Profile Entrepreneur

Tomy Yunus Menyiapkan Anak Bangsa Fasih Berbahasa Asing dengan Cakap

Tomy Yunus, CEO & Co-founder Cakap

Di era disrupsi digital, penguasaan bahasa asing menjadi bekal wajib bagi siapapun yang ingin mengembangkan diri dan berkompetensi di dalam dunia pendidikan dan kerja. Karena itu, selain menempuh pembelajaran di sekolah formal, banyak profesional yang juga mengambil kursus bahasa asing usai bekerja. Kian banyak penyedia lembaga kursus bahasa asing yang menyediakan kelas secara tatap muka dan daring, salah satunya Cakap.

Cakap merupakan startup pengembang aplikasi edukasi teknologi asal Indonesia yang fokus pada pendidikan dua arah secara daring. Cakap menyediakan platform pembelajaran online interaktif dengan pendekatan baru dalam pembelajaran bahasa asing dengan menghubungkan siswa dan tutor melalui teks maupun video call.

Ide bisnis Cakap berawal dari pengalaman pribadi Tomy Yunus yang baru bisa belajar bahasa asing di usia 23 tahun, ketika ada kesempatan belajar Bahasa Mandarin langsung di China. Serta, banyak teman yang tidak mendapatkan kesempatan untuk belajar Bahasa Mandarin dari dini, karena biaya kursus yang cukup mahal.

Kemudian, berdasarkan survei yang ditemukan Tomy dan rekan, rata-rata penduduk Indonesia yang menguasai bahasa asing khususnya Bahasa Inggris hanya 10 persen. Dia mempunyai ambisi untuk membuat media pembelajaran bahasa asing dengan harga terjangkau dan siapa saja bisa mengaksesnya dengan mudah, efisien dan menyediakan kelas secara tatap muka.

Sebelum membangun Cakap, dia pernah mencoba bisnis FnB. Saat kuliah Teknologi Infornasi di Renmin University, Beijing, dia pun pernah berjualan hardware. Setelah menyelesaikan studi di Tiongkok, dia kembali ke Indonesia dan bertemu dengan sahabatnya bernama Yohan Limerta. Pada 2014, mereka mendirikan platform belajar bahasa asing, yang saat itu dimulai dari Bahasa Mandarin bernama Squline. “Tahun 2019 rebranding menjadi Cakap,” ujar Tomy Yunus, CEO & Co-founder saat ditemui SWA Online melalui Zoom, beberapa waktu lalu.

Di tahun pertama berdiri, terdapat kelas Mandarin dan Inggris saja. Pada waktu itu, jumlah murid masih terbatas karena hanya mengandalkan dari omongan mulut ke mulut sebagai teknik pemasaran sehingga belum terdata dengan baik. Pada dasarnya, Tomy dan rekan ingin membuat dan mengembangkan brand yang dilihat sebagai karya anak bangsa Indonesia. Saat menggunakan nama Squline, sering dianggap sebagai brand buatan luar negeri. Maka dari itu, mereka memutuskan untuk mengganti nama dengan Cakap agar dapat lebih dikenal dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia.

“Cakap berarti kompeten atau terampul dalam Bahasa Indonesia, sejalan dengan visi kami guna meningkatkan daya saing sumber daya manusia dan misi elevate people’s lives dengan cara memberikan pendidikan berkualitas tinggi yang mudah diakses, dapat diterima dan terjangkau untuk masyarakat Indonesia,” terang pria kelahiran Belinyu, Bangka Belitung, pada 27 Juli 1986.

Perjalanan membangun Cakap tak semudah membalikkan telapak tangan. Cakap menghadapi berbagai tantangan. Saat 5 tahun pertama, dihadapkan dengan koneksi internet yang terbatas, user behavior (masyarakat Indonesia belum menganggap penting kegiatan di luar sekolah, padahal ini sangat penting bagi stimulasi anak). Di Indonesia sendiri spending power belum sebesar Vietnam dan Malaysia (untuk pendidikan tambahan di luar mata ajaran sekolah). Bahkan tingkat pendidikan kita masih di bawah Vietnam, sehingga Tomy berpikir bahwa Cakap harus dapat menghadirkan solusi sebagai fresh market. “Jadi kami dapat menyesuaikan harga ke mass market yang senilai puluhan ribu. Sehingga dapat lebih banyak spending power ke Cakap,” Tomy menjelaskan.

Tantangan lain, Cakap tak selalu menyediakan pembelajaran/kursus yang sesuai pasar, tren dan situasi yang ada. Muncul penyedia platform sejenis juga merupakan penyemangat bagi Cakap untuk tetap bertahan. Cakap sebagai end to end learning ecosystem, bukan hanya belajar tapi membangun relationship dengan guru sampai dapat pekerjaan di platform ini.

Ada tiga kunci sustainable bisnis Cakap. Pertama, bisa diakses dan harga terjangkau, jadi tercipta product market fit. Kedua, strong motivation bagaimana student termotivasi untuk menyelesaikan kelas, mereka harus dipacu untuk selesai dan mendapatkan sertifikat. Ketiga, engagement learning experience, bagimana student enjoy belajar dari Cakap. Ketika di kelas murid bisa merasakan bahagia tanpa bebab ketika belajar dengan guru.

Pada tahun pertama berdiri, Tomy gencar mencari produk market fit, cari solusi yang tepat. Hingga di 2016 dirilik investor perorangan dan satu perusahaan investasi, untuk mengembangkan lagi, yakni Prasetia Dwidharma. Tahap berikutnya scalling up, Cakap ingin membuat masyarakat Indonesia paling tidak 100 juta penduduk Indonesia bisa berbahasa asing, di-upskill oleh Cakap. “Nah fase ini, kami mengundang investor dan partner top di level regional, ada Heritas Capital, MDI, Mandiri Capital, KB Investment yang merupakan investment arm dari Kookmin Bank. Top investor ini sudah bergabung selama 1-2 tahun terakhir, tujuannya melakukan scalle up 100 juta WNI di tahun 2030,” terangnya.

Kelas pertama yang ditawarkan Bahasa Mandarin, karena berhubungan dengan pengalaman pribadi. Kemudian, bertambah ke bahasa asing lainnya seperti Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, dan Bahasa Korea. “Dari sekian banyak kelas yang ditawarkan kami, terbesar masih ada di Bahasa Inggris. Setelah itu, kami melihat anak muda sekarang menyukai entertainment (masuk melalui hiburan) bahasa, contoh Jepang, Korea, jadi kami juga membuka kedua kelas bahasa tersebut,” dia menambahkan.

Menurut Tomy, talenta anak bangsa banyak dibutuhkan di Inggris, Singapura, Hong Kong. Poinnya kalau bisa bahasa asing, ada kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih luas. Jadi profesi yang dikerjakan bukan itu-itu saja, banyak terbantu dengan bahasa asing. Kelas yang saat ini memiliki minat tinggi dicantaranya di bidang hospitality, seperti pelatihan Housekeeping dan Customer Service; Kewirausahaan dan Pemasaran.,” ujar pria yang telah menamatkan studi di Renmin University, mengambil studi di Master of Economics.

Belajar bahasa asing bersama Cakap bisa dimulai dari segmen anak mulai dari usia 4 sampai dengan 12 tahun, terutama untuk kelas bahasa, kelompok siswa usia 18 sampai dengan 22 tahun, cocok untuk mahasiswa dan first jobber. Kemudian, kelas upskill cocok untuk freelancer, unemployment dan blue collar worker (usia 30 tahun), front liner, CS, sales marketing, hospitality. Terkahir segmen bisnis memang menyasar yang lebih mature (di kelompok usia) 30-40 tahun yang menyasar profesional, eksekutif, government official dan pengusaha. kita sudah tentukan segmen usia, jadi kalau digabung life long learning, solusi dari anak-anak sampai profesional. Saat ini untuk bahasa, Cakap juga menyediakan kursus untuk bisnis dan cross languange selain reguler.

Dia menambahkan terdapat total lebih dari 3 juta murid dari 34 provinsi dan punya total pengajar lebih dari 2.000 orang. Pengajar mayoritas dari Indonesia, ada juga penutur asing seperti dari Filipina, China, Eropa (Hungaria). Total pengajar penutur asing berasal dari 10 negara.

Kurikulum Cakap juga dibuat mengikuti standar terbaru dan tren kebutuhan skills yang ada. Kursus juga disesuaikan dengan tujuan siswa, misal Bahasa Inggris untuk kebutuhan industri hospitality. Cakap juga menggandeng profesional/ahli, institusi pendidikan, badan standardisasi/sertifikasi untuk setiap kursus yang kami hadirkan. Setiap level pembelajaran dan kelas juga sudah memiliki sertifikat yang bekerja sama dengan institusi terpercaya.

Adapun manfaat yang diterima murid Cakap, berdasarkan survei yang dilakukan: 9 dari 10 siswa, proficiency level-nya meningkat. Selain itu (dari sisi penghasilan) 57% pemasukan menjadi lebih baik. Setelahnya, status sosial meningkat, yang tadinya hanya bisa bergaul dengan satu kelompok tertentu, dengan kemampuan bahasa asing bisa melakukan bisnis atau berkembang. Selain itu 62% murid bisa menggapai pekerjaan sesuai minat, dan terakhir peningkatan taraf hidup yang bukan hanya dari income (saja) tapi dari happiness (index), 86% siswa menyatakan bahwa mereka belajar/bekerja sesuai dengan minat mereka.

Harapannya dengan adanya sarana pembelajaran bahasa asing laiknya Cakap, Tomy bertekad menyukseskan program Indonesia emas 2045 ketika negara ini memperingati 100 tahun kemerdekaan, serta menyukseskan bonus demografi. Karena banyaknya jumlah penduduk usia produktif, mesti disokong dengan keterampilan yang mumpuni. Pemahaman anak bangsa untuk memanfaatkan teknologi dan juga akses internet dengan lebih positif dan bijaksana adalah tantangan bagi kami untuk dapat meningkatkan fokus guna mengasah kompetensi mereka lebih dalam.

Dia menyarankan masyarakat untuk tetap belajar bahasa asing bagi yang usia sudah tidak muda dan terkontaminasi dengan bisnis. “Jika ada motivasi yang jelas, apapun itu akan dikejar. Salah satu tipsnya find your purpose, baik untuk meningkatkan income, masuk pertemanan baru atau alasan lain. Apalagi dengan perkembangan teknologi maju, banyak sekali metode pembelajaran, siapaun bisa belajar dengan kebutuhan. Masalah orang Indonesia ada di confidence level yang mesti ditingkatkan,” ujarnya menyarankan.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved