Hayao dan Studio Ghibli yang Magis
Sederet film animasi meluncur dari studio ini, menjadi mesin bisnis yang mengagumkan. Namun, di tengah kesuksesan yang direguk, tantangan menyangkut keberlanjutannya kini mengintai.

Menyebut dunia animasi, tak akan pernah lengkap tanpa menyinggung posisi, kontribusi, dan dampak Studio Ghibli. Maklum, karya-karya besarnya telah mewarnai jagat animasi global. Sebutlah Nausicaä of the Valley of the Wind, Porco Rosso, My Neighbor Totoro, dan tentu saja magnum opus-nya: Spirited Away, yang mengantongi Oscar di tahun 2002.
Hayao Miyazaki adalah sosok sentral di balik berkibarnya Studio Ghibli. Kelahiran Tokyo, 5 Januari 1941, ini adalah salah seorang dari empat putra Katsuji Miyazaki, yang bekerja di Miyazaki Airplanes. Ini perusahaan keluarga besar Miyazaki, bergerak dalam bidang produksi suku cadang pesawat tempur.
Ketertarikan Hayao pada dunia animasi dimulai tahun 1958. Imajinasinya meletup begitu menyaksikan Hakujaden (Legend of the White Snake), film produksi Toei Animation, sekaligus animasi color feature-length pertama di Jepang. Ketika itu, Toei adalah perusahaan animasi ternama, berdiri pada 1948.
Sekalipun mulai tertarik pada dunia animasi, Hayao remaja sesungguhnya tidak ingin menjadi animator. Hasratnya menjadi seniman komik. Uniknya, dia mengambil Ilmu Politik di Universitas Gakushuin, Tokyo. Namun, dia tetap menyalurkan kesenangannya pada komik dengan cara bergabung sebagai anggota klub sastra di kampus.
Selesai kuliah tahun 1963, Hayao masuk jalur animasi. Di tahun itu, dia bergabung ke Toei Animation. Tujuannya: menjadi animator.
Di situlah dia belajar dasar-dasar animasi. Dalam hierarki artistik, kariernya bahkan benar-benar berangkat dari dasar: mengisi gerakan karakter dan objek cell-by-cell yang saat itu digunakan dunia animasi, sehingga sering disebut cell animation.
Berasal dari kata “celluloid”, animasi cell merupakan bahan dasar dalam pembuatan animasi di tahun-tahun awal dunia animasi berkembang. Disebut cell animation karena dalam pembuatannya menggunakan lembaran-lembaran yang membentuk animasi tunggal. Tiap-tiap cell merupakan bagian yang terpisah sebagai objek animasi, digambar pada celluloid sheets (karena itu dinamakan cell animation) ―kini semuanya digantikan oleh layer-layer digital.
Karena berangkat dari cinta, Hayao sangat menikmati pekerjaannya. Dia belajar menggambar karakter dengan akurat.
Ditambah dengan bakatnya yang besar, dia segera mencuri perhatian di lingkungan Toei. Anak muda ini mengesankan banyak rekan kerjanya lewat beragam imajinasinya yang menarik, sekaligus sederet ide cerita yang menggelitik.
Tak mengherankan, kariernya melesat cepat. Tahun 1968, di tahun dia menikahi Akemi Ota, animator yang juga bekerja di Toei, Hayao merilis film Prince of the Sun, sebuah kolaborasi dengan kepala animator Toei, Yasuo Otsuka dan Isao Takahata (sutradara). Yang terakhir ini kelak menjadi mitra duetnya yang legendaris.
Ingin tantangan lebih besar, Hayao tak lagi merajut kebersamaan dengan Toei. Pada tahun 1971, dia keluar dari perusahaan yang berbasis di Tokyo itu, ikut seniornya, Takahata, ke A Pro.
Seperti Hayao, Takahata juga mengambil jalur di luar animasi saat kuliah: Sastra Prancis di Universitas Tokyo, lulus tahun 1959. Selepas lulus, dia bergabung di Toei sebagai animator. Dia sendiri tertarik dunia animasi setelah menyaksikan film kartun Prancis yang dirilis tahun 1952, Le Roi et l’Oiseau (The King and the Mockingbird).
Hayao tak lama bersama Takahata di A Pro. Dua tahun kemudian, tepatnya Juni 1973, dia pindah ke Zuiyo Pictures, tempat dia kelak belajar jadi sutradara, merancang adegan untuk film animasi, Heidi: Girl of the Alps (1974).
Makin banyak belajar, membuat Hayao kian mantap untuk mengabdikan dirinya pada dunia animasi. Namun, selama kurun 1970-an, di samping tenggelam di dunia film animasi, dia juga bekerja menjadi kreator manga.
Di tahun 1979, Hayao membuat lompatan penting. Dia merilis film animasi yang disutradarainya, Lupin III: The Castle of Cagliostro. Film ini memang tak terlalu sukses, tapi menjadi pijakan kokoh untuk menjadi sutradara film animasi, yang seakan pintunya dibuka lebar buat dirinya mulai dekade 1980-an.
Memasuki awal 1980, Hayao menyalurkan kesenangannya pada dunia komik. Dibuatnya seri manga, tentang Nausicaä, seorang putri yang hidup di masa depan ketika umat manusia berada dalam bahaya kepunahan.
Rupanya, karya ini mendapat sambutan luas. Tahun 1982, perusahaan penerbitan Tokuma Shoten memintanya mengubah Nausicaä menjadi animasi. Hayao pun menyambat rekan lamanya, Takahata, untuk membantunya memproduksi film animasi, sementara dirinya menuliskan skenario, membuat papan cerita, sekaligus melukis adegan serta karakter yang akan digunakan tim animasi.
Dimulai tahun 1983, akhirnya lahirlah film animasi Nausicaä of the Valley of the Wind yang dirilis setahun berikutnya. Hasilnya, sukses besar: menjadi box office di Jepang. Bahkan, film ini bukan hanya meraih kesuksesan secara finansial, tapi juga menjadi panutan bagi banyak pelaku anime Negeri Matahari Terbit.
Melihat peluang bisnis yang terbuka lebar, Hayao mengajak Toshio Suzuki, seorang produser yang terlibat dalam Nausicaä, untuk mendirikan studio sendiri. Mereka lalu mengajak Takahata untuk turut bergabung. Sementara untuk pendanaan, diundang Tokuma Shoten. Maka, berdirilah Studio Ghibli di tahun 1985.
Nama Ghibli lahir dari amatan Hayao. Lelaki pencinta alam ini terinspirasi fenomena angin yang melintasi Mediterania, dari Gurun Sahara ke Eropa sisi selatan. Angin yang berembus ini dinamai Sirocco, yang dalam bahasa Libya dikenal dengan nama Ghibli.

Dalam bahasa Jepang, nama studio itu dilafalkan “ji-bri” atau “ji-bu-ri” ―Hayao sendiri melafalkannya sebagai “jee-blee”. Harapan mereka, studio baru tersebut akan meniupkan angin baru kepada industri animasi.
Harapan itu terbukti. Bahkan, melampaui bayangan awal. Seperti bola salju, di tangan duet Hayao dan Takahata, Studio Ghibli seperti mesin kreatif yang tak ada habisnya. Dari studio yang bermarkas di Koganei, Tokyo, film-film animasi mengalir hampir setiap tahun, memukau penonton dan kritikus film, serta menjaring sederet penghargaan bergengsi.
Sekalipun Takahata lebih senior dalam dunia animasi, Hayao bisa dikatakan sosok sentral di Studio Ghibli. Mayoritas film dari studio ini yang menerima penghargaan adalah film-film yang disutradarai Hayao.
Yang disutradarai Takahata dan paling dipuji adalah Grave of the Fireflies (1988). Di luar itu, sejumlah karyanya yang terkenal antara lain Only Yesterday (1992), Pom Poko (1994), My Neighbors the Yamadas (1999), dan The Tale of the Princess Kaguya (2013).
Yang menarik, banyak film animasi yang dibesut Hayao merupakan refleksi atas kehidupannya, terutama masa kecilnya. Tak banyak yang tahu betapa lelaki ini memiliki rasa bersalah atas bisnis Miyazaki Airplanes. Baginya, keluarganya telah mendapat untung dari agresivitas Jepang dalam Perang Dunia II. Selain dalam Nausicaä of the Valley of the Wind, ketidaksukaannya pada sisi gelap militerisme itu direfleksikannya dalam film Porco Rosso (1992).
Sewaktu Jepang diporak-porandakan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II, keluarga Hayao ikut menderita. Sementara banyak kerabatnya pindah dari Tokyo, dan sebagian pindah agar lebih dekat dengan pabrik pesawat Miyazaki di Kota Kanuma, Hayao ikut ayahnya, Katsuji. Mereka bergerak dan menetap di Kota Utsunomiya, tinggal selama 1944-1946.
Kelak, kondisi hutan di Utsunomiya begitu membekas pada dirinya. Keadaan hutan ini kemudian begitu menonjol ditampilkan dalam karyanya, My Neighbor Totoro (1988).
Tak semua karya Hayao sukses besar. Namun, biasanya dia dapat menutupi dengan karya lain. Contohnya, sementara My Neighbor Totoro kurang berhasil secara komersial, karya berikutnya, Witch’s Delivery Service yang rilis 1989 mendapat sambutan besar, tidak hanya box office di Jepang, tapi juga secara internasional.
Dalam film yang di AS menjadi Kiki’s Delivery Service itu, Hayao memperlihatkan keadaan dunia di mana Perang Dunia II tidak pernah terjadi dengan pemandangan kota tepi laut tempat Kiki bermukim, yang seperti permukiman orang Prancis, tapi dihuni berbagai kelompok etnis.
Memasuki dekade 1990-an, kreativitas Hayao terus meledak. Lahir Porco Rosso (1992). Film ini berkisah tentang Porco Rosso, pilot pesawat tempur Perang Dunia I. Selain sebagai pilot, Porco Rosso juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai pembunuh bayaran yang dikutuk memiliki kepala babi. Itulah sebabnya, di luar Jepang, filmnya disebut The Crimson Pig.
Di dekade ini, karya Hayao yang menuai pujian adalah film Princess Mononoke (1997). Berdurasi 2 jam 14 menit, animasi ini bercerita tentang perjalanan Pangeran Ashitaka ke sebuah wilayah di bagian barat Jepang, untuk menghilangkan kutukan yang dimilikinya. Sesampainya di wilayah tersebut, dia menemukan dirinya berada di sebuah perang antara penduduk hutan dan manusia dari desa penambang besi.
Film ini laris manis, memberikan keuntungan lebih dari US$ 150 juta untuk Studio Ghibli, sekaligus makin melambungkan nama Hayao di pentas animasi global. Dan, puncaknya adalah saat dia merilis Spirited Away (2001) yang menyabet Oscar. Bagi sejumlah kalangan, ini adalah film animasi terbesar yang pernah dibuat dan dianggap sebagai salah satu yang terbaik di dunia animasi.

Spirited Away berkisah tentang perjalanan anak perempuan berusia 10 tahun, Chihiro Ogino, yang tersesat ke alam gaib setelah memasuki terowongan di tengah hutan. Di sini dia harus berpisah dengan kedua orang tuanya yang berubah menjadi babi lantaran serakah melahap makanan di tempat asing.
Beruntung, Chihiro bertemu dengan laki-laki bernama Haku yang membantunya bertahan hidup. Kendati harus melewati masa-masa sulit yang melelahkan, Chihiro selamat dan kembali ke dunia manusia bersama kedua orang tuanya.
Yang membuat film ini meraih Oscar, selain keindahan visualnya, juga lantaran jalan ceritanya yang sangat kaya akan pesan moral. Hayao tidak hanya membuat Spirited Away jauh lebih besar dari sekadar film mengenai anak kecil yang terjebak dalam dunia gaib. Di sekujur film ini dia menyisipkan banyak pesan moral, kritik, serta simbol yang filosofis tentang perlunya menjauhi keserakahan.
Saat membedah kesuksesan Studio Ghibli, terutama film-film yang disutradarai Hayao, para kritikus menilai beberapa faktor pendorongnya. Pertama, kekuatan story telling.
Hayao kerap mengangkat tema yang serius dengan alur yang cenderung sulit ditebak, dengan ending yang sering terkesan menggantung, membuat penonton menebak-nebak, atau menciptakan sendiri ending yang diinginkan. Hayao juga mampu membuat dunia fantasi dan dunia nyata seolah hanya dibatasi sekat yang tipis, yang membuat penontonnya bebas berimajinasi.
Kedua, tema humanisme dan alam. Film-film Studio Ghibli yang dibesut Hayao banyak menawarkan jalan untuk melarikan diri (eskapisme) ke dalam dunia fantasi yang indah. Para penonton ditawari tema-tema yang penuh nostalgia lewat gambaran alam yang kuat.
Film-film Studio Ghibli menyajikan keindahan alam yang memanjakan mata sekaligus mengajak penonton bertualang di dalamnya. “Kami merasa dunia itu indah. Hubungan antarmanusia bukanlah satu-satunya yang menarik. Kami berpikir tentang cuaca, waktu, sinar cahaya, tanaman, air, angin, semuanya indah,” kata Hayao.
Ketiga, teknis animasi. Hayao beserta timnya mengembangkan teknik yang terus disempurnakan dari waktu ke waktu. Hayao sendiri orang yang intens dan perfeksionis, yang kadang terasa ekstrem. Dia pernah menggambar ulat dengan meletakkannya langsung di bawah mikroskop alih-alih menggunakan teknologi CGI.
Menurut founder Studio Ghibli Toshio Suzuki, dalam film How Do You Live?, yang mulai diproduksi tahun 2016, dibutuhkan setahun hanya untuk membuat 12 menit film animasi. Rencananya, film ini akan rilis pada Juli 2023, dan disebut-sebut akan menjadi film terakhir Hayao. Dia memang penuh dedikasi dalam menggambar. Namun, semua dilakukan agar penonton merasa terpuaskan.

Di luar tiga faktor di atas, kesuksesan Studio Ghibli juga tak bisa dilepaskan dari faktor lain. Persisnya, kemampuan berkolaborasi dengan pemain internasional. Begitu film-film animasinya makin diakui penggemar anime, Studio Ghibli melakukan kesepakatan distribusi dengan Disney Studios pada tahun 1996.
Kesepakatan itu sangat strategis karena memungkinkan mereka membawa karya-karya animatornya, terutama Hayao, pada tingkat kesuksesan yang lebih luas. Disney tertarik bekerja sama setelah menyaksikan kesuksesan Kiki’s Delivery Service.
Hayao sendiri, selepas Spirited Away, tak menghentikan kreativitasnya. Di antaranya, dia meluncurkan Howl’s Moving Castle (2004), Ponyo on the Cliff by the Sea (2008), dan The Wind Rises (2013).
Di tengah karya-karya yang tetap mengalir, tak sedikit pihak mempertanyakan bagaimana nasih Studio Ghibli kelak. Hal ini tak terlepas dari motor-motor studio animasi ini yang makin beranjak sepuh.
Terlebih setelah pada 5 April 2018, Takahata mengembuskan napas terakhir. Hayao sendiri yang kini berusia 82 tahun disebut-sebut akan segera pensiun setelah merilis How Do You Live? yang akan dirilis pada Juli 2023.
Sejauh ini, manajemen Studio Ghibli telah mengambil sederet langkah strategis. Satu yang terpenting adalah menjalin aliansi dengan platform streaming seperti Netflix dan HBO Max.
Sebelumnya, mereka begitu menentang aliansi ini karena meyakini bahwa layar bioskop adalah tempat utama untuk menyaksikan karya-karya animasi Studio Ghibli. Namun, dengan mempertimbangkan kemajuan zaman, juga keinginan karya-karya tersebut dinikmati segala lapisan usia lewat beragam medium yang terhubung ke internet, aliansi dengan platform streaming ini dilakukan.
Dari sisi bisnis, kucuran uang sepertinya memang akan tetap mengalir lewat aliansi ini. Namun, sorotan ke Studio Ghibli adalah ketiadaan sosok animator dan sutradara selevel Hayao.
Maklum, sosok tersebut ibarat Si Tangan Midas. Dari delapan film anime pencetak pendapatan terbesar sepanjang masa di Jepang, empat di antaranya lahir dari tangan Hayao: Spirited Away (Rp 5,3 triliun), Howl’s Moving Castle (Rp 3,5 triliun), Ponyo on the Cliff by the Sea (Rp 3,1 triliun), dan Princess Mononoke (Rp 2,5 triliun).
Sebenarnya, Hayao telah mengundurkan diri di tahun 2014 seusai meluncurkan The Wind Rises. Namun, pada tahun 2017 dia kembali untuk menyelesaikan How Do You Live?
Yang menarik, pengaruh Studio Ghibli sendiri sangat kuat bagi para pencinta anime. Ia seperti punya daya sihir tersendiri yang melampaui sekat-sekat kultural. Di dunia animasi global, bahkan termasuk dalam pembicaraan anak muda di Indonesia, sering dijumpai postingan yang menyertakan caption komentar bertuliskan: “Wow… Ghibli banget!” atau “Vibes-nya Ghibli banget!”
Ini adalah komentar atas suasana yang dikaitkan dengan warna-warni yang sering tampil dalam film-film Studio Ghibli, khususnya besutan Hayao, yang dijuluki bertema earth tone. Artinya: kombinasi warna yang dinilai natural dari alam seperti berbagai unsur di hutan, pedesaan, dan danau, seperti hijau daun, biru awan, serta cokelat tanah. Selain earth tone, komentar “Ghibli banget!” juga ditujukan jika tampilan yang terlihat menggambarkan pemandangan yang cerah, dreamy, bahkan seperti fiksi.
Keberlanjutan Studio Ghibli memang masih terus ditunggu setelah para maestronya tiada dan akan lengser. Namun, yang pasti, studio ini akan berupaya mempertahankan apa yang telah mereka capai. Sesuatu yang telah digoreskan Takahata, dan terutama Hayao, sebagai legacy-nya.
Orang Jepang sendiri disebut-sebut sangat bangga dengan Studio Ghibli. Mereka merasa studio ini telah jadi aset kebanggaan nasional. Jangan heran, ketika Museum Ghibli dibuka pada 1 Oktober 2001, mereka menyambut antusias.
Tempat yang dirancang untuk mempertunjukkan serta menghidupkan tokoh-tokoh yang dibuat Studio Ghibli itu terus dipadati pengunjung dari seluruh dunia. Bahkan, hingga kini menjadi salah satu destinasi wisata yang paling banyak dikunjungi di Negeri Matahari Terbit itu. (*)
Teguh Sri Pambudi