Trends Economic Issues

Inklusi Keuangan sebagai Landasan Ekonomi Berkelanjutan ASEAN

ASEAN sebagai rumah dari 680 juta penduduk dan 70 juta UMKM masih menghadapi tantangan inklusivitas keuangan yang signifikan. Tingkat kesadaran masyarakat untuk melakukan transaksi dan menggunakan jasa layanan bank tercatat masih rendah dengan persentase penduduk hingga 70% belum menggunakan layanan perbankan.

Tidak hanya itu, sekitar 39 juta dari 70 juta UMKM juga menghadapi kekurangan pendanaan yang cukup besar. Nilai kekurangan pendanaan tersebut mencapai US$300 miliar setiap tahunnya.

Wakil Menteri BUMN Rosan Roeslani menjelaskan, kemunculan layanan keuangan digital di tengah kondisi tersebut membuka jalan untuk menjembatani kesenjangan keuangan khususnya bagi mereka yang belum mempunyai rekening bank, belum memakai jasa layanan perbankan, dan juga bagi UMKM yang unbankable. Layanan keuangan digital memainkan peran penting dalam mendorong inklusivitas keuangan, dan menjadi landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di Kawasan ASEAN.

“Kami melihat contoh di negara ASEAN, bahwa pertumbuhan dan revolusi keuangan digital telah meningkatkan perekonomian negara dan inklusivitas ekonomi. Hal serupa juga terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, dimana Indonesia telah berada di garis depan untuk revolusi keuangan digital, menunjukkan pertumbuhan dan ketahanan yang luar biasa,” kata Rosan, Selasa (05/09/2023) di sela-sela KTT ASEAN.

Pertumbuhan tersebut berdasarkan jumlah pemain fintech di Indonesia meningkat enam kali lipat dari semula 51 pemain menjadi 334 pemain aktif periode 2011 hingga 2022,. Sementara itu, pada 2021 33% penduduk memilih e-wallet sebagai metode pembayaran default mereka.

Transisi Indonesia menuju ekonomi digital terlihat dari melonjaknya pembayaran non-tunai dari US$813 juta menjadi US$26,2 miliar pada tahun 2017 hingga 2022. Transisi menuju ekosistem transaksi digital ditunjukkan dengan nilai transaksi pembayaran digital, yang tumbuh dari US$206 miliar pada tahun 2019 menjadi US$266 miliar pada tahun 2022.

Menurut Rosan, perkembangan transaksi pembayaran digital tersebut akan terus tumbuh hingga mencapai lebih dari US$421 miliar pada tahun 2025. Hal ini sekaligus menempatkan Indonesia sejajar dengan beberapa negara maju di Asia.

Rosan menambahkan, dalam beberapa tahun terakhir, sektor keuangan digital ASEAN juga bertransformasi, utamanya diarahkan untuk memperkuat inklusi keuangan bagi konsumen dan UMKM. Pertumbuhan dalam bidang ini sangat kuat dengan peningkatan volume pembayaran digital. Sementara itu, lanskap pinjaman digital juga diperkirakan akan tumbuh secara signifikan tahun 2030.

“Menghadapi fenomena itu, bank-bank BUMN kini fokus pada tiga transformasi yang mencakup pinjaman digital, pembayaran digital (e-wallet), dan perbankan digital. Dalam mentransformasi pinjaman digital, BRI, Bank Mandiri dan Bank BNI telah meluncurkan platform pinjaman digital yang memungkinkan individu yang tidak memiliki riwayat pinjaman dapat mengakses layanan keuangan secara digital,” katanya.

Inisiatif ini memberikan dampak yang signifikan terhadap inklusi keuangan. Seperti contoh pinjaman digital BRI yang tumbuh 146% dalam waktu satu tahun pada periode 2021 hingga 2022 dengan nilai pinjaman US$125 juta kepada jutaan peminjam dalam 3 kuartal pertama di tahun 2022.

Terakhir, untuk perbankan digital, Bank Mandiri, BRI, BNI dan BTN juga telah membangun solusi perbankan digital, salah satunya mobile banking BNI yang telah tumbuh 59,6% year on year menjadi 7,8 juta pengguna pada tahun 2020. “Inklusi keuangan bukan sekadar tujuan dari ekonomi saja, melainkan juga untuk kepentingan sosial,” ujarnya.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved