Upaya Memperluas Sosialisasi Tanda Label Hemat Energi

Pada umumnya, masyarakat Indonesia tidak memerhatikan label tanda hemat energi (LTHE) saat membeli Air Conditioner (AC) split. Mereka cenderung membeli AC split dengan mempertimbangkan harga yang terjangkau sesuai dengan keuangan mereka dan daya listrik rendah. Selain itu, mereka juga tertarik dengan promosi yang gencar dilakukan oleh penjual.

“Ini tantangannya, apalagi bila berhadapan dengan ibu-ibu. Mereka cenderung melihat harganya, tanpa melihat label tanda hemat energi (LTHE). Sama-sama AC yang low watt, tetapi mereka pilih AC yang harganya lebih murah,” ujar Direktur Konservasi Energi Ditjen Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) Gigih Udi Atmo saat menjadi narasumber dalam diskusi bertemakan ‘Memperluas Sosialisasi Tanda Label Hemat Energi’ di Jakarta (23/06/2023).

Menurutnya, hal yang harus diperhatikan pada saat membeli AC split adalah label tanda hemat energi. Teknologi semakin maju dan semakin meningkat efisiensinya. Semakin tinggi bintang yang tertera di label, semakin hemat energi. Namun harga jualnya mahal.

“Sama-sama low watt, tetapi memerhatikan label tanda hemat energinya, jika yang tertera dalam label itu bintang 5, maka semakin hemat energi. Memang harganya mahal, tetapi biaya tagihan listrik tiap bulannya lebih murah dibanding dengan AC low watt bintang 1 atau 2,” ungkap Gigih.

Ditjen EBTKE Kemen ESDM gencar melakukan sosialisasi label hemat energi. Dalam berbagai cara dan pelibatan sejumlah pihak seperti asosiasi, praktisi, produsen sampai sosialisasi langsung ke ibu-ibu PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga). Ini agar masyarakat cermat memilih produk. Sosialisasi juga dilakukan lewat media massa, televisi, dan media sosial.

Saat ini, lanjut dia, Ditjen EBTKE Kemen ESDM sudah mulai melakukan kerja sama dengan marketplace dalam memperluas sosialisasi label hemat energi. Sekadar diketahui, pada Januari 2015 Kementerian ESDM menetapkan peraturan untuk produsen AC. Peraturan tersebut bertujuan untuk seluruh produsen pembuat AC yang masuk ke Indonesia lebih meningkatkan efisiensi energi listrik agar pengguna menikmati AC hemat listrik.

Peraturan tersebut mulai diberlakukan pada Agustus 2016. Ini hanya berlaku untuk AC perumahan dengan tipe single split wall mounted dan dengan EER minimum (Energy Efficiency Ratio) sebesar 8,53% (inverter) dan tipe non inventer.

Pada 1 Agustus 2016, pemerintah mengeluarkan regulasi SKEM (Standar Kinerja Energi Minimum) berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 7 Tahun 2015 tentang Penerapan Standar Kinerja Energi Minimum dan Pencantuman Label Tanda Hemat Energi untuk Piranti Pengkondisi Udara (AC). Regulasi itu ditandai dengan label AC hemat listrik, memiliki tanda empat bintang, dan disempurnakan kembali pada 2021, menjadi bintang lima. Regulasi itu juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 33/2023 tentang Konservasi Energi. Ini PP terbaru yang belum lama dikeluarkan pemerintah.

Label AC hemat energi ini merupakan suatu upaya pemerintah dalam mengurangi emisi global. Label AC hemat energi ini hanya terdapat pada produk yang telah lolos uji berdasarkan ketentuan dari pemerintah. Label hemat energi hal yang wajib dibubuhkan oleh produsen untuk membendung produk-produk buangan dari negara lain masuk ke Indonesia.

Narasumber lainnya dalam talkshow ini adalah Herlin Herlianika, Presiden Ashrae, global asosiasi di bidang Heating, Ventilating, Air Conditioning & Refrigeration mengakui makin panasnya udara akhir-akhir ini membuat banyak orang memutuskan memasang AC split di rumah maupun kantor.

Dari hasil survei yang dilakukan Ashrae Indonesia Chapter menunjukkan hanya 5% masyarakat Indonesia pengguna AC split. Dan dari jumlah tersebut, cuma 6,5% yang mengetahui label tanda hemat energi. “Ashrae terpanggil untuk mengampanyekan ini. Buat apa regulasi dibuat sejak 2015, tapi impact-nya tidak ada,” ujar Herlin.

Direktur Utama (Dirut) PT Indonesia Digital Pos yang menaungi Indopos.co.id dan Indoposco Syarif Hidayatullah mendorong dukungan insan media atas kampanye kesadaran isu lingkungan. Ini mengingat dampak pemberitaan media massa atas isu lingkungan sangat signifikan. “Butuh peningkatan kesadaran jurnalis dan pemilik, untuk lebih mengedepankan isu lingkungan,” tandasnya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Perusahaan Industri Elektronik dan Alat-alat Listrik Rumah Tangga Indonesia (Gabel) Daniel Suhardiman menambahkan, seiring dengan pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap US$, harga bahan baku produk elektronik sudah naik. Saat ini para pelaku pasar masih menghitung dampak kenaikan harga jual.

Sebelumnya, akibat kenaikan biaya pengapalan (freight rate) saja membuat harga elektronik secara umum naik sekitar 2-5%. “Dampak kemungkinan akan dirasakan apabila Rupiah dalam waktu dekat masih melemah, para pelaku pasar terpaksa menaikkan harga jual. Bagi industri dalam negeri, ini sangat sulit,” jelasnya.

Selain pelemahan kurs Rupiah, industri elektronik juga masih merasakan kendala kelangkaan peti kemas dan biaya kapal yang belum kembali ke kondisi pra-krisis. Kendati demikian, Daniel mengatakan, suplai bahan baku masih cukup normal. Namun, untuk chip masih terkendala dan perlu booking pembelian lebih panjang dari kondisi normal. “Secara umum, kondisi stok bahan baku masih relatif aman, meskipun perlu follow up ketat terkait jadwal pengiriman,” ucapnya.

Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sri Wahyuni mengatakan, guna mewujudkan green energy transition diperlukan regulasi dan kebijakan yang fair. Seperti tarif yang terjangkau bagi konsumen, keandalan pelayanan yang terjaga, dan menjaga keberlangsungan operator energi nasional.

“Memang upaya mewujudkan kebijakan green energy, harus melalui transisi dengan menggunakan energi bersih, sampai benar benar terwujud energi baru terbarukan di berbagai sektor baik di sektor migas, dan atau sektor ketenagalistrikan,” paparnya.

Kebijakan sektor transportasi pun, lanjut Sri Wahyuni, harus sejalan dengan kebijakan energi. “Penggunaan clean energy dan green energy adalah fenomena yang tak terelakkan, dalam rangka memerangi perubahan iklim dan krisis iklim yang makin mengkhawatirkan,” jelasnya.

Christine Egan, CEO CLASP (Collaborative Labeling and Appliance Standards Program) mengatakan, pihaknya sudah menandatangani kerja sama dengan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM pada Jumat (23/06/2023). CLASP adalah organisasi nirlaba internasional yang menyediakan dukungan teknis dan kebijakan kepada pemerintah di seluruh dunia, termasuk Indonesia dan bekerja untuk mengimplementasikan standar efisiensi energi dan label (S&L) untuk peralatan, pencahayaan, dan peralatan. Organisasi ini memiliki keahlian khusus dalam menerbitkan studi dan analisis yang relevan bagi praktisi S&L.

Swa.co.id