Technology

Proses Digital Construction ala MRT Jakarta

Proses Digital Construction ala MRT Jakarta

Agar proses konstruksi lebih efisien dan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan proses terdahulu, MRT Jakarta memanfaatkan teknologi digital. Apa manfaat yang ditawarkan teknologi Common Data Environment dan Building Information Management dalam proses konstruksi infrastruktur MRT Fase 2 dan selanjutnya itu?

Silvia Halim, Direktur Konstruksi MRT Jakarta.
Silvia Halim, Direktur Konstruksi MRT Jakarta.

Jakarta memang menjadi berbeda beberapa tahun terakhir ini setelah kehadiran angkutan massal kereta MRT (Mass Rapid Transit), yang disediakan oleh PT MRT Jakarta. Setidaknya, masyarakat, khususnya kalangan karyawan di Jakarta, mempunyai alternatif angkutan massal selain bus TransJakarta dan kereta komuter yang sudah ada sebelumnya.

MRT Jakarta, sebuah badan usaha di bawah Pemda DKI Jakarta, sebagai penyedia infrastruktur sekaligus pengelola kereta MRT ini juga terus bekerja mengembangkan sistem angkutan massal ini. Terutama, dalam pekerjaan konstruksi untuk mengembangkan jalur kereta (railway) atau koridor, sebagaimana telah direncanakan.

Nah, setelah sukses menyelesaikan proyek pembangunan infrastruktur MRT Jakarta Fase 1 koridor Lebak Bulus-Bundaran HI yang telah dioperasikan sejak 2019, MRT Jakarta terus menggencarkan proyek lanjutannya. Proyek ini terbagi dalam beberapa fase, yakni Fase 2A, Fase 2B, Fase 3 atau East-West, dan Fase 4.

Namun, ada perbedaan menarik pada pembangunan konstruksi Fase 2 dan selanjutnya dibandingkan Fase 1 terdahulu. Yakni, MRT Jakarta menerapkan inovasi proses konstruksi dengan dukungan teknologi digital.

Silvia Halim, Direktur Konstruksi MRT Jakarta, mengungkapkan, ada sejumlah pembelajaran dari proses konstruksi Fase 1. Terutama, sistem manajemen dan proses konstruksi dinilai belum efisien. Di antaranya, karena masih banyak menggunakan metode manual sehingga memakan banyak waktu. Juga, sering ada informasi yang tidak tersambung (silos) dalam proses pembangunannnya.

Dengan kata lain, ada masalah miskomunikasi, ketidakakuratan data, dan ketidakkonsistenan desain. “Hal-hal itulah yang mendorong kami menerapkan digital construction,” kata Silvia.

Menurutnya, untuk Fase 2A, koridor yang menghubungkan Stasiun Bundaran HI hingga Kota, ada tantangan yang lebih berat dibandingkan dengan koridor Fase 1. Terutama, karena kondisi tanah di Jakarta bagian utara yang lebih lunak dan mengalami penurunan setiap tahun, koridor jalan yang sempit, hingga settlement lahan yang lebih sulit karena banyak bangunan cagar budaya dan bangunan tua di sekitar kawasan Kota. Adanya terpaan pandemi Covid-19 juga sempat membuat pelaksanaan konstruksi fase ini tertunda.

Silvia memastikan bahwa MRT Jakarta berusaha meningkatkan pelaksanaan pembangunan pada Fase 2 dengan manajemen informasi proyek yang lebih baik. Harapannya, data dan informasi dapat dikelola secara end-to-end, mulai dari tahap perencanaan, desain, konstruksi, sampai dengan operasi dan pemeliharaan.

Untuk itu, sejak Juni 2020 MRT Jakarta mengadopsi teknologi Common Data Environment (CDE) dan Building Information Modelling (BIM), yang dikembangkan oleh Bentley Systems, perusahaan penyedia infrastructure engineering software asal Amerika Serikat.

CDE merupakan sebuah sistem repository terpusat berbasis cloud; informasi dari proyek konstruksi disimpan dalam satu ekosistem dan dapat diakses oleh berbagai pihak terkait: klien, kontraktor, dan konsultan. Menurut Silvia, solusi ini berpotensi membantu memberikan alur kerja yang konsisten dan memastikan semua peserta proyek memiliki akses ke informasi proyek terkini secara real time, sehingga dapat meningkatkan efektivitas komunikasi dan koordinasi pada proyek konstruksi.

Fokus pertimbangan kami dalam menggunakan teknologi adalah yang bisa meningkatkan kenyamanan, keamanan, efisiensi dalam pengoperasian dan maintenance.

Silvia Halim, Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta

Salah satu elemen penting dari CDE disebut Building Information Modelling (BIM), yakni sebuah metode perencanaan, desain, dan pembuatan proyek konstruksi berupa visualisasi desain dan simulasi 3D secara digital. BIM memungkinkan tim proyek bekerja bersama secara efisien dan memvisualisasi proyek sebelum memasuki proses konstruksi, sehingga membantu mengatasi masalah serta meminimalkan biaya dan waktu. Hal ini berbeda dengan proses sebelumnya yang memakai gambar fisik.

Silvia menjelaskan, penerapan konstruksi digital ini bertujuan untuk meningkatkan proses kerja desain dan konstruksi secara automated. “Penerapan BIM memungkinkan keberlanjutan data aset yang dapat di-capture terpusat secara end-to-end,” ujar lulusan Teknik Sipil Nanyang Technological University (NTU), Singapura, itu.

“BIM juga membantu tim proyek untuk bekerja secara efisien, karena bisa mengidentifikasi masalah sejak dini pada tahap perencanaan dan desain sebelum dibangun,” ujarnya lagi.

Untuk memastikan aset data dan informasi terkumpul dalam data environment yang terhubung, MRT Jakarta mewajibkan penerapan proses bisnis digital ini kepada seluruh pihak yang terlibat, termasuk konsultan dan kontraktor. Pasalnya, platform terpadu ini memungkinkan tim berkolaborasi dari berbagai lokasi dan melakukan tinjauan desain secara virtual. Termasuk, selama masa pandemi. Ini juga memastikan bahwa semua pihak mengikuti metode yang konsisten untuk pengambilan data, desain dan produksi gambar, serta proses peninjauan.

Silvia menjelaskan, kemampuan 3D modelling membantu tim memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bentuk infrastruktur yang akan dirancang. Juga mampu mengidentifikasi berbagai kendala sejak awal untuk kemudian bisa melakukan adjustment.

“Apabila kami baru menemukan masalah ketika sudah di lapangan, dampaknya akan memengaruhi jadwal penyelesaian, cost bertambah, sampai kualitas pekerjaan menurun,” katanya.

Ia mengakui, menghindari keselahan dalam proses konstruksi melalui digitalisasi ini belum sempurna. Namun, untuk hal-hal yang bersifat major sudah bisa diatasi sejak awal, sehingga perencanaan konstruksi lebih baik dari sebelumnya.

Dengan BIM, MRT Jakarta seolah-olah punya digital twin atau kembaran infrastruktur secara digital. Pengelolaan secara digital ini juga membantu perusahaan memenuhi prinsip good governance. Pasalnya, setiap perubahan atau modifikasi terhadap rancangan proyek dapat ditelurusi (traceable) dan tersimpan dengan baik, sehingga pertanggungjawaban proyek ini bisa dilihat secara jelas.

Menurut Silvia, Fase 2A MRT Jakarta menggunakan lebih banyak inovasi setelah belajar dari pembangunan Fase 1. Sebelumnya, MRT Jakarta masih mengerjakan secara manual, dalam arti teknologi yang basic dan sederhana, seperti aplikasi computer-aided design (CAD). Karena tak tersedia dasbor terintegrasi, koordinasi lebih sulit dan memakan lebih banyak waktu.

Untuk mengimplementasi teknologi BIM, MRT Jakarta melakukan benchmarking ke Malaysia. Alasannya, di sana mereka telah menyelesaikan proyek MRT Fase 1 dengan menggunakan BIM pada proses kontruksinya. “Setelah kami memahami teknologi ini dan bisa mengutilisasi dengan baik, kami putuskan mengadopsinya di Fase 2,” kata Silvia.

Setelah benchmarking, dijalankan proses customization yang dilakukan oleh tim MRT sendiri, yang terdiri dari tim konstruksi, project manager, project engineer, hingga project management officer. “Semua terlibat dalam men-develop sistem ini. Jadi, mereka ada sense of ownership bahwa sistem ini dibangun bersama, bukan sekadar membeli dari vendor,” katanya.

Saat ini, pihaknya masih terus melakukan pembelajaran untuk dapat menggunakan teknologi ini secara optimal. Diharapkan, dengan memanfaatkan teknologi ini, MRT Jakarta semakin fasih untuk menggunakannya pada proyek pembangunan koridor jalur kereta (railway) MRT di fase-fase berikutnya; termasuk untuk pembangunan non-railway seperti kawasan transit oriented development (TOD).

Kekurangan proses konstruksi secara konvensional:

Keunggulan digital construction CDE dan BIM:

“Implementasi ini masih dalam sebuah journey. Kami sudah bisa merasakan manfaatnya, namun kami belum bisa mengatakan ukuran keberhasilannya secara totalitas karena kami pun masih menjalani pengalaman ini,” katanya.

Silvia menjelaskan, ketika proyek ini telah selesai, model 3D dan data as-built sebelumnya akan dialihkan ke Direktorat Operasi dan Pemeliharaan, agar bagian ini bisa meningkatkan kinerja dan keandalan aset selama masa operasional. Sebagai tambahan informasi, Fase 2A MRT Jakarta akan menghubungkan Stasiun Bundaran HI hingga Kota sepanjang sekitar 5,8 kilometer, dan terdiri dari tujuh stasiun bawah tanah, yaitu Thamrin, Monas, Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, Glodok, dan Kota.

Fase 2A tersebut dibagi menjadi dua segmen, yaitu Segmen 1 mencakup Bundaran HI-Harmoni yang ditargetkan selesai pada 2027, dan Segmen 2 mencakup Harmoni-Kota yang ditargetkan selesai pada 2029. Fase 2A MRT Jakarta dibangun dengan biaya sekitar Rp 25,3 triliun melalui dana pinjaman kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Jepang. Adapun Fase 2B MRT Jakarta, yang rencananya melanjutkan jalur kereta dari Kota sampai Depo Ancol Barat, masih dalam tahap studi kelayakan (feasibility study).

Selain diterapkan pada saat proses pembangunan, kontruksi berbasis digital juga akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sebagai pengguna. Dari proyek konstruksi Fase 2 ini, akan ada kemudahan akses terintegrasi dengan infrastruktur transportasi publik lainnya dan pengembangan kawasan berorientasi transit di sekitar stasiun.

Stasiun di Fase 2 didesain dengan compact dan memiliki sirkulasi yang lebih baik, akses pintu masuk stasiun MRT terhubung secara langsung dengan halte Transjakarta dan bangunan di sekitarnya, serta mengedepankan asas universal agar dapat diakses oleh penumpang prioritas, seperti penyandang disabilitas, perempuan hamil, dan usia lanjut.

Penggunaan teknologi yang ramah lingkungan juga menjadi konsiderasi dalam pembangunan Fase 2. Di antaranya berupa penggunaan badan kereta (car body) yang lebih ringan tapi kuat, penggunaan VVVF inverter untuk elevator, serta penambahan lampu LED, yang dikombinasikan dengan pengereman regeneratif yang akan mendukung konsep rendah emisi dan efisiensi energi.

Penerapan teknologi terbaru terkait standar keamanan, seperti CCTV dan pintu tepi peron (platform screen door) dengan obstacle deflector, akan semakin meningkatkan keselamatan pengguna jasa. Perawatan real-time monitoring dan teknologi reduksi kebisingan menggunakan rail vehicle grinding juga akan mendorong efisiensi perawatan kereta dan infrastrukturnya.

“Kami memiliki tugas untuk membangun infrastruktur publik yang sangat dekat dengan keseharian masyarakat. Jadi, penggunaan teknologi akan sangat dipengaruhi kesiapan dan perilaku masyarakat,” kata Silvia. “Fokus pertimbangan kami dalam menggunakan teknologi adalah yang bisa meningkatkan kenyamanan, keamanan, efisiensi dalam pengoperasian dan maintenance,” dia menandaskan. (*)

Jeihan K. Barlian

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved