Jurus Prodjo Sunarjanto Memoles Perusahaan Rental Mobil
Bagi Prodjo Sunarjanto, CEO PT Adi Sarana Armada (ASSA), sumber daya manusia adalah segalanya bagi tumbuh kembang dan kelestarian perusahaan. Dengan people management akan mudah menginternalisasi kultur perusahaan ke tiap level karyawan yang akhirnya memberi manfaat pada customer, perusahaan, shareholder, dan karyawan.
Prinsip inilah yang juga diterapkan tatkala ia membenahi ASSA. Perusahaan rental mobil yang dulu bernama Adira Rent ini berhasil turn around. Dari hanya memiliki 1.800 unit mobil pada tahun 2007 menjadi total 10.000 unit di tahun 2012. Tiga tahun belakangan, Assa membukukan pertumbuhan omset hingga 30% tiap tahunnya.
Prodjo punya target menciptakan sebanyak-banyaknya orang yang siap memimpin perusahaan. Mantan CEO PT Serasi Auto Raya ini percaya, apa pun tujuan perusahaan dapat tercapai bila memiliki people dalam tim yang kuat.
Lelaki kelahiran Malang, 11 November 1959 ini juga masih aktif mengajar di Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Di sela kesibukannya, awal September lalu, dia meluangkan waktu untuk wawancara dengan Sigit A Nugroho dari SWA. Berikut ini penggalan wawancaranya.
Apa filosofi bisnis rental?
Kalau orang bilang bisnis ini adalah persewaan mobil. Tidak ada salahnya juga. Tetapi, filosofi bisnis rental mobil adalah bisnis produksi mobil bekas.
Menjalankan bisnis rental harus memiliki passion. Pertama kali bergabung, harus tanya dulu ke pemodalnya. You maunya apa? Kalau maunya cepat balik modal, tidak cocok bisnis ini. Karena uangnya masuk terus. Selama you nambah mobil, uangnya masuk terus. Tidak ada kembalinya. Misalnya, beli 1000 mobil seharga Rp 150 juta. Dengan DP 30% artinya harus keluar Rp 30 miliyar. Nah, siapa yang kuat menambahi seperti itu? Kalau tidak customer-nya cepat berkembang akan babak belur.
Sukses dari bisnis rental tergantung pada utilisasi. Tidak perlu menjadi rental mobil terbesar. Itu tidak ada artinya kalau mobilnya banyak yang nganggur. Misalnya, punya 1000 mobil, yang tersewa 990, itu bagus. Tapi kalau punya 1.500 mobil, yang tersewa 1.200 tidak bagus.
Bisnis ini hanya bisa break event hanya kalau punya 3.000 unit. Di bawah itu ya bisa main, tetapi mindset-nya pemain lokal. Misalnya, saya punya 400 unit di perusahaan minyak. Ya sudah di sana saja, tidak bisa ke mana-mana.
Di bisnis rental harus memahami dua hal tentang pendanaan. Pertama, tentang depresiasi, dan kedua, cost of money. Depresiasi bergantung pada product mix, yakni pilihan jenis mobil. Kalau pilihan jenis mobil salah, ya babak belur di belakang. Misalnya, kita menyewakan mobil bermerek yang tidak bagus aftersales-nya. Keren sih. Tapi, pada waktu 3 tahun lagi, bagaimana menjual mobil bekas tersebut?
Pertama bergabung di ASSA, masalah apa yang dipetakan?
Saya melihat ada kesalahan dalam model bisnis. Target market, financial, dan people management.
Mana yang perertama kali disentuh?
Pertama, ya customer service (CS) harus bagus. Kalau CS bagus, konsumen akan ikut kita. Karena harga nomor dua. Jiwa memuaskan konsumen ini harus dimiliki semua karyawan. Nah, untuk mendapat CS yang bagus, harus diciptakan kultur sesuai dengan requirement yang dibutuhkan pelanggan.
Karyawan harus diberi pemahaman bahwa yang memberi hidup dan makan karyawan adalah customer, bukan pemegang saham. Jadi, semaksimal mungkin setiap karyawan harus memenuhi kepuasan pelanggan. Karena setiap pelanggan memiliki kebutuhan yang berbeda-beda.
Dulu perlakuan terhadap konsumen tak ada perbedaan. Pukul rata. Padahal, kebutuhan customer beda-beda. Misalnya, perbankan dengan perusahaan rokok kan berbeda. Di bisnis ini tidak bisa ones for all. Nah, itu yang harus dibenahi.
Lantas, tentang bangunan network, karena klien juga punya kantor cabang di seluruh Indonesia. Kalau kita hanya buka di Jakarta saja, bagaimana bisa melayani. Jadi, kami buka cabang di kota-kota besar Indonesia. Nah, tantangannya, apakah IT-nya siap? Dukungan IT sangat vital. Perlunya untuk mendokumentasikan rekam-jejak operasional rental, seperti jam pemakaian sopir, jenis mobil, dan lainnya. Juga untuk memudahkan maintenance, misalnya dalam hal pajak kendaraan. Kalau jumlah mobil puluhan sih gampang. Tapi ini puluhan ribu mobil dan tempatnya menyebar.
Bagaimana menginternalisasi itu semua ke karyawan?
Tuntutan dan keinginan karyawan banyak, tidak sama. Saya selalu cerita, kami ini seperti rumah. Tiap orang punya peranan masing-masing. Ada yang jadi skrup, tiang, atap, dan lainnya. Kalau semuanya ingin menjadi rumah tanpa ada tiang dan skrup, tidak akan bisa. Jadi, walaupun orang itu kecil, tapi peranannya ada dan sama penting. Kami tidak perlu superman, tetapi super team.
Jadi, tidak ada istilah mengistimewakan ujung tombak. Semua punya berperan. Ujung tombak tanpa tangkai juga tidak bisa untuk menombak. Sales tidak bisa dibilang ujung tombak. Memang mereka yang mencari klien. Tetapi, setelah deal kontrak 4 tahun, maka yang melayani ya sopir, administrasi, customer service. Nah, salesman harus memastikan sopir, customer service, administrasi dan lainnya berjalan dengan benar.
Bagaimana cara mengajak karyawan sejalan dengan rencana perusahaan?
Begini. Kami ini kan transparan. Tiap tahun kami adakan Gemba (turun ke bawah). Direksi termasuk saya turun ke bawah, ke cabang-cabang, untuk berinteraksi dengan karyawan. Kami jelaskan performa, pencapaian, profit, revenue dan juga target serta tuntutan pusat ke daerah itu apa saja. Lalu, kami juga ingin tahu feedback dari mereka. Apa saja yang mereka butuhkan.
Bila diperlakukan demikian, karyawan akan merasa lebih involve, termasuk juga saat membuat planning. Mereka yang membuat perencanaan, budget. Kami yang me-review. Dengan adanya interaksi itu, maka terbentuk komitmen. Kalau cuma dari atas, ya susah.
Kan tidak bisa serta merta bottom-up seperti itu?
Memang bertahap. Waktu 2007 kami juga masih top-down. Karena organisasinya belum siap. Kami perlu waktu sekitar 5 tahun untuk melakukan sistem bottom-up. Misalnya, kepala cabang mulai diajak untuk menentukan target sendiri. Sehingga, mereka akan berusaha mencapainya. Kami juga penuhi kebutuhannya. Dengan target seperti itu, mereka butuh orang berapa lagi, sistem IT yang seperti apa, pool seberapa dan sebagainya. Kami penuhi.
Dulu, seperti apa pengelolaan orang di ASSA?
Dulu asal rekrut karyawan. Jadi sering tidak sesuai kebutuhan. Lalu, tidak ada training dan juga dokumentasi bagaimana karyawan melayani customer. Akibatnya karyawan kurang profesional. Contoh mudahnya sopir. Kenapa semua orang menganggap rendah sopir dibanding pilot? Padahal, risiko kecelakaan sopir lebih tinggi daripada pilot. Yang menggunakan sopir, bisa dipastikan bos. Kalau pilot, kan belum tentu mengangkut bos. Kita respect pada pilot karena mereka profesional dan punya standar sendiri.
Orang tidak menghargai sopir, karena mereka tidak profesional. Misalnya baju dikeluarkan, cara bicaranya kurang sopan, bau badan. Sejak kami lakukan turn around, mulai ada screening karyawan sebelum masuk. Dan juga, kami ajarkan para sopir untuk menghargai dirinya sendiri. Kalau tidak menghargai dirinya sendiri, bagaimana orang lain mau respect.
Mengubah manner sopir tidak gampang. Bagaimana Anda bisa?
Kami membuat PT Duta Mitra Solusindo yang khusus untuk mengelola sopir. Karena management rental hanya mencari profit dari rental. Sehingga, sopir hanya dianggap sebagai unsur pendukung saja. Padahal, dia paling penting. Nah, kalau tidak dikasih fokus orang yang mengelola dengan baik, siapa sih yang mikirin sopir.
Padahal kalau sopir dikelola dengan baik, kualitasnya akan meningkat. Misalnya, sopir kelas A yang baru belajar. Sopir kelas B yang menguasai bahasa inggris. Atau kelas C yang menguasai bahasa Jepang.
Kemudian, tidak selamanya mereka berkarier sebagai sopir. Karena dengan perusahaan sendiri, sopir bisa menjadi koordinator driver. Misalnya, dalam satu wilayah ada 10 sopir, kan bisa menjadi koordinator di sana. Bisa jadi supervisor, manajer, siapa tahu bisa jadi direksi. Dengan PT sendiri, sopir memiliki career path yang jelas. Saat ini ada 2.500-an sopir.
Dengan PT sendiri, apakah menjamin kesejahteraan sopir?
Oh, pasti. Dengan PT sendiri, kan ada yang memikirkan, misalnya, beasiswa anak sopir. Juga insentif-insentif lainnya. Sebab, itu diberikan semata-mata untuk mendorong kinerja sopir agar lebih profesional. Semakin dia berkinerja bagus, kesejahteraan makin meningkat. Mendorong sopir ya harus dengan insentif-insentif seperti itu.
Ke depan kita juga akan membuat koperasi. Rencananya, koperasi bisa memiliki saham dari PT tersebut. Jadi, kita memikirkan sopir ini jauh ke depan.
Cukup dengan itu saja? Tidak perlu training, misalnya?
Training kami lakukan tiap hari. Tidak ada training yang berhenti. Caranya, ada koordinator yang selalu memantau sopir. Koordinator harus memastikan sopir menjalankan SOP dengan benar. Ke depan, kami juga akan melakukan semacam kunjungan ke keluarga sopir. Selama ini kan tidak ada yang tahu problem yang dihadapi sopir. Mungkin para istri sopir bisa diajak membentuk paguyuban untuk bikin usaha agar kesejahteraan meningkat.
Bagaimana karyawan selain sopir?
Kebetulan di perusahaan kami terdiri dari anak-anak muda. Dari 550-an staf, mayoritas masih berumur 20-39. Dengan anak muda, change akan gampang dilakukan. Anak muda lebih gampang diajak berubah.
Karyawan ASSA selalu memiliki competency base. Dia harus tahu kompetensi apa yang diperlukan untuk melakukan suatu tugas. Kemudian, ada yang namanya individual development plan (IDP). Setiap atasan harus tahu dan memastikan pencapaian-pencapaian anak buahnya. Setiap orang punya kesempatan untuk naik ke atas. Untuk mencapai itu, apa sih skill yang diperlukan? Makanya diadakan training. Kami ada standar minimal tiap karyawan harus training 42 jam tiap tahun. Itu belum training lainnya. Kami punya banyak training.
Bagaimana imbasnya terhadap bisnis?
Tiga tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan 30%. Omset tahun 2011 sebesar Rp 566 miliar. Net profit before tax Rp 29 miliar. Capex (capital expenditure) per tahun minimum Rp 600 miliar.
Dari 10.000 unit mobil, seperti apa tingkat utilitasnya?
Kami sudah di atas 95%.
Market share berapa?
Market share di sini agak susah membacanya. Sebagai gambaran, kalau produksi mobil 1 juta unit. 30% dibeli korporasi dengan jangka pakai 8 tahun. Artinya, ada 2,4 juta unit mobil. Dari angka itu, kalau 10%-nya kan 240 ribu unit. Kira-kira, market size di rental antara 60-70 ribu unit. Kalau ASSA punya 10 ribu unit berarti antara 10-15%.
Kabarnya masuk ke logistik juga?
Logistiknya lebih bersifat logistik transporter. Misalnya, mengangkut distribusi kepunyaan Alfamart, Coca Cola, Sampoerna, Sari Roti. Satu hari bisa mencapai seribu trip. Tetapi driving utama ASSA tetap di rental.
Bagaimana dengan used car?
Kami memiliki divisi galeri mobil bekas. Divisi ini yang mengelola proses penjualan mobil bekas. Kalau kondisi mobil, tidak usah ditanyakan. Karena kami selalu memastikan mobil bekas kami dalam kondisi bagus. Kalau tidak bagus, ya akan dikomplain pelanggan rental. Kualitas mobil bekas dari rental jauh lebih baik dibanding lainnya.
Sebenarnya, apa sih target Anda?
Saya ini selalu melihatnya orang. Saya ingin lima tahun lagi punya orang lebih banyak yang mampu menjalankan perusahaan ini. Bisnis sangat bergantung pada kemampuan orang. Kami bukan mau menjadi perusahaan besar, tetapi menjadi perusahaan terbaik. Kita harus punya fondasi struktur, terdiri dari customer service, sistem, kultur, dan people management. Struktur harus diperkuat dulu. Tinggal nanti menentukan bangunannya mau sebesar apa, asal struktur kuat pasti akan kokoh.
Ngomong-ngomong apakah Anda ditawarkan opsi saham di ASSA?
Memang ada opsi saham. Tetapi saya juga setor modal. Tidak ada yang namanya gratis. Kalau semua gratis, tidak ada tantangannya. Tidak ada tanggung jawabnya.
Berapa persen kepemilikan saham Anda dan tim?
Ya macem-macemlah. Dari 2 persen sampai 2 persen. Tergantung range stratanya masing-masing.
Kalau Anda sampai belasan persen kepemilikan?
Hahahahaaa…. itu terlalu sensitif. (Prodjo ngakak). Yang penting saya yakin bisa membuat perusahaan ini maju. Jadi, kami sama-sama taruhan. (EVA)