Pemerintah Mengusung Pengolahan Berbasis Hasil Hutan Tumbuh Berkelanjutan
Indonesia memiliki potensi produk hasil hutan berupa kayu dan rotan yang sangat besar. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong hilirisasi produk hasil hutan untuk meningkatkan nilai tambah dan multiplier effect bagi perekonomian.
“Peningkatan nilai tambah produk hasil hutan melalui hilirisasi akan mampu membuka lebih banyak lapangan kerja, meningkatkan ekspor, menghasilkan devisa, meningkatkan pendapatan negara, serta mendongkrak pertumbuhan ekonomi,” Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika menyampaikan di Jakarta.
Berdasarkan data The State of Indonesia’s Forests (SOIFO) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saat ini Indonesia memiliki luas kawasan hutan dan kawasan konservasi perairan seluas 125,8 juta Hektare, atau mencakup sekitar 62,97% dari luas daratan Indonesia, dan saat ini menjadi yang terbesar ke-8 di dunia. Dari luas tersebut, hutan yang dapat diusahakan untuk kegiatan ekonomi mencapai 68,8 juta hektare.
Hutan Indonesia memiliki dua komoditas, yaitu kayu dan non-kayu. Menurut data BPS (2021),produksi kayu bulat Indonesia sebesar 64 Juta meter kubik. Indonesia juga merupakan penghasil 80% bahan baku rotan dunia. Daerah penghasil rotan di Indonesia berada di berbagai pulau, terutama di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. “Hal ini menjadikan hutan sebagai sumber daya yang memiliki arti penting dan strategis bagi kelangsungan pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan, bahkan dapat menentukan posisi geopolitik Indonesia pada tataran global,” ujar Putu.
Pengembangan industri hilir berbasis hasil hutan didukung dengan kebijakan larangan ekspor kayu bulat dan rotan mentah. Pada dekade 1970-an Indonesia masih melakukan ekspor bahan baku dari hutan alam. Kemudian, pada dekade 1980-an hilirisasi komoditas kehutanan mulai dilakukan dengan produksi dan ekspor kayu lapis. Hingga saat ini, komoditas hutan Indonesia telah menghasilkan produk-produk kualitas ekspor, di antaranya woodworking (kayu gergajian, komponen bangunan, bangunan prefabrikasi), panel (veneer, kayu lapis, barecore, Medium Density Fiberboard (MDF)), kayu laminasi, pelet kayu (wood pellet), furnitur, pulp, kertas, serta viscose yang merupakan bahan baku untuk produksi benang rayon.
Saat ini, hilirisasi industri kayu olahan yang sedang berkembang adalah industri pelet kayu yang berbahan baku dari serbuk kayu, baik dari kayu berkalori tinggi maupun dari limbah serbuk kayu atau biomass. Aktivitas ini juga merupakan bagian dari penerapan circular economy. Industri pelet kayu (KBLI 16295) menunjang transformasi energi berbasis fosil menuju Energi Baru Terbarukan (EBT). Industri ini juga telah disetujui untuk mendapatkan fasilitas tax allowance.
Kayu atau chip kayu memiliki produk hilir dengan diversifikasi cukup luas, salah satunya pulp dan kertas. Industri pulp dan kertas Indonesia dapat memproduksi hampir semua jenis kertas, mulai dari kertas budaya, kertas berharga, kertas khusus, kertas industri, kertas lainnya, dan barang-barang dari kertas.
Putu mengungkapkan, saat ini sedang dibangun industri paperboard dengan kapasitas terpasang 1,2 juta ton/tahun, yang akan ikut memasok kebutuhan containerboard dunia yang mencapai 192 juta ton, dengan 49,5% atau 95 juta ton kebutuhan di antaranya berasal dari Asia. Pembangunan tersebut diperkirakan selesai pada Triwulan IV Tahun 2023 dengan realisasi total nilai investasi sebesar Rp33,4 triliun. Selain itu, saat ini juga sedang dilakukan investasi kemasan aseptik yang merupakan produk hilir dari paperboard dengan nilai investasi sekitar US$ 200 juta atau Rp3 triliun.
Saat ini, industri pulp berbasis kayu telah menghasilkan inovasi hilirisasi produk berupa serat rayon viscose. Kapasitas terpasang industri rayon sebesar 300 ribu ton/tahun dan direncanakan untuk diperluas menjadi 600 ribu ton/tahun. “Produksi rayon tersebut akan memenuhi kebutuhan bahan baku rayon bagi industri turunannya sebagai substitusi terhadap impor kapas dan juga mendorong multiplier effect yang lebih besar bagi Indonesia,” imbuh Putu.
Kinerja industri hilir berbasis hasil hutan dapat dilihat dari variabel nilai ekspor, serapan tenaga kerja, dan pertumbuhan investasi. Pada tahun 2022, kinerja ekspor industri hilir berbasis hasil hutan mencapai US$ 15 miliar, dengan impor senilai US$ 4,68 miliar. Di sisi ketenagakerjaan, tercatat sebanyak 2,83 juta orang tenaga kerja terlibat di industri berbasis hasil hutan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka tenaga kerja tersebut meningkat jika dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja di industri tersebut tahun 2015 dan 2019, berturut-turut sejumlah 543 ribu dan 2,76 juta orang.
“Selain itu, di sisi investasi juga terjadi peningkatan untuk industri hilir berbasis hasil hutan sejak 2015-2022. Pada tahun 2015, investasi industri hilir berbasis hasil hutan sebesar Rp16,5 Triliun, dan meningkat signifikan menjadi Rp43,97 Triliun pada 2022,” ungkap Putu.
Ke depan, pengembangan hilirisasi industri berbasis hasil hutan akan diarahkan pada komoditas yang produksinya memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan, antara lain bersumber dari bahan baku lestari, penerapan circular economy, berperan dalam penurunan emisi gas rumah kaca, dan memiliki eco-design yang sesuai dengan tren pasar. “Sejauh ini sebagian besar produk-produk industri hilir berbasis hasil hutan Indonesia telah menerapkan prinsip-prinsip di atas, seiring tingginya environmental awareness dari konsumen negara tujuan ekspor,” ujar Putu dalam keterangannya, Sabtu (02/09/2023).
Editor : Eva Martha Rahayu
Swa.co.id