Libur Tiap Hari
Oleh: Gede Prama
Seorang sahabat pengusaha kaya mengeluh, dulu saat miskin tidak bisa makan daging karena tidak punya uang. Sekarang saat kaya lagi-lagi tidak bisa makan daging karena keburu stroke.
Bila boleh jujur, inilah salah satu ciri kehidupan modern, masa lalu penuh hantu penyesalan, masa depan berisi setan ketakutan, masa kini dikotori racun keluhan. Hasilnya, manusia tidak pernah libur dalam hidupnya. Sibuk berkejaran, berkejaran dan berkejaran. Itu sebabnya, hari yang paling ditunggu-tunggu oleh semua manusia adalah hari libur. Dalam bahasa Inggris ia disebut holiday. Penafsiran intuitifnya adalah hari suci. Ia disucikan karena menjadi waktu “istirahat”. Hari di mana nyaris semua manusia libur adalah hari minggu. Bahasa Inggrisnya, Sunday, hari terang benderang karena batin “istirahat”. Semua ini menyingkap makna, peradaban sudah demikian kelelahan mengejar kemajuan. Serupa mesin, bila terus lari, ada saatnya panas. Keadaan batin yang panas inilah yang bertanggungjawab atas penuhnya rumah sakit jiwa, angka bunuh diri yang meningkat, konflik, stres, kriminalitas yang terus memburuk.
Karena itulah, banyak sahabat di Barat pergi ke Timur, berkenalan dengan meditasi, yoga, zikir. Intinya sederhana, kerongkongan jiwa yang dahaga mencari air jernih spiritualitas. Tidak saja awam, ilmuwan pun serupa. Carl Jung, Daniel Goleman, Thomas Bien di psikologi, Fritjof Capra dan David Bohm di fisika, Fransisco Varela di biologi hanya sebagian nama yang masuk dalam klasifikasi ini. Dulu psikologi dan biologi menjadi dua disiplin yang nyaris tanpa jembatan, sekarang keduanya terhubung rapi melalui meditasi. Apa pun bentuk dan pendekatannya, semua lapar mencapai keadaan batin yang istirahat. Bahasa kesehariannya, semua mau libur.
Di Bali, khususnya, berlimpah jumlah sahabat dari Barat yang mencari tempat istirahat. Tidak saja yang bermasalah hidupnya yang mencari tempat istirahat, yang kaya pun mencari tempat istirahat. Dan, sebagaimana diceritakan banyak sahabat dari Barat yang sudah berkali-kali datang ke Bali, selalu saja ada yang kurang dan hilang. Dalam bahasa kejiwaan, the feeling of being incomplete. Perasaan tidak komplet ini sejujurnya mengejar kita sejak berumur kanak-kanak. Mimpi basah saat kanak-kanak, mencari pacar tatkala remaja, mau menikah manakala dewasa, mau lebih dan lebih lagi di tempat kerja, bahkan di tempat berdoa pun masih penuh permintaan, ini semua menjadi ciri utama jiwa yang tidak pernah komplet. Salah satu jiwa dewasa yang pernah lahir di Barat bernama Franz Kafka, ia pernah berpesan: the secret of life is to stop. Rahasia kehidupan baru terbuka tatkala manusia belajar berhenti berkejaran.
Dan itu juga sebabnya, salah satu arti meditasi adalah seni berhenti. Berhenti berkelahi dengan masa lalu, masa depan dan masa kini. Untuk kemudian memeluk lembut kekinian dengan ungkapan terima kasih. Arti lain meditasi adalah the art of total acceptance. Makanya saat meditasi, tidak ada hantu masa lalu yang perlu ditakuti, tidak ada setan masa depan yang mesti ditendang, tidak ada keluhan kekinian yang perlu didengarkan. Yang ada hanya istirahat di saat ini. Pengertian istirahat tentu bukan berarti mengundurkan diri dari tempat kerja, berhenti bersekolah, menutup perusahaan, kemudian semuanya bertapa di hutan. Sekali lagi, bukan! Apa saja yang terjadi di saat ini – dari rapat resmi di kantor, dering bunyi telepon, makan, kerja, hingga doa – asal dilakukan sebagai sarana kebersatuan dengan saat ini, ia menjadi sarana istirahat secara meditasi. Minum teh sebagai contoh, ia menjadi sarana istirahat bila kita sepenuhnya ada di saat ini bersama secangkir teh, seolah-olah secangkir teh itulah pusat semesta.
Dengan gambaran ini, kadang ada yang bertanya apa ciri batin yang sepenuhnya sudah istirahat? Meminjam salah satu pencapaian agung di Timur, ia disebut Sat-Chit-Ananda.Sat adalah yang dicintai. Chit adalah yang mencintai. Kebersatuan keduanya menghasilkan Ananda (keindahan). Sat adalah yang diketahui. Chit adalah yang belajar mengetahui. Pertemuan keduanya menghasilkan pengetahuan tentang keindahan. Pengertian tersederhana, Sat adalah segelas air bersih, Chit adalah kerongkongan yang haus. Tatkala keduanya berjumpa, tidak ada hal lain selain keindahan. Inilah libur setiap hari. Terutama karena yang dicintai dan yang mencintai sudah menyatu, yang diketahui dan yang mengetahui sudah berpelukan, kemudian dahaga jiwa pun menghilang. Bali memang damai dengan alamnya yang indah, Swiss memang indah dengan teramat sedikit sejarah tentang perang, Himalaya memang sejuk dengan saljunya, tetapi siapa saja yang sudah “istirahat” di saat ini menemukan semua tempat adalah keindahan.(*)