Trends

Pemberdayaan Mitra Petani Ala Eden Farm

Pemberdayaan Mitra Petani Ala Eden Farm

Hamparan berbagai tanaman seperti mentimun, cabe keriting, tomat, kol, bawang, caisin, dan jagung membentang luas di atas lahan 15 ha di daerah Desa Bendungan, Ciawi, Kabupaten Bogor. Lahan tersebut dikelola oleh Dedi Irawan (42 tahun) bersama 67 orang petani lainnya yang dia pimpin. Dedi merupakan mitra petani binaan Eden Farm yang sukses mengembangkan lahan pertaniannya.

Dedi yang bergabung menjadi mitra petani Eden Farm sejak Februari 2022 ini merasa beruntung bisa bermitra dengan startup agritech ini. Selain mendapat bimbingan tentang pertanian serta mendapat pasokan pupuk dan bibit tanaman, ia juga mendapatkan kepastian pasar dan pembayaran. Hal itu sangatlah penting bagi Dedi untuk keberlangsungan pertaniannya.

Memang, Eden Farm memiliki banyak mitra petani yang saat ini berjumlah lebih dari 6 ribu orang. Sebagian besar, 95%, mitra petaninya tersebar di pulau Jawa mulai dari Bogor, Pangalengan, Brebes, Temanggung, Muntilan, Nganjuk, Malang, dan di sentra-sentra pertanian lainnya. Di luar Jawa, ada di Sumatera Utara yang terlibat pada program food estate pemerintah dengan beberapa proyek di sana yang fokusnya pada tanaman kentang.

“Saat kami bekerja sama dengan petani, kami tidak langsung mencari individu-individu, tapi kami fokus mencari kelompok-kelompok. Ini menurut kami adalah strategi terbaik untuk pertanian,” ujar Ramavito Mountaino, Co-Founder & Chief Financial Officer (CFO) PT Eden Pangan Indonesia (Eden Farm).

Bentuk kerja sama Eden Farm selalu melalui kepala kelompok taninya dan segala bentuk kerja sama dikomunikasikan melalui kepala kelompoknya. Kalau ke individu-individu, terlalu banyak, ada kemungkinan miss komunikasi dan lebih melelahkan. “Kalau kepala kelompoknya happy dengan konsep partnership ini, maka para anggotanya biasanya akan ikut happy juga,” cetusnya.

Lalu bagaimana bentuk pemberdayaannya kepada mitra petani? “Semua hal yang kami lakukan adalah untuk meningkatkan produktivitas petani, yaitu kami atur bagaimana cara menanam, apa yang harus ditanam dan kapan. Kami tidak hanya memberikan ilmunya saja tapi kami juga mengatur menanam apa dan kapan,” ujar Vito, panggilan Ramavito.

Selama ini, karena dari zaman kakeknya menanam kentang, si petani pun akan menanam kentang walaupun tidak ada demand. Nah, di Eden Farm karena sudah ada permintaannya, pihaknya bisa mengatur tanaman apa yang sebaiknya ditanam petani sesuai demand-nya.

Lalu yang petani dapatkan itu berdasarkan berapa banyak hasil panennya. Semacam komisi yang Eden Farm berikan. Semakin banyak hasil panen, petani dapat komisi yang semakin besar. Ini yang memotivasi petani.

Kalau petani tidak ada motivasi untuk mendapatkan hasil panen yang bagus, akan asal-asalan kerjanya. Jadi motivatornya berbentuk komisi. Semakin banyak dia panen, semakin besar komisinya. Komisinya per kilo gram hasil panen. Komisi sudah disepakati di awal. Ini yang mendorong mereka untuk memiliki kebiasaan bertani yang menghasilkan panen dengan kualitas bagus.

“Di Indonesia, hasil panen itu tidak selalu grade A. Sistem komisi di kami, kalau hasil panen A akan dibayar lebih mahal, sedangkan grade B komisinya lebih rendah,” ujar Vito.

Kemitraan Eden Farm dengan petani merupakan upayanya untuk memberdayakan petani agar sejahtera. “Dengan segala konsep produk yang kami tawarkan, kami tidak hanya serta-merta mengatur petani, tapi kami mendorong mereka untuk untuk menyadari bahwa pekerjaan mereka tersebut memiliki potensi yang baik,” kata Vito.

Selama ini, petani dianggap sebagai profesi yang dipandang sebelah mata karena realitanya memang seperti itu: tidak ada jaminan, pendapatan kecil, dan miskin.

Tapi dengan segala konsep kerja sama yang Eden Farm tawarkan, diharapkan pekerjaan petani menjadi pekerjaan yang memiliki potensi yang bisa memiliki pendapatan yang lebih tinggi serta pendapatannya bisa dijamin.

Hal ini karena startup agritech ini banyak memberikan edukasi dan bantuan teknologi agar petani bisa berkembang. Maka dengan sendirinya ada konsep pertumbuhan, ada konsep mereka bisa menghitung keuntungan, untuk membuat petani melek bahwa pekerjaan mereka memiliki potensi.

“Harapan kami, petani bisa kembali menjadi full time job karena pendapatan mereka sekarang jauh lebih tinggi. Lalu ada pola edukasi sehingga tidak lagi menjadi part time job karena ada pembeli yang jelas, ada yang memberikan pengarahan, dan ada yang membeli pengajaran,” ungkap Vito.

Dedi dan kelompok taninya sudah banyak memasok sayuran ke Eden Farm di antaranya mentimun, cabe keriting, berbagai jenis cabe, kol, caisin, tomat, bawang. Total hasil panen kelompok tani Dedi yang sudah masuk ke Eden Farm ada sekitar 551 ton selama kurang dari 1 tahun dan didominasi oleh mentimun, kedua adalah tomat. Mentimunnya sendiri 60% dari keseluruhan hasil panen.

“Jika Eden Farm ada 10, saya akan memilih untuk memasok ke Eden Farm saja semuanya. Namun sayangnya Eden Farm hanya ada satu,” ujar Dedi setengah bercanda.

Sebelum bergabung menjadi mitra petani Eden Farm, hasil pertanian Dedi dipasarkan ke pasar-pasar tradisional dengan menyediakan angkutan sendiri. Jadi sebelum 2012, ia mencari pasar sendiri sekitar daerah Bogor dan Jakarta. Dari sisi biaya menjadi lebih besar, baik untuk transpor, dll.

“Dengan menjadi mitra petani Eden Farm, produk pertanian kami diangkut oleh angkutan milik Eden Farm sehingga cost transportasi kami jadi lebih efisien,” ucap Dedi.

Eden Farm Fokus Garap Pasar B2B

Ada diferensiasi yang menjadi nilai lebih Eden Farm dibanding pemain lain, yatu sejak awal starup agritech ini dibentuk fokus ke bisnis B2B. Sementara pemain agri yang lain itu lebih banyak menggarap pasar B2C atau jualan ke customer. Bahkan ada yang bermain hanya sisi hulu, hanya memberi pendanaan saja ke petani atau hanya jualan benih atau bibitnya saja. “Sedangkan kami bisnis B2B ke kafe-kafe, restoran-restoran, dan hotel-hotel,” ujar Vito.

Eden Farm sudah memulai bisnisnya sejak 16 juni 2017. Startup agritech ini didirikan oleh tiga sekawan, yaitu David Setyadi Gunawan (Chief Executive Officer/CEO Eden Farm), Ramavito Mountaino (Chief Financial Officer/CFO Eden Farm), dan Febrianto Gamal (Chief Operating Officer/COO Eden Farm).

Sejak 2019 , Eden Farm tumbuh pesat. Saat itu, Eden Farm diterima di salah satu program startup akselerator di Silicon Valley, Amerika Serikat (AS). Eden Farm pun sukses meraih investor dari banyak negara, yang paling besar dari Jerman, AS dan Rusia, serta beberapa funding dari berbagai negara.

Ketika menghadapi Covid-19 terjadi shifting pasar. Sebelum Covid-19, 70% pasar Eden Farm di horeka, tapi saat pandemi menerpa di 2020 segmen horeka dan pasar modern paling terdampak karena regulasi pemerintah, mall disuruh tutup dan hotel banyak yang tutup. Tapi pasar tradisional tetap berjalan. Pasar tidak bisa ditutup oleh pemerintah karena merupakan tulang punggung ekonomi negara.

Di Eden Farm pun tidak ada penurunan demand tapi ada shifting permintaan karena orang tetap butuh makan, walaupun pandemi tetap butuh makan. Pertanyaannya sekarang makan di mana, belinya ke mana? Sebelum Covid-19, makan di restoran, setelah pandemi makan di rumah. Akhirnya belanja di pasar tradisional atau belanja online. Karenanya bisnis startup ini tetap terbantu namun terjadi shifting, yang awalnya pasar modernnya besar, akhirnya yang tradisionalnya yang menjadi besar seperti pasar-pasar, warteg, warnas. Produk sayuran hijau Eden Farm yang paling banyak permintaannya adalah cabe (cabe rawit, cabe merah, cabe hijau, cabe keriting), bawang (bawang merah, bawang putih), dan kentang.

Dengan adanya shifting ini, para Eden Farm pun berubah menjadi 80% pasar tradisional dan horeka 20%. Artinya, walaupun terjadi shifting, Eden Farm tetap bisa mempertahankan pasar B2B.

Dengan cara fokus menggarap pasar B2B membuat bisnis Eden Farm tetap sustainable dan eksis hingga saat ini di tengah banyaknya startup agritech yang mulai berguguran akibat “seleksi alam”.

Dede Suryadi


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved