Trends Economic Issues

Lindungi UMKM Lokal, Social Commerce Harus Diatur dengan Jelas

Pemerintah akan menata perdagangan di social commerce seiring dengan rencana TikTok melakukan investasi di Indonesia. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan, bila social commerce tak diatur dengan jelas, maka akan berdampak negatif pada usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Tanah Air.

“Jika tidak diatur, bisa kolaps (industri lain) 3 bulan nanti, industri kecantikan kita bisa kolaps,” ujarnya saat rapat kerja bersama dengan Komisi VI DPR RI (04/09/2023).

Aturan main social commerce bakal diatur melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE). Dalam beleid PPMSE itu, ada empat usulan yang diatur oleh pemerintah.

Pertama memberlakukan aturan yang sama untuk penjualan e-commerce (daring) dan penjualan offline khususnya pengenaan pajak. Kedua adalah pemerintah akan melarang penjualan barang impor di bawah US$100 atau Rp1,5 juta. Ketiga adalah platform digital dilarang menjadi produsen. Keempat pemerintah akan membedakan aturan main untuk penjualan di e-commerce dengan penjualan social commerce.

​​Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mendorong agar pemerintah Indonesia mengambil langkah berani dalam membatasi produk impor di toko online, termasuk TikTok Shop. Dalam hal ini, ia berkaca dari India dan Amerika Serikat (AS) yang berani melarang operasi TikTok.

“India pun berani menolak TikTok, kenapa kita enggak? AS juga melarang, TikTok misalnya, enggak, jualannya boleh, tapi enggak boleh disatukan dengan media sosial. Kita, media sosial juga jualan,” katanya, dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Menteri Investasi/BKPM, serta Komisi VI DPR, di Senayan, Jakarta (04/09/2023).

Sementara itu, Menteri Investasi atau Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang turut hadir di DPR mengklaim, dirinya telah menutup izin impor barang secara langsung e-commerce alias perdagangan cross border. Hal ini dilakukannya sebagai respons atas banjir produk impor di e-commerce maupun social commerce.

Bahlil mengatakan, instruksi telah disampaikan kepada deputi terkait regulasi menyangkut larangan tersebut. Adapun aturan yang dimaksud ialah revisi Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendag) No. 50 tahun 2020 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang tak kunjung rampung hingga saat ini. Pihaknya siap menghadapi komplain dari para pengusaha atas langkahnya tersebut. Pasalnya, ia menilai kondisi banjir impor di e-commerce harus segera ditangani, daripada semakin merugikan para UMKM.

Operasional social commerce perlu ditata untuk memastikan level of playing field bagi para pelaku perdagangan elektronik. Kewajiban sertifikasi lokal, termasuk SNI, BPOM, halal, dan aturan mengenai harga minimal US$100 untuk barang impor cross-border dinilai dapat melindungi UMKM domestik agar tetap kompetitif di pasar Indonesia. “Kami siap menghadapi komplain dari pengusaha atas langkah tersebut. Kondisi banjir impor di e-commerce harus segera ditangani daripada semakin merugikan UMKM,” kata Bahlil.

Di sisi lain, positive list dinilai akan tidak efektif dalam membendung transaksi barang cross-border. Melihat tantangan utama dari positive list ini adalah implementasi pengawasannya barang impor dengan harga yang variatif oleh Dirjen Bea dan Cukai.

Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero mengatakan, menjamurnya barang-barang impor yang masuk ke pasar dalam negeri memang menjadi tantangan bagi Indonesia. Menurutnya, barang-barang buatan lokal harus bisa bersaing di tengah gempuran barang-barang impor. Namun, ia berharap adanya keberpihakan pemerintah dan masyarakat untuk mengutamakan membeli produk lokal.

“Dan sebenarnya kami sudah berbicara hampir setengah tahun yang lalu mengenai itu. Rencana revisi Permendag 50 tahun 2020 itu saya kira itu bentuk keberpihakan pemerintah kepada pelaku UMKM, di mana direncanakan yang US$100 ke bawah tidak diperkenankan lagi masuk di dalam perdagangan Indonesia melalui e-commerce,” ucapnya.

Menurut Edy, revisi Permendag tersebut hendaknya disambut dengan serius oleh para pelaku usaha. Namun, Edy menekankan untuk memperketat pengawasan melalui sinergi para aparat penegak hukum. “Kalau itu keputusan negara, amankan itu. Ya aparat Bea Cukai salah satunya. Nggak ada cerita, bisa nggak? Ya harus bisa. Kalau enggak ya berarti negara gagal, kan gitu,” ujar Edy.

Terkait dengan TikTok Shop, Edy khawatir tren ini akan membuat kolaps UMKM lokal. Karena itu, kata Edy, perlu tiga pilar untuk menopang produk UMKM lokal, antara lain, regulator harus berpihak pada pelaku UMKM, pelaku UMKM juga harus sadar diri untuk meningkatkan kualitas produknya. “Dan yang ketiga sebisa-bisanya bersaing yang kompetitif dalam soal harga,” kata dia.

Sementara itu, Pakar Keamanan Siber dan Forensik Digital, Alfons Tanuwijaya mengatakan, perlu izin khusus atau tambahan untuk social commerce dalam melakukan aktivitas perdagangan. Selain dinilai akan membawa dampak positif untuk persaingan e-dagang Tanah Air, juga akan memperkuat perlindungan data pribadi pengguna.

“Ya kalau memang membuat TikTok Shop, seharusnya pemerintah memperlakukan itu sebagai e-commerce juga. Itu perlu dipertimbangkan, karena masalah pajaknya,” kata Alfons. Dia mengimbau masyarakat tidak terjebak pada hype atau promosi sensasional yang sifatnya jangka pendek seperti trens yang sedang terjadi saat ini di social commerce.

“Mereka membayar orang, membayar usernya supaya melakukan menambah user baru. User baru ini melakukan scrolling konten itu dibayar, dapat duit pada awalnya. Tetapi ketika orang sudah terbius, mereka akan dibiarkan, mereka tidak terlalu peduli dengan kontennya, mereka tidak peduli dengan dampak kepada usernya. Ini yang perlu diperhatikan oleh pemerintah,” ucap Alfons.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved