My Article

Humanizing Hubungan Kerja di Era AI

Oleh Editor
Humanizing Hubungan Kerja di Era AI
Jusuf Irianto, Guru Besar Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga

Oleh: Jusuf Irianto, Guru Besar Manajemen SDM di Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga

Jusuf Irianto, Guru Besar Dep. Adm. Publik FISIP Universitas Airlangga, Pengurus MUI Jawa Timur

Di tengah gempita pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI) oleh perusahaan, muncul kesadaran bersama mengatasi masalah dehumanisasi dalam hubungan di tempat kerja. Dehumanisasi dapat diartikan sebagai menurunnya nilai-nilai kemanusiaan.

Fenomena dehumanisasi di tempat kerja bukanlah hal baru karena sudah terjadi sejak era Taylorism yang mengabaikan aspek manusiawi dalam organisasi. Kini kehidupan pribadi karyawan di perusahaan terdegradasi akibat substitusi peran manusia oleh teknologi AI.

Ancaman selalu hadir akibat teknologi baru terus bermunculan. Tujuan penggunaan teknologi baru sudah dipastikan untuk mendukung perusahaan mencapai tujuan dan meningkatkan produktifitas secara berkelanjutan melalui keputusan yang tepat.

Teknologi AI dalam bentuk chatbot misalnya, sangat powerful mengubah sistem atau pola pengambilan keputusan. Chatbot dapat digunakan perusahaan untuk memperoleh data atau informasi lebih mudah. Data/informasi tersebut merupakan unsur utama dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Chatbot berbasis AI sebagai teknologi kini sangat populer tersebab sangat mudah digunakan. Karyawan tak butuh tutorial khusus untuk menggunakan chatbot. Teknologi ini memberi sejumlah feature yang membuat karyawan lebih mudah melaksanakan pekerjaannya.

Kemudahan penggunaan dan manfaat yang diperoleh dari teknologi AI merupakan alasan rasional mengapa perusahaan harus memanfaatkannya. Apalagi pada masa mendatang teknologi akan terus dikembangkan dan menyajikan peluang baru dan atraktif bagi dunia bisnis.

Namun, pimpinan perusahaan harus waspada seraya menangkis berbagai dampak negatif AI. Salah satu dampak AI yang tak dapat diabaikan akibat penggunaan AI adalah munculnya fenomena dehumanisasi.

Dalam tulisan ini digagas solusi mengatasi dehumanisasi akibat AI dengan cara memanusiakan (humanizing) AI. Cara ini diyakini dapat meredakan ketegangan akibat efek negatif penggunaan AI yang mengancam keberadaan manusia dalam perusahaan.

Memanusiakan AI

Salah satu tantangan besar dalam konteks penerapan teknologi AI adalah memastikan bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus ditempatkan pada posisi proporsional. Kurangnya pertimbangan pada sisi manusia merupakan problem utama pada saat AI digunakan.

Perlu dikembangkan suatu pendekatan khusus yang dapat diterapkan perusahaan sebagai pedoman praktis dalam membangun relasi sehat antara manusia dengan AI. Perusahaan yang telah menerapkan AI harus aktif menemukan cara paling tepat untuk mengembangkan hubungan kerja secara berkelanjutan dan saling memperkaya antara manusia dan AI.

Salah satu cara yang paling mungkin dapat diterapkan adalah memanusiakan AI itu sendiri. Memanusiakan AI dimaksudkan untuk meraih tujuan berorientasi pada peningkatan sifat, karakter, dan pengalaman karyawan sebagai manusia yang berdampingan dengan AI saat bekerja.

Memanusiakan AI bakal mengarahkan perusahaan tak sekadar lebih efisien namun juga mengedepankan etika. Selain itu, metode ini berpusat pada kepentingan manusia (human interests centred). Hubungan manusia-AI lebih bersifat simbiosis (saling menguntungkan) dan komplementer (saling melengkapi).

Memanusiakan AI merupakan sebuah kepastian (certainty) karena suatu perusahaan dibentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia. Secara eksternal, perusahaan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Sementara secara internal, perusahaan memenuhi kebutuhan karyawan yang bekerja untuk meraih berbagai tujuan.

Karena itu, secara internal pula perusahaan harus memanusiakan AI yang dapat dimaknai sebagai proses penggunaan AI berdasarkan atas tiga unsur. Pertama, dalam konteks penggunaan AI, perusahaan harus memahami kondisi kejiwaan atau emosi manusia serta dinamika yang melekat dalam setiap pribadi manusia.

Setiap manusia memiliki emosi kejiwaan yang sangat dinamis disebabkan oleh berbagai faktor perubahan situasi yang melingkupinya sehari-hari. Tatkala berhadapan dengan faktor penekan, karyawan mudah tersulut emosi dan stres. Demikian pula sebaliknya.

Dengan mempertimbangkan unsur pertama dalam memanusiakan AI, pimpinan perusahaan dituntut memiliki kemampuan menciptakan harmonisasi di tempat kerja. Kejiwaan karyawan akan terjaga manakala situasi kerja harmonis dan tak mengancam manusia. Hadirnya AI dinarasikan sebagai “mitra” yang dapat mempermudah karyawan melaksanakan pekerjaannya.

Unsur kedua adalah kebijakan perusahaan untuk memberdayakan atau membuat karyawan semakin powerful di tempat kerja. Sebagai manusia, karyawan memiliki kemampuan dan daya juang tinggi untuk berinteraksi dengan apa saja termasuk AI secara natural.

Relasi manusia dengan AI dipandang sama oleh karyawan seperti layaknya berinteraksi dengan karyawan lainnya. Keberadaan manusia di perusahaan dipastikan bukan merupakan subordinasi atau di bawah bayang-bayang kemampuan AI.

Kemampuan super AI memang sangat atraktif memicu perusahaan menggunakannya untuk memperoleh data dan kemudian memprosesnya menjadi informasi. Namun, pimpinan perusahaan harus dapat memastikan terciptanya unsur ketiga bahwa memproses data menjadi informasi pada dasarnya memiliki kesamaan seperti yang dilakukan manusia.

Memproses data menjadi informasi serupa dengan cara manusia melakukannya secara otomatis menghasilkan hubungan simbiosis antara manusia dengan AI. Unsur ketiga ini merupakan persyaratan yang harus dipenuhi tatakala perusahaan berniat membangun hubungan saling percaya (trust) antara manusia dengan AI.

Upaya memanusiakan AI dapat terwujud di berbagai tingkatan organisasi mulai bawah hingga atas. Dalam konteks ini, memanusiakan hubungan kerja di era AI merujuk pada interaksi menjalin hubungan semakin kohesif sekaligus sebagai instrumen untuk menjembatani kesenjangan kemampuan dalam konteks hubungan kerja antara manusia dengan AI.

Implikasi Hubungan Kerja

Dengan memanusiawikan hubungan kerja di era AI, penerapan AI perlu dicitrakan dengan gambaran yang “tak terlalu artifisial” atau lebih mirip tindakan yang dilakukan oleh manusia. Keberadaan AI terlihat seolah lebih menyerupai manusia.

Memanusiakan hubungan kerja di era AI berimplikasi praktis sebagai dasar bagi setiap upaya pengembangan dan penerapan AI yang sifatnya integral. Tujuan memanusiawikan hubungan kerja era AI adalah untuk mengintegrasikan aspek kecerdasan, kognisi, sikap (attitude), dan perilaku (behaviour) karyawan. Integrasi ke-empat komponen ini melengkapi keterbatasan manusia dalam bekerja sekaligus mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan.

Promosi intensif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dapat menetralisir berbagai ancaman AI terhadap keberadaan karyawan. Dalam kesempatan yang sama, perusahaan berancang untuk mengembangkan kemampuan karyawan melalui berbagai program intervensi, misalnya berupa pendidikan atau pelatihan yang memberdayakan.

Kemajuan penggunaan AI dalam perusahaan ditandai dengan orientasi tujuan yang berpusat pada manusia dengan mengendepankan motivasi untuk menjelaskan fungsi operasional AI. Pendekatan perilaku dengan cara yang lebih manusiawi merupakan salah satu bentuk nyata untuk memanusiawikan hubungan kerja dalam perusahaan di era AI saat ini.

Namun, pimpinan perlu terus belajar untuk membangun hubungan bersifat simbiosis. Transisi pengetahuan ke arah penguasaan dunia digital sangat dibutuhkan perusahaan tatkala ingin memanfaatkan teknologi yang terus berkembang.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved