Entrepreneur

Rahasia Sukses Syaifudin Menyulap Klinik Jadi Rumah Sakit Queen Latifa

RSU Queen Latifa, Yogyakarta. (Foto: Gigin W. Utomo)

Perjalanan hidup Syaifudin bisa dibilang cukup inspiratif. Dari status sebagai karyawan, ia sukses menaiki tangga menjadi seorang bos. Ia adalah pemilik RS Queen Latifa, sebuah rumah sakit milik keluarga yang berlokasi di wilayah Kulonprogo dan Sleman, DIY.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, RS Queen Latifa memang menunjukkan pertumbuhan kinerja yang luar biasa. Setelah tahun 2019 lalu, sukses mendirikan rumah sakit dengan nama yang sama di kawasan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, kini dia sedang meng-upgrade bangunan rumah sakit yang lama menjadi bangunan baru dalam bentuk tower setinggi delapan lantai di Mlangi, Gamping Sleman.

Nilai investasi yang digelontorkan untuk membangun tower tersebut mencapai ratusan miliar rupiah, yang dikerjakan secara swakelola dengan target selesai selama 18 bulan. “Gedung lama sudah tidak mampu menampung pasien yang ingin rawat inap, sehingga kami harus membangun gedung baru dalam bentuk tower, tahap pertama delapan lantai berikutnya lima lantai,” kata Syaifudin kepada SWAOnline.

Menurut Syaifudin, awalnya ia berniat membangun menara setinggi 11 lantai. Namun setelah dihitung dengan kemampuan finansial, akhirnya diputuskan bertahap. Diawali 8 lantai dulu, berikutnya menyusul 5 lantai. “Saya harus realistis karena kami bukan grup perusahaan besar, kami hanya perusahaan keluarga,” ungkap Syaifudin, yang akrab disapa Pak Udin ini.

Queen Latifa dikonsep menjadi rumah sakit modern berstandar international. Siap menangani semua jenis penyakit dengan fasilitas paripurna. Selain menyiapkan ruang untuk rawat inap dan rawat jalan yang nyaman, juga akan dilengkapi dengan dukungan peralatan medis yang mutakhir. “Kami sudah siap dengan dokter dokter spesialis dan peralatan medis yang canggih“ kata bapak tiga anak ini.

Syaifudin merasa optimistis, dia akan berhasil menyelesaikan pembangunan rumah sakit miliknya tersebut sesuai dengan target waktu kurang dari dua tahun. Dengan gedung dan peralatan medis yang semuanya serba baru tersebut, ia juga yakin bisa memberikan pelayanan yang jauh lebih baik kepada masyarakat. “Semua pasien yang ingin rawat inap bisa kami layani, tidak perlu lagi merujuk ke rumah sakit lain,” dia menambahkan.

Syaifudin, pemilik RSU Queen Latifa. (Foto: Gigin W. Utomo)

Dengan pembangunan gedung baru tersebut, akan menambah fasilitas kamar inap, ruang operasi dan poliklinik. Ruang inap yang saat ini masih tersedia 50 kamar, akan bertambah menjadi 100 kamar. Dengan bertambahnya berbagai fasilitas tersebut, tentu akan menaikkan kelas rumah sakit dari tipe D ke tipe C. “ Kami sedang proses mengurus ijin kenaikan tipe dari D ke C,” ungkap Syaifudin.

Bila kelak bangunan jadi, tampilan RS Queen Latifa tentu akan jauh lebih gagah dibandingkan yang ada saat ini. Syaifuddin mengakui bila bangunan gedung yang ada saat ini memang dirasa belum ideal. “Konsep awalnya memang klinik dan Alhamdulillah meningkat jadi rumah sakit,” imbuhnya.

Berawal dari klinik

Syaifudin ternyata tidak menyangka bila bakal menjadi salah satu pribumi yang sukses menjalankan bisnis rumah sakit. Bisnis ini dirasakannya sebagai anugrah terindah dari Allah SWT. “Saya merasakan Allah SWT yang mengatur semuanya, saya tinggal menjalankan scenario-Nya,” tuturnya merendah,

Ketika masih kecil, Syaifudin mengaku tidak memiliki bayangan menekuni dunia medis. Ia justru pernah ingin menjadi penerbang pesawat tempur. Itu karena saat masih kecil sering diajak bapaknya melihat pesawat di TNI AU.

Keinginan menjadi penerbang tersebut masih tertanam kuat dalam hatinya hingga ia duduk di bangku Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Namun, ia harus mengubur dalam-dalam keinginan menjadi prajurit TNI-AU. Itu karena musibah yang dialaminya,ketika duduk di bangku kelas dua, ia mengalami kecelakaan lalu lintas yang membuat salah satu kakinya patah. “Meski bisa pulih kembali, saya pasrah dan terima kenyataan tidak bisa memujudkan keinginan jadi penerbang,” ujarnya mengenang.

Gagal menjadi penerbang, Syaifudin memilih profesi sebagai perawat. Ia menempuh jenjang pendidikan khusus perawat dari SPK, SGP( Sekolah Guru Perawat) hingga Akper (Akdemi Perawat) sampai program magister manajemen kesehatan masyarakat di UGM.

Pilihan Syaifudin menjadi perawat ternyata sangat tepat. Dari keperawatan inilah, ia meraih kesuksesan. Saat masih kuliah di Akper, ia bisa diterima kerja sebagai pengajar di almamaternya di SPK Aisyiah Jogja. Karirnya terbilang melesat, dari staf pengajar naik menjadi wakil kepala sekolah hingga menjadi salah satu direktur setelah SPK secara bertahap naik status menjadi Akper, Sekolah Tinggi dan sejak lima tahun terakhir berubah jadi UNISA (Universitas Aisiyah) Yogyakarta . “Sejak 2017 saya mengajukan pensiun dini karena ingin fokus mengembaangkan rumah sakit,” paparnya.

Bagi Syaifudin, ternyata butuh proses panjang dan berliku untuk menemukan peluang bisnis rumah sakit yang kini digelutinya. Ia harus melewati jatuh bangun di bisnis lain yang semuanya merupakan bisnis sambilan di luar aktivitasnya mengajar di sekolah perawat. Mulai dari dagang cengkeh,blantik sapi hingga jual beli mobil bekas.

Selain berstatus sebagai pengajar di SPK Aisyiah, Syaifudin ternyata mendapatkan kepercayaan untuk nyambi kerja di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Selepas mengajar dari pagi sampai sore, pada malam harinya ia berdinas di rumah sakit tersebut. Di PKU Muhamamdiyah, ia bukan menjadi tenaga medis biasa, tapi mendapat posisi strategis. Ia memegang manajemen Unit Gawat Darurat (UGD) “Saya yang pertama kali merancang dan mengelola layanan UGD di PKU Muhammadiyah Yogya,” jelasnya.

Setelah enam tahun di PKU Muhammadiyah, tepatnya dari 1986 hingga 1992, ia menyatakan mengundurkan diri. Ternyata ada pemicu yang mendorongnya untuk memutuskan berhenti dari rumah sakit tersebut. Pemicunya tidak lain adalah sesobek kertas yang tak sengaja ditemukannya tergeletak di lorong rumah sakit. “Biasanya kalau ada kertas kumasukan tempat sampah, tapi entah kenapa yang ini bikin penasaran ingin kulihat isinya,” ungkapnya.

Ternyata kertas tersebut, merupakan slip gaji seorang dokter spesialis. Syaifudin mengaku kaget saat melihat besaran gaji dokter tersebut, yang nilainya jauh lebih besar dari gaji yang didapatnya sebagai penanggungjawab unit UGD. “Saya kaget dan merenung. Saya tidak salahkan orang lain, tapi saya salahkan diri saya sendiri. Saya berkesimpulan kalau tetap bertahan tidak mungkin akan mendapatkan penghasilan yang lebih baik,” ia mengungkapkan.

Singkat cerita, karena terpicu soal slip gaji tersebut, ia mengajukan surat pengunduran diri ke direktur rumah sakit. Pihak rumah sakit terkaget-kaget dan berusaha mempertahankanya dengan menawarkan kenaikan gaji. “Ada utusan khusus direksi untuk membujuk saya agar bertahan dengan tawaran kenaikan gaji. Tapi tekad saya sudah bulat ingin keluar dan fokus mengajar,” tukasnya.

Setelah keluar dari rumah sakit, Syaifudin mengaku mereposisi tujuan hidup yang ingin diraihnya. Ia bertekad menarih sukses di usia 40 tahun dengan memiliki usaha yang membuat dirinya bisa menerapkan prinsip: Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Ia menargetkan bisa sedekah tiap bulan kepada yang membutuhkan dan bisa menunaikan ibadah haji tahun 2006.

Satu hal yang menarik, dalam impian memiliki usaha tersebut ternyata tidak ada bayangan memiliki bisnis yang terkait dengan jasa layanan kesehatan, termasuk rumah sakit. Inspirasi bisnis ini justru muncul, setelah dia jungkir balik menekuni beberapa bisnis lain.

Pasca keluar dari rumah sakit, Syaifudin ternyata merasakan ada sesuatu yang hilang. Ia merasa kurang produktif. Akhirnya ia bertekad menemukan aktivitas usaha di luar kesibukannya mengajar. Dalam perjalanan, ia menemukan beberapa peluang usaha yang di dapat secara tidak sengaja. Ketika suatu saat mengantar istri belanja ke pasar Beringharjo, ia tertarik ketika melihat cengkeh.

Ia bilang sama istrinya tertarik menekuni bisnis cengkeh. Ia cari info sana sini, ia akhirnya menemukan sumber penghasil cengkeh di Magelang. Setelah ditekuni, komoditi rempah tersebut, sebenarnya memberinya penghasilan yang lumayan. Ia kulakan langsung kee petani bekerjsama dengan pengepul. Disaat bisnis cengkeh sedang berjalan bagus, mendadak ada kebijakan pemerintah untuk mengatur perniagaan dengan berdirinya BPPC yang dikelola Tommy Soeharto. “Saya mengalami kerugian besar karena harga cengkeh terjun bebas dan petani marah dengan membatas habis pohon cengkeh karena tidak ada nilainya,” kenang Syaifudin.

Dari cengkeh, mencoba berdagang sapi, khususnya sapi jenis metal. Sapi juga memberinya banyak keuntungan. Tapi dalam perjalanan, ia tidak lama menjalani bisnis penggemukan sapi karena ada potensi kerugian akibat salah pilih jenis sapi.

Dari sapi, ia ganti tertarik mencari keberuntungan dari bisnis mobil bekas. Dan, hanya khusus jenis Suzuki Carry dan Pikup. Ia kerjasama dengan adiknya. Baginya bisnis mobil sangat menguntung dan laris manis seperti kacang goreng. Ia mencari dagangan mobil hingga ke Jawa Tengah. Mobil yang baru dibeli dicuci bersih hingga penampilannya menarik dan layak diiklankan lewat media harian KR. “Sekali iklan waktu itu sangat efektif menarik konsumen datang,” tuturnya penuh semangat.

Bisnis mobil bekas, sebenarnya memberikan cuan yang cukup lumayan. Syaifudin mengaku bisa mendapatkan keuntungan bersih minimal Rp 2 juta untuk satu unitnya. Namun, dengan suka rela ia menyerahkan usaha jual beli mobil tersebut ke adiknya. Itu karena ia tiba-tiba tertarik mendirikan balai pengobatan.

Tahun 2000-an, selain dikenal sebagai pedagang mobil, ternyata nama Syaifudin mulai viral sebagai juru sembuh. Banyak masyarakat yang mengeluh sakit, minta tolong untuk disembuhkan. Hal itu berawal karena keberhasilan Syaifudin menyembuhkan kakak kandungnya yang sedang sakit. Suatu ketika sang kakak yang kebetulan PNS tidak masuk kerja karena mengeluh sakit. “Rencana mau saya periksakan di PKU tapi tidak mau dan minta saya sendiri yang mengobati, dan terpaksa saya obati. Ternyata sembuh,” tuturnya.

Cerita Syaifudin berhasil menyembuhkan kakaknya yang sakit menyebar dari tingkat desa hingga ke lingkup kapanewon `Gamping. Dari sinilah tiap hari ada saja yang datang ingin berobat ke rumahnya. Dan Syaifudin membantu pengobatan secara gratis. “Karena yang datang makin banyak akhirnya mereka membayar dengan suka rela,” jelasnya.

Dengan semakin banyaknya pasien yang datang, Syaifudin mulai berpikir untuk mendirikan Balai Pengobatan dan Rumah Bersalin (BPRB). Kebetulan Siti Purwati berprofesi sebagai bidan di Puskesmas dan buka praktek di sebuah rumah sakit bersalin swasta.

Tahun 2001, lahirlah BPRB Queen Latifa. Syaifudin sengaja membangun klinik tersebut terpisah dengan rumah pribadi, tepatnya di pinggir jalan raya Ringrod Barat di Mlangi. Klinik tersebut dillengkapi dengan ruang periksa, dan kamar inap. Untuk pasien umum ditangani Syaifudin, sedangkan yang terkait dengan kebidanan di tangani sang istri.

Sebenarnya ada beberapa alternative nama untuk balai pengobatan tersebut. Setelah dikonsultasikan kepada kedua orangtua kandung dan mertua, serta beberapa rekan dipilihlah nama BPRB Queen Latifa yang berarti ratu yang lembut. “ Harapannya para pasien mendapatkan layanan yang lembut dari istri saya,” ujar Syaifudin.

Balai pengobatan yang dikelola Syaifudin dan istrinya mengalami perkembangan yang pesat. Apalagi setelah ada dokter yang praktek setiap hari. Dari sekadar klinik akhirnya naik kelas menjadi rumah sakit sejak tahun 2010 lalu menjadi RS Qeen Latifa.

Menurut Syaifudin, ia mengaku mendapatkan banyak kemudian saat awal mengembangkan Queen Latifa menjadi rumah sakit. Dukungan pertama datang dari tetangga sebelah yang menawarkan tanahnya untuk dipakai dengan harga yang setengahnya dari harga pasaran. Selain itu, ada sebuah bank yang tiba-tiba menawarkan pembiayaan.

Kemudahan lain adalah masuknya dokter yang siap bergabung untuk praktek. Bukannhanya dokkter umum tapi juga berbagai dokter spesialis. Saat ini Queen Latifa sudah memiliki 36 dokter spesialis, mulai bedah, penyakit dalam, anak, bedah, syaraf, kulit, mata, tht anestesi radiologi, rehabilitasi emedis, gigi, otodentis, orthopedic,dll.

Syaifudin menyiapkan fasilitas yang lengkap. Mulai dari UGD, IGD, ICU, ICCU, NICU, HCU, PICU, laboratorium dan berbagai poliklinik untuk rawat jalan. “Insha Allah semua fasilitaas medis tersedia komplit tidak perlu merujuk ke rumah sakit lain,” Syaifudin menjelaskan.

Syaifudin mengaku bersyukur dengan pertumbuhan rumah sakit yang dijalankannya. Dan ia mengaku bisa meraih mimpi yang ingin dicapainya tahun 1992 silam. Beberapa diantaranya, ia berhasil mendirikan panti asuhan yatim piatu Queen Latifa untuk menyalurkan dana sedekah dari penghasilan yang diraihnya.

Syaifudiin juga sudah melibatkan tiga anaknya untuk mengelola rumah sakit tersebut. Dari ketiga anaknya, sudah ada dua yang sudah jadi dokter. Mereka adalah Dr. Dani Sahirul Alim MMR.,MPM dan Dr. Ayu Nisa Dianing Rahma. ***


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved