My Article

Sukses Pimpinan Melaksanakan Working from Home

Oleh Editor
Sukses Pimpinan Melaksanakan Working from Home
Jusuf Irianto, Guru Besar Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga

Oleh: Jusuf Irianto, Guru Besar Manajemen SDM di Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga

Jusuf Irianto, Guru Besar Dep. Adm. Publik FISIP Universitas Airlangga, Pengurus MUI Jawa Timur

Pada saat puncak pandemi Covid-10 yang lalu, bekerja dari rumah atau populer disebut working from home (WFH) menjadi trend untuk diterapkan semua pihak, baik sektor pemerintah maupun swasta. WFH diterapkan karena ada larangan interaksi langsung atau pembatasan sosial.

Kini wacana WFH kembali mencuat menjadi pembicaraan hangat untuk diterapkan khususnya di DKI Jakarta. Penyebabnya bukan karena penyebaran virus yang mematikan. Wacana WFH dipicu tingginya polusi yang melanda ibukota. Tingkat polusi tinggi mengancam kesehatan.

Kualitas udara DKI Jakarta dinyatakan terburuk di dunia. Berdasarkan data terakhir di laman US Air Quality Index (AQI US) atau indeks kualitas udara. Udara di Jakarta tercatat di angka 156 alias tidak sehat.

Adapun konsentrasi polutan tertinggi yang terkandung dalam udara di Jakarta mencapai 2.5. Catatan konsentrasi tersebut jauh di atas standar World Health Organization (WHO). Catatan terakhir tersebut menunjukkan angka 13 kali di atas standar mutu udara tahunan yang ditetapkan WHO.

Buruknya kualitas udara Jakarta merupakan dampak kemarau panjang dalam triwulan terakhir tahun 2023 ini. Selain faktor cuaca panas akibat kemarau, polusi juga disebabkan oleh emisi kendaraan berbahan bakar fosil serta kegiatan industri manufaktur berbasis batu bara.

Masalah polusi udara merupakan kepentingan publik yang butuh pengatasan bersama. Baik pemerintah, swasta, dan kelompok masyarakat bekerjasama menyelesaikannya agar tak kian memburuk mengancam kesehatan dan keamanan.

Demi menjaga keamanan dan kesehatan masyarakat, pemerintah menyeru agar warga tak keluar rumah kecuali ada kepentingan tertentu. Bahkan Presiden Joko Widodo mendorong perusahaan dan kantor pemerintah berani menetapkan bekerja secara hybrid atau sekalian WFH.

Bekerja secara hybrid atau full WFH merupakan salah satu bentuk intervensi bertujuan mengatasi polusi. Dalam jangka pendek, karyawan yang WFH bakal turut berkontribusi dalam pengurangan emisi gas buangan dari kendaraan yang digunakan.

Kemungkinan bekerja hybrid atau WFH, merupakan salah satu langkah mengatasi polusi udara meskipun sekadar dalam jangka pendek. Namun, iika secara signifikan terbukti mampu mengatasi polusi udara, bukan mustahil WFH dapat dipilih secara permanen sebagai sistem kerja. WFH tak sekadar diterapkan di Jakarta karena polusi udara, tapi diterapkan pula di semua daerah.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sedang mengkaji penerapan sistem kerja hybrid atau WFH sejalan dengan meningkatnya polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Pengusaha dan masyarakat berharap agar Kemenaker segera menetapkan cara bekerja yang kondusif.

Sistem kerja WFH bagi karyawan sangat penting segera ditetapkan Kemenaker menepis berbagai kekhawatiran sejumlah kalangan terhadap gangguan kesehatan. Selain itu, dengan kebijakan pemerintah menjamin pula kepastian hukum WFH yang harus ditaati bersama.

Namun demikian, ada sejumlah permasalahan akibat pelaksanaan WFH. Berdasarkan pengalaman puncak pandemi Covid-19, sistem kerja WFH mengandung sejumlah masalah yang harus diantisipasi agar kesalahan yang sama tak terulang kembali.

Masalah WFH

Tatkala pandemi Covid-19, sistem WFH mampu menghindarkan manusia dari penularan atau infeksi virus. Jumlah korban pun dapat ditekan sehingga mengurangi penderitaan pasien atau bahkan menekan jumlah angka kematian.

Sistem kerja WFH secara praktis dapat diidealkan sebagai model terbaik untuk mengatasi berbagai masalah khususnya terkait dengan kesehatan dan kemanan kerja. Dalam kondisi polusi udara yang sangat membahayakan manusia, WFH dapat digunakan sebagai pilihan model terbaik.

Namun, pimpinan perusahaan harus lebih bijak dalam penerapan WFH. Pengalaman riil selama pandemi menunjukkan sejumlah masalah atau risiko WFH yang dialami karyawan.

Di antara masalah menonjol dalam WFH adalah sindrom tekanan atau stres saat bekerja yang populer disebut burn out. Dengan WFH, karyawan tak menyadari batasan waktu bekerja sebagaimana batas jam kerja di kantor. Perintah atasan juga acap tak terbatas hingga larut malam.

Karena bekerja seolah tanpa batasan, karyawan stres berakibat penurunan produktifitas. Sebab itu, perusahaan perlu merumuskan aturan batasan waktu bekerja menghindari tekanan. Sistem WFH yang dianggap tak mengenal batas ruang dan waktu saatnya untuk ditinjau-ulang.

Masalah lain terkait perkembangan karir. Sebagian perusahaan belum siap dengan teknik pengukuran kinerja karyawan saat WFH. Indikator kinerja hanya untuk kerja normal. Berdasarkan pengalaman ini, perusahaan harus menyiapkan pengukuran kinerja yang sesuai kondisi WFH.

Perusahaan juga harus mampu mengidentifikasi karakter karyawan. Secara konseptual, karakter individu terdiri dari kepribadian tertutup (introvert) dan terbuka (ekstrovert). Pribadi introvert lebih suka WFH berbeda dengan ekstrovert cenderung suka kerja di kantor. Pilihan WFH lebih sesuai untuk introvert, sementara karyawan ekstrovert bakal sulit mencapai kinerja optimal.

Masalah lainnya adalah kemampuan karyawan mengatasi masalah teknis saat WFH. Gangguan teknis semisal listrik padam, komputer rusak dan lainnya, acap muncul. Menghadapi masalah ini, perusahaan bisa membentuk tim membantu karyawan bebas dari gangguan bekerja.

Pimpinan perusahaan perlu menyiapkan kapasitas karyawan menggunakan teknologi melalui pelatihan. Pelatihan untuk penguasaan teknologi kini sangat diperlukan. Di era digital, pelaksanaan kerja melibatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang harus dipahami karyawan.

Teknologi melekat dalam kehidupan karyawan selama melaksanakan WFH. Pelatihan bagi karyawan untuk menguasai teknologi juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pekerjaan. Biaya operasional dapat ditekan, sementara tujuan usaha dapat dicapai lebih mudah.

Selain teknologi, perusahaan perlu memikirkan aspek sosial dalam WFH. Selama WFH karyawan hanya berinteraksi dengan keluarga. Perusahaan tak sekadar mengandalkan teknologi, namun juga melibatkan karyawan ke dalam kegiatan yang melibatkan banyak orang.

Kegiatan yang dihadiri lebih banyak orang bakal memudahkan karyawan yang sedang WFH berinteraksi dengan rekan kerja atau pihak lainnya. Kegiatan rapat atau pertemuan misalnya, bisa menggunakan video atau fasilitas lainnya untuk menciptakan kebersamaan.

Pimpinan perusahaan terus mendorong inisatif karyawan secara kreatif dalam ber-WFH. Semangat melahirkan ide baru dan inovasi terus dipicu agar karyawan tetap merasa dihargai dan memposisikan diri sebagai bagian strategis terlibat di perusahaan mencapai kesuksesan.

Sukses WFH adalah sukses pimpinan perusahaan dalam menyiapkan para karyawan agar dapat bekerja dengan hasil lebih produktif.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved