SWA100

Saratoga Investama Sedaya, Jalankan Diversifikasi Investasi Berorientasi Masa Depan

Devin Wirawan, Direktur Investasi PT Saratoga Investama Sedaya Tbk.
Devin Wirawan, Direktur Investasi PT Saratoga Investama Sedaya Tbk.

Dua nama ini, Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno, sudah dikenal sebagai konglomerat nasional top. Mau tahu apa nama perusahaan utama mereka berdua? Tak lain, itu adalah PT Saratoga Investama Sedaya Tbk., sebuah perusahaan investasi (investment company).

Di tengah situasi pasar modal yang dinamis dan menantang, Saratoga tetap mampu mencatatkan kinerja operasional yang positif. Pencapaian ini sekaligus merefleksikan strategi investasi Saratoga yang solid.

Devin Wirawan, Direktur Investasi Saratoga, menjelaskan bahwa sebetulnya tidak mudah bagi perusahaannya menghadapi tantangan dalam dua tahun terakhir dengan terjadinya dua “black swan event”, yakni pandemi Covid-19 dan kenaikan suku bunga. “Grup Saratoga memilih berfokus pada hal-hal yang bisa dikontrol, karena Covid-19 dan kenaikan suku bunga di luar kendali perusahaan,” kata Devin.

Menurut dia, kunci keberhasilan perusahaannya menghadapi kedua tantangan tersebut terletak pada strategi diversifikasi investasi yang cermat. Sebenarnya, langkah diversifikasi sudah dijalankan sejak 8-10 tahun lalu, tetapi hal ini membutuhkan waktu agar bisa berjalan dengan baik.

Menurutnya, diversifikasi investasi Saratoga pada new business membuat perusahaan tahan banting. “Portofolio bisnis Saratoga jadi kebal resesi. Kami tidak lagi bergantung pada satu industri saja, kini lebih menyebar ke berbagai sektor,” ungkap Devin kepada SWA.

Pilar-pilar bisnis baru ini baru dirasakan lima tahun terakhir, dengan tahan menghadapi resesi. Dalam lima tahun terakhir, Saratoga semakin fokus melakukan diversifikasi, seperti ke sektor layanan kesehatan, teknologi, energi terbarukan, dan produk konsumen ―dibandingkan sebelumnya yang kental ke sektor komoditas.

Devin menjelaskan bahwa hal tersebut terlihat dari kontribusi pendapatan dividen Saratoga. Di tahun 2018, PT Adaro Energy Indonesia Tbk. menyumbang hingga sepertiga dari total keseluruhan portofolio perusahaan ini. Namun, berkat diversifikasi saat ini, kontribusi Adaro turun menjadi sekitar seperempat saja.

Tantangan terbaru yang juga menjadi perhatian Saratoga ialah isu Sustainable Development Goals (SDGs). Karena itu, langkah strategisnya ialah mendiversifikasi direct investment ke sektor-sektor di bidang green energy seperti ke PT Xurya Daya Indonesia, yang merupakan perusahaan pembangkit listrik tenaga surya.

Selain itu, Saratoga pun berinvestasi di bidang forest carbon, yang melakukan proyek restorasi hutan di Sumatera. Adapula investasi untuk mendukung pengembangan kendaraan listrik (electric vehicle).

Sebagai perusahaan investasi, Saratoga sangat bergantung pada kinerja anak usaha atau perusahaan yang diinvestasikan. “Karena itu, setiap investasi harus bisa memberikan efek positif bagi pemegang saham,” ujar Devin.

Saratoga mencatat pendapatan dividen Rp 1,5 triliun pada semester I/2023, naik 9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Adapun Net Asset Value (NAV) pada periode ini tercatat sebesar Rp 47,5 triliun.

Dengan dukungan arus kas yang kuat, Saratoga juga telah membagikan dividen tunai untuk tahun buku 2022 sebesar Rp 1 triliun (Rp 75 per saham) ―yang menghasilkan dividend yield 4,4%. Jumlah dividen tunai tersebut meningkat 28% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 810 miliar (Rp 60 per saham).

“Saratoga hanya berinvestasi di perusahaan-perusahaan, dengan harga yang wajar.”

Devin Wirawan, Direktur Investasi PT Saratoga Investama Sedaya Tbk.

“Result speaks louder than words, kami selalu melihatnya dari hasil yang sudah ditanamkan dalam lima tahun lalu,” kata Devin. “Perusahaan kami yang pada 2018 value-nya masih Rp 15 triliun, kini menjadi Rp 50 triliun,” tambahnya.

Lalu, bagaimana strategi Saratoga menjaga nilai sahamnya? Menurut Devin, ada tantangan berbeda sebagai perusahaan investasi. Pertama, Saratoga harus bisa mendapat perusahaan yang prospektif dan bisa dibantu tumbuh ke depannya.

“Ini yang kami buktikan, dengan kenaikan nilai portofolio Saratoga yang bisa naik dari Rp 10 triliun, lalu Rp 15 triliun, sampai Rp 50 triliun, berarti kami bisa mencapai goal tersebut,” kata Devin yang memegang sertifikasi CFA sejak 2003.

Kedua, upaya Saratoga dalam meningkatkan kinerja saham anak usaha yang terlihat berhasil belum terefleksikan ke value keseluruhan emiten dengan kode saham SRTG ini. Dia mengungkap, pertumbuhan harga saham Saratoga hanya naik 22%, sedangkan seluruh anak perusahaan kenaikan sahamnya 218% dalam kurun lima tahun. “Jadi, masih ada gap yang sangat besar,” ujarnya.

Devin mengakui hal tersebut merupakan tantangan bagi pihaknya. “Harga saham Saratoga sekarang memang turun dibanding tahun lalu, karena ini sebenarnya refleksi dari anak usaha yang banyak dipengaruhi harga komoditas, walau kami sudah berupaya untuk mengelola dengan optimal,” katanya.

Padahal, sejak dulu manajemen beranggapan jika perusahaan dikelola dengan baik, harga saham akan ikut naik. Karena itu, manajemen Saratoga kemudian lebih gencar mengedukasi market participant, investor institusi, dan investor ritel, agar upayanya terefleksikan ke nilai perusahaan Saratoga.

Kesadaran ini mendorong Saratoga, dalam 2-3 tahun terakhir, lebih gencar mengedukasi investor ritel dengan menyelenggarakan webinar, one-on-one discussion dengan investor institusi, dan semacamnya. Selain itu, Saratoga pun melakukan stock split pada 2021 dengan rasio 1:5 untuk memperluas basis investor dan menambah likuiditas saham emiten berkode SRTG ini.

Strategi penting lainnya, langkah diversifikasi investasi usaha yang dilakukan sejak 8-10 tahun lalu harus ditingkatkan dengan berorientasi pada masa depan. “Walau demikian, kami belum ada rencana mengurangi jumlah saham yang ada saat ini di anak usaha yang bergerak di sumber daya alam atau komoditas,” katanya.

Devin menjelaskan, nilai Wealth Added Index (WAI) Saratoga bisa terjaga positif karena strategi yang dijalankan dengan prudent. “Saratoga hanya berinvestasi di perusahaan-perusahaan, dengan harga yang wajar,” ujarnya.

Selain itu, yang juga bisa memberikan nilai tambah, bukan sekadar menaruh uang. “Perusahaan juga harus dikelola secara prudent dan menjaga good corporate governance (GCG),” kata Devin tandas. (*)

Jeihan K. Barlian dan Herning Banirestu

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved