki, dua perempuan) itu. “Dari sisi manajemen, masing-masing Adem Ayem tidak ada hubungan sama sekali. Mereka diberi kebebasan untuk mengembangkan sendiri sesuai dengan potensi yang ada di daerah masing-masing. Yang penting, bisnis RM Adem Ayem harus terus berkembang,” sambung Sucipto.

Menurut Budi Suprapto, pengamat bisnis dari Program MM Unika Atma Jaya Yogyakarta, kelebihan Adem Ayem adalah kemampuannya memberi rasa aman kepada pelanggan. “Mereka percaya bahwa Adem Ayem hanya menyajikan bahan-bahan yang segar dan layak dikonsumsi,” tutur Budi. “Bahkan, konsumen Muslim tidak ragu-ragu makan di tempat itu, meskipun mereka tahu pengelola rumah makan itu dari kalangan non-Muslim,” sambungnya. Keistimewaan lainnya, kemampuan manajemen mendesain ruangan, sehingga konsumen merasa nyaman, santai, dan tidak kaku untuk duduk berlama-lama seperti di rumah sendiri. “Ruangan yang begitu luas dan suasana yang tercipta di Adem Ayem membuat pelanggan bisa mengobrol dengan rekan bisnis dan teman kerja tanpa merasa dikejar-kejar konsumen lain yang mengantre mau makan,” Budi menjelaskan.

Sementara istrinya mengelola rumah makan, Sucipto mencoba keberuntungan di bisnis perhiasan, setelah hengkang dari bisnis kasur kapuknya. Ia membuka sebuah toko emas dengan nama Semar di Sragen, sekitar 45 km arah timur laut Solo. Tiap hari ia harus bolak-balik Solo-Sragen untuk mengurus toko emas itu. “Sejak awal, saya tidak pernah campur tangan dengan bisnis yang dikola istri saya. Paling-paling saya hanya dimintai saran,” ujarnya. Semar berkembang bagus. Sucipto dan Emi pun menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung, umumnya dalam bentuk tanah. Bagi mereka, tanah adalah emas hitam yang harganya tak akan turun. Dari situlah mereka kemudian mengembangkan sayapnya ke properti. Di atas areal-areal starategis yang dibelinya, dibangunlah ruko. Setelah mantap di bisnis properti, toko emas Semar di Sragen diserahkan kepada salah satu familinya. Sucipto berpendapat, Solo lebih prospektif buat bisnisnya daripada Sragen. Selain properti, bisnis jual-beli mobil niaga bekas pun disabetnya lewat Dinar Motor yang berlokasi di Jl. Ir. Sutami, Solo. Dipilihnya mobil niaga, lanjut Sucipto, karena peminatnya lebih banyak dibanding mobil pribadi. Kedua bisnis ini berjalan seiring, sampai krismon mengandaskan bisnis propertinya pada 1997. Tahun itu gagallah mewujudkan rencana membangun hotel di Solo.

Namun kegagalan di tahun 1997 itu tak membuat Sucipto patah arang dengan bisnis properti. Saat roda ekonomi mulai menggelinding pelan, pada 2004 Sucipto memberi kejutan akhir tahun kepada warga Solo. Dengan bendera PT Sarana Griya Prasarana Bangun, dia mendirikan Solo Grand Mall (SGM) di kawasan Jl. Slamet Riyadi. Ini merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Jawa Tengah. Untuk membangun mal ini, keluarga Sucipto membenamkan investasi sekitar Rp 140 miliar. SGM didirikan di atas tanah milik keluarga Sucipto sendiri. Kini Sucipto duduk sebagai komisaris SGM dan Willy Widodo menjadi salah satu direkturnya. Pembangunan SGM sekaligus dianggap banyak kalangan sebagai awal kebangkitan kembali Solo sebagai kota bisnis.

Kota Solo memang sempat mati suri setelah didera dua aksi kerusuhan besar beberapa tahun sebelumnya. Banyak perkantoran dan tempat usaha dibakar ketika itu. Banyak pengusaha kemudian mengalihkan bisnis ke kota lain karena pengalaman traumatis. Itulah sebabnya, kehadiran SGM menjadi sangat berarti bagi kota ini. Apalagi terbukti setelah SGM berdiri, di Kota Bengawan ini segera muncul mal lain, seperti Solo Square dan Beteng Trade Centre. Tidak lama lagi akan muncul pula Ciputra Sun Mall dan De Laweyan Mall.

Setelah pembangunan SGM, keluarga Sucipto kembali memeriahkan sektor ritel Kota Solo dengan sebuah Pusat Grosir Solo (PGS) yang berlokasi berdampingan dengan Beteng Trade Centre dan dibuka hampir bersamaan. Pusat perkulakan yang mengadopsi konsep perkulakan Tanah Abang ini didirikan Sucipto dengan bendera PT Putra Griya Sentosa. Untuk mendirikan pusat grosir itu, bersama anak ketiganya Willy Widodo Herlambang, Sucipto menggandeng Tjandra Tambayong, pemilik perusahaan properti besar PT Bandung Inti Graha, dan Kenneth Lie (pemilik beberapa perusahaan konstruksi dan mechanical electrical dari Jakarta). Kemampuan menggandeng pengusaha-pengusaha bertaraf nasional itu sekaligus mengantarkan keluarga Sucipto dan Lis Rusmiyati menjadi pengusaha kaliber nasional yang patut diperhitungkan di kemudian hari.

Apalagi mengingat keluarga ini terus menggarap berbagai sektor bisnis di Tanah Air. Willy misalnya, belum lama ini mengembangkan bisnis baru yang bergerak di bidang jasa boga, PT Sego Pulen Food Court. Perusahaan ini mengelola bazar makanan di pusat perbelanjaan atau mal. Food court PGS di lantai atas seluas 1.300 m2 akan menjadi ajang uji cobanya. “Pihak kami akan menggandeng semua pemilik warung makan yang cukup terkenal di Solo dan sekitarnya. Mereka akan diajak bekerja sama untuk menjadi tukang masak saja. Semua fasilitas kami yang menyediakan,” tutur Willy. Pola kerja samanya adalah sistem bagi hasil. “Kami masih menghitung angka, agar sama-sama untung,” katanya. Saat ini, lanjut Willy, sudah 30 pedagang yang siap bermitra, serta 200 menu dari Indonesia dan internasional siap disajikan di sana.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved