Technology

Inovasi Perawatan Kesehatan ala Mercy

Inovasi Perawatan Kesehatan ala Mercy

Sebagai salah satu jaringan perawatan kesehatan terbesar di AS, Mercy menunjukkan bagaimana kemajuan teknologi dapat didayagunakan untuk meningkatkan kualitas perawatan kesehatan. Termasuk untuk melayani secara virtual pasien dengan penyakit kronis yang kompleks.

Gedung empat lantai itu berlokasi di dekat jalur keluar jalan bebas hambatan di kawasan sub-urban St. Louis, Missouri, Amerika Serikat. Berdiri di antara jajaran pohon-pohon elm dan sweetgum, sekilas, the Mercy Virtual Care Center, nama gedung ini, tak berbeda dengan rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.

Di fasilitas kesehatan ini, terlihat ada para dokter dan perawat yang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Staf medis di sana juga menghabiskan hari-harinya untuk memeriksa mereka yang sakit: dengan memeriksa tanda-tanda vital, merekam catatan, merespons permintaan dan alarm, melakukan tes medis, serta berbicara dengan pasien.

Juga ada kafetaria tempat karyawan (medis dan nonmedis) mengisi perut, beristirahat, dan mengobrol. Namun, ada satu hal penting yang membedakan Mercy Virtual (sebutan ringkasnya) dengan rumah sakit atau fasilitas kesehatan besar lainnya, yakni: tak ada ranjang pasien.

Di fasilitas kesehatan ini juga tak ada alarm yang sesekali berbunyi dan berkedip-kedip. Tak ada lalu-lalang petugas medis di dalamnya. Juga tak ada suara berisik dari pengumuman atau panggilan petugas administrasi kepada pasien ataupun petugas medis. Begitu pula tak tercium bau klorin sebagaimana biasa kita jumpai di rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya.

Yang terlihat ialah gedung yang suasananya lumayan tenang, dihiasi air mancur yang menyembur tiap beberapa menit; yang lantainya ditutupi karpet halus, dan diwarnai percakapan staf yang relatif tidak berisik. Kesibukan dan keriuhan yang tampak cuma di layar monitor, yang antara lain memantau pasien yang sedang berjuang di ruang ICU ataupun pasien di ranjang di rumah mereka sendiri yang termonitor lewat perangkat wireless.

Ya, para dokter dan perawat itu duduk di depan monitor yang memperlihatkan para pasien di ruang-ruang mereka; juga grafik kondisi kimia darah mereka, foto paru-paru, ataupun daftar masalah yang ditunjukkan program komputer itu agar staf medis memeriksanya. Para pasien itu berada di mana-mana.

Mulanya, Mercy Virtual Care Center sejak 2006 adalah sebuah kantor di rumah sakit flagship milik Mercy di St. Louis Hospital. Namun, lembaga ini kemudian dipisah dan memiliki eksistensi dan gedungnya sendiri sejak Oktober 2015.

Mercy Virtual merupakan contoh inovasi paling nyata dan terkini dari sesuatu yang sebelumnya merupakan impian dunia kesehatan. Wujudnya adalah sebuah virtual hospital: para dokter spesialis merawat pasiennya dari jarak jauh (remotely).

Boleh dibilang, Mercy Virtual merupakan produk dari tren yang berkembang di dunia perawatan kesehatan; mulai dari konsolidasi rumah-rumah sakit atau fasilitas kesehatan, kemajuan teknologi (termasuk remote monitoring), hingga perubahan cara pembayaran pengobatan.

Instansi ini dibangun dari banyak ide baru yang berkembang di dunia perawatan kesehatan, khususnya di AS. Antara lain, bagaimana menggunakan teknologi remote monitoring dan virtual communication untuk menjaga para pasien dengan penyakit kronis sedapat mungkin tetap di rumah mereka dengan jaminan tetap termonitor kondisinya.

Hal seperti itu akan mengurangi atau bahkan menghindari para pasien dari biaya hospitalisasi (perawatan di rumah sakit) yang mahal, yang justru akan memicu stres lebih besar pada pasien. Sekaligus juga menghindarkan mereka dari terpapar infeksi atau bahaya lainnya.

Sebagai salah satu organisasi healthcare ternama di AS, Mercy selama ini memang dikenal inovatif dalam mengembangkan layanan perawatan kesehatan. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan digital, seperti artificial intelligence (AI) dan machine learning, inovasi Mercy juga banyak didukung teknologi-teknologi terkini tersebut. Fortune Magazine telah memasukkan Mercy dalam daftar America’s Most Innovative Companies 2023.

Majalah Fortune bersama Statista Inc., portal statistik dan penyedia peringkat industri, menyeleksi dan memilih perusahaan-perusahaan yang layak masuk daftar tersebut. Mereka menggandeng sejumlah pakar di berbagai bidang dan lebih dari 25 ribu anggota dari tenaga kerja yang berpartisipasi dalam survei berskala nasional ini.

Adapun kriteria yang dipakai: Inovasi Produk, Inovasi Proses, dan Kultur Inovasi. Untuk mengukur tingkat Kultur Inovasi dan pandangan pihak internal perusahaan dari Inovasi Proses, Statista mengadakan survei online, dan karyawan dapat menilai perusahaan mereka berdasarkan sistem skala pengukuran.

Eksistensi Mercy (www.mercy.net) sebagai suatu lembaga di sistem kesehatan, dimulai ketika the Sisters of Mercy mendirikannya pada 1986. Namun, jejak awal dari warisan sejarahnya dapat ditelusuri ke belakang, lebih dari 195 tahun lalu.

Ini dimulai dari rintisan seorang wanita Irlandia bernama Catherine McAuley, yang punya kepedulian sosial untuk membantu kaum wanita dan anak-anak yang terjerat kemiskinan di Dublin, Irlandia. Pada 1827, Catherine mendirikan House of Mercy pertama di kota tersebut, dengan tujuan mengajarkan keterampilan kepada kaum wanita itu dan juga mendidik anak-anak.

Inisiatifnya itu mengundang banyak relawan untuk membantunya. Beberapa tahun kemudian, Catherine mendirikan the Sister of Mercy, lembaga berbasis keagamaan. Para sister tersebut mengunjungi rumah-rumah kaum miskin itu.

Kehadiran Mercy di AS dimulai pada 1843, ketika untuk pertama kalinya orang dari the Sisters of Mercy tiba dari Irlandia. Pada 1856, the Sisters of Mercy datang ke St. Louis, Missouri, dan mendirikan the Religious Sisters of Mercy of the St. Louis Province.

Lalu, 15 tahun kemudian, pada 1871 (tahun yang dianggap berdirinya jaringan fasilitas kesehatan ini) mereka membuka rumah perawatan dengan 25 ranjang (bed) untuk perempuan dan anak-anak.

Beberapa tahun kemudian, sejumlah rumah sakit (hospital) didirikannya di seantero kawasan Midwest, AS. Banyak dari rumah sakit ini yang kemudian bergabung bersama pada 1986 dan menjelma sebagai Mercy Hospital yang sekarang kita kenal. Selama tahun-tahun berikutnya, the Sisters of Mercy memperluas layanan kesehatannya di area tujuh negara bagian: Missouri, Arkansas, Kansas, Louisiana, Mississippi, Oklahoma, dan Texas.

Sebelum penggabungan, rumah sakit dan fasilitas perawatan kesehatan lainnya yang disponsori the Sisters of Mercy tidak terhubung secara formal. Mereka beroperasi terpisah, sendiri-sendiri. Lalu, sejak periode 1960-an mereka berbagi sumber daya manajemen dan konsultansi.

Dan, di tahun 1986, karena melihat akan adanya perubahan dan perkembangan di sektor perawatan kesehatan, the Sisters of Mercy mendirikan the Sisters of Mercy Health System. Inilah sistem yang menggabungkan semua fasilitas kesehatan yang terafiliasi dengan the Sisters of Mercy –yang kemudian disimplifikasi namanya menjadi Mercy.

Sekarang, dalam jaringan sistem perawatan kesehatan Mercy ada lebih dari 40 rumah sakit, baik sebagai specialty hospital maupun acute care hospital. Organisasi perawatan kesehatan yang bermarkas pusat di Chesterfield, Missouri, ini mempekerjakan lebih dari 40 ribu karyawan (co-workers) dan lebih dari 2.400 dokter (physicians) –sebagian tentu para dokter spesialis— yang mendukungnya.

Saat ini, Mercy fokus dalam menyediakan layanan perawatan kesehatan terbaik. Layanan itu diberikan melalui rumah-rumah sakit, klinik-klinik dokter (physician clinics), fasilitas rawat jalan, layanan kesehatan dan kemanusiaan lainnya, dan tak kalah pentingnya, melalui layanan virtualnya.

Steve Mackin, President & CEO Mercy.

“Inovasi adalah bagian dari DNA kami,” ujar Steve Mackin, President & CEO Mercy. Menurutnya, the Sisters of Mercy selalu berupaya mencari cara agar bisa menawarkan perawatan pasien yang lebih baik dan membuat perawatan kesehatan lebih mudah diakses. “Kami berupaya melanjutkan rintisan tersebut,” ujar Steve lagi.

“Kami merasa terhormat dengan diakuinya komitmen kami terhadap inovasi,” kata Steve, mengomentari pengakuan dari Majalah Fortune tersebut. Sang CEO mengungkapkan bahwa Mercy merupakan institusi perawatan kesehatan pertama di dunia yang membuka virtual care center (pada Oktober 2015), yang diberi nama Mercy Virtual Care Center.

Sebelumnya, Mercy juga termasuk di antara institusi kesehatan di AS yang pertama menerapkan electronic health record terintegrasi. Ini memudahkan pasien dan provider layanan kesehatan untuk melacak dan memantau (tracking) informasi kesehatan di seantero fasilitas kesehatan, di berbagai negara bagian di AS.

Hingga kini Mercy Virtual Care Center merupakan inovasi paling monumental dan transformatif yang dipersembahkan oleh Mercy. Selama hampir satu dekade, Mercy Virtual telah menjalankan praktik virtual care secara sukses. Bahkan, kini lembaga virtual ini sudah mampu melayani secara virtual pasien-pasien yang hidup dengan kondisi penyakit yang kompleks, dengan dukungan teknologi yang disebut Remote Patient Monitoring (RPM).

Menurut Annie Bannister, Registered Nurse senior yang menjabat sebagai Executive Director vEngagement di Mercy Virtual, beberapa penyakit kronis yang dikelola termasuk penyakit gagal jantung kongestif (congestive heart failure/CHF), penyakit paru-paru kronis (chronic obstructive pulmonary disease/COPD), serta penyakit diabetes dan ginjal kronis. “Banyak pasien yang hidup dengan satu atau lebih kondisi tersebut,” kata Annie.

Pasien didaftarkan ke dalam sistem RPM melalui program patient engagement yang dikelola Mercy Virtual, yang disebut vEngagement (huruf “v” singkatan dari “virtual”). “Kami mengikuti perjalanan perawatan pasien ini ketika sudah terdaftar pada program kami, termasuk mengelola mereka untuk mengakses layanan dokter umum dan spesialis di perawatan primer melalui keseluruhan perjalanan perawatan,” Annie menjelaskan.

Sebelum adanya program vEngagement, sistem tidak dirancang untuk melayani manajemen gejala harian ini. Sering terjadi pasien akhirnya berhenti mengamati mana gejala yang paling dikhawatirkannya. Tambahan lagi, banyak pasien dengan penyakit kronis ini yang tidak ingin menjadi beban bagi keluarga mereka. Alhasil, yang banyak terjadi, pasien seperti menunggu gejala menjadi begitu buruk, sehingga mereka terpaksa mengontak layanan darurat 911.

“Kami memulai program (vEngagement) ini sebagai pilot project kecil, dengan 50 pasien di Washington, Missouri,” ungkap Annie. Adakah hasil positifnya? Menurutnya, dalam beberapa bulan, pihaknya mencatat ada penurunan dalam penggunaan layanan hospitalisasi (pasien pergi dan menggunakan layanan rumah sakit), tingkat kepuasan pasien mencapai 98%, dan mampu mengurangi kesenjangan antara layanan rawat jalan dan rawat inap.

Melihat hasil positifnya, sejumlah komunitas perawatan kesehatan meminta program ini diperluas cakupan areanya. Maka, setelah di Washington, Mercy Virtual mengembangkan program vEngagement ke area/kota lain di Missouri, seperti St. Louis dan Springfield, bahkan ke wilayan Northwest Arkansas dan Oklahoma.

Selain itu, Mercy Virtual juga memperkenalkan layanan biometric monitoring dan survei pasien harian. Dan untuk pertama kalinya, pasien dengan penyakit kronis kompleks ini punya akses real time ke para provider layanan kesehatan (baik provider individual seperti dokter dan perawat maupun organisasi).

Pada tahun 2020, Mercy Virtual mulai menggunakan layanan platform RPM berbasis cloud dari Myia Health. Tujuannya agar lembaga ini mampu melayani lebih banyak pasien tanpa harus menambah lebih banyak anggota tim yang melayaninya.

“Inovasi adalah bagian dari DNA kami.”

Steve Mackin, President & CEO Mercy

Myia Health melengkapi para pasien Mercy Virtual ini dengan RPM Kits. Isi kit ini, yang terutama, perangkat tablet untuk memonitor tanda-tanda vital mereka, dan dilengkapi kapabilitas untuk memanggil, menulis pesan, atau melakukan konsultasi via vide dengan tim perawatan virtual dari Mercy Virtual. Pada kit ini juga ada perangkat biometric monitoring, seperti perangkat pengukur tekanan darah, termometer, dan oksimeter.

Dari proyek perintisan 50 pasien di tahun 2015, peserta program vEngagement dari Mercy Virtual telah tumbuh secara eksponensial. Hingga Oktober 2022, ada sebanyak 4.474 pasien yang menjadi peserta aktif dalam manajemen program ini, dan masih ada 200-an orang yang ada di daftar tunggu. Dari total pasien yang terdaftar sebagai angggota, sebanyak 84% berusia 60-89 tahun, atau lebih rinci lagi 60,5% berusia 70-89 tahun. Lalu, 56% di antaranya pasien perempuan dan 42% laki-laki.

Inovasi tampaknya memang telah menjadi karakter yang melekat pada Mercy. Sebagai contoh, dalam beberapa tahun belakangan, lembaga kesehatan ini telah “mempekerjakan” TUG robots untuk membantu staf agar meringankan beban tugas para perawat kesehatan itu, sehingga mereka lebih punya banyak waktu di sisi pasien. Mercy juga telah berkolaborasi dengan Mayo Clinic untuk mengidentifikasi secara lebih dini jenis-jenis penyakit yang mengancam jiwa (life-threatening deseases).

“Seiring dengan perkembangan teknologi, kami akan menggunakan perangkat teknologi terkini untuk para pasien maupun karyawan kami,” kata Steve. Termasuk, untuk menghubungkan seorang dokter ahli dengan pasien yang mungkin berjarak ribuan mil. Ataupun memberikan fleksibilitas kepada para perawat (nurses) untuk mendaftarkan shift tambahan cukup dengan memencet ikon tombol pada aplikasi.

Di masa pandemi Covid-19, Mercy justru meningkatkan penggunaan teknologi tinggi terkini dan menaruhnya sebagai garda depan layanan perawatan kesehatan modern. Ada sejumlah inovasi terbaru yang dikembangkannya di masa pandemi dan setelahnya (lihat Boks).

Menurut Joe Kelly, Executive VP Transformation & Business Development Officer Mercy, investasi serius pihaknya pada arsitektur dan integrasi teknologi –seiring dengan penggunaan data science, standar data, dan tata kelola– akan mengarah pada implementasi teknologi terkini, seperti AI, machine learning, Natural Language Processing (NLP), dan otomasi. “Kami akan ‘membawa’ teknologi dan data secara langsung hingga ke ranjang pasien,” ujarnya.

Teknologi-teknologi tersebut, menurut Joe, akan menjadi kekuatan pengganda bagi pihaknya untuk menyediakan layanan perawatan kesehatan terbaik. “Saya sungguh bersemangat dengan apa yang kami kerjakan saat ini dan yang akan datang,” ujarnya.

Selain pengakuan dari Majalah Fortune , Mercy sebelumnya telah menerima NRC Health’s Excellence in Patient Experience Award 2022, sebagai salah satu Top Large Health System in the Country. Lalu, untuk ke-19 kalinya Mercy menerima penghargaan sebagai salah satu dari the Nation’s Most Wired dari the College of Healtcare Information Management Executives. Juga terpilih sebagai salah satu the Best Hospitals and Surgery Centers dari The Leapfrog Group and Money Magazine.

Untuk tahun fiskal 2022, Mercy yang merupakan salah satu sistem perawatan kesehatan terbesar di AS tercatat memiliki net assets US$ 4,8 miliar dengan operating revenue US$ 7,5 miliar, dan nilai traditional charity care sebesar US$ 134 juta plus community benefits lainnya sebesar US$ 48 juta. (*)

Aneka Inovasi Terkini dari Mercy

Sumber: www.mercy.net

Joko Sugiarsono

Bahan: Armiadi M. (dari berbagai sumber)

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved