Economic Issues

Transformasi di Saudi

Transformasi di Saudi

Lewat tangan Sang Putra Mahkota, kerajaan yang selama ini tertutup, membuka pintunya lebar-lebar. Sumber-sumber pertumbuhan dihela penuh ambisi. Diplomasi bisnis dan politik pun direntangkan.

Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Muhammad bin Salman (Foto: CNN).

11 Agustus 2023, tirai itu tersingkap. Kompetisi sepak bola terbesar Arab Saudi, Liga Pro Saudi, resmi dimulai untuk musim 2023/2024. Dibandingkan musim lalu, turnamen kali ini benar-benar membuat getaran dan gemuruh tersendiri yang menyedot perhatian masyarakat dunia.

Apa yang terjadi?

Musim-musim sebelumnya, rata-rata hanya 9.300 penggemar yang datang dalam setiap pertandingan. Lalu, dalam tiga dari lima musim terakhir, pencetak gol terbanyak adalah Abderrazak Hamdallah, seorang Maroko yang belum bermain untuk salah satu klub top dunia.

Namun, musim ini berbeda. Timnya Hamdallah, Al Ittihad, baru saja merekrut Karim Benzema, pemenang penghargaan Ballon d’Or 2022 dari Real Madrid, serta N’Golo Kante, gelandang bintang dari Chelsea. Dan, kedatangan Cristiano Ronaldo, pemenang lima kali Ballon d’Or, yang pindah ke Al-Nassr, pada semester kedua musim 2022/2023 telah berdampak signifikan terhadap pamor klub. Penonton pertandingan Al-Nassr SFC di stadion dilaporkan melonjak hingga 149% ketimbang paruh musim sebelumnya: dari 8.121 menjadi 17.538 penonton.

Liga Pro Saudi memang tengah menggeliat kencang. Sebelumnya, tak seorang pun analis memperkirakan klub sepak bola Al-Hilal, Al-Ahli, dan Al-Nassr akan melakukan transfer lebih tinggi dibandingkan raksasa Barcelona dan Juventus.

Namun, yang terjadi sungguh di luar dugaan paling liar sekalipun. Al-Hilal berada di posisi kedua dalam bursa transfer 2023/2024 dengan pengeluaran sebesar € 353 juta atau Rp 5,83 triliun. Klub tersebut berada satu peringkat di bawah Chelsea yang mencapai nilai € 417 juta (Rp 6,88 triliun).

Sementara itu, Al-Ahli SFC tercatat di posisi ketujuh dengan nilai transfer € 184,18 juta (Rp 3,04 triliun), di atas Manchester City (posisi ke-8). Dan, Al-Nassr FC berada di peringkat ke-9 dengan nilai belanja € 165,1 juta (Rp 2,73 triliun), satu peringkat di atas Bayern Munich. Kini, dalam semalam, dari liga yang biasa-biasa saja, Liga Pro Saudi menjadi salah satu big spender sepak bola global.

Bagi peminat si kulit bundar, aksi Liga Pro Saudi ini seakan berdiri sendiri. Murni urusan di lapangan hijau dan hanya urusan transfer pemain dengan nilai gila-gilaan. Namun, jangan keliru. Langkah-langkah Liga Pro Saudi ini hanyalah satu bagian dari dorongan bernilai multi-miliar dolar Arab Saudi ke dalam olahraga global, dengan sang aktor utamanya adalah Muhammad bin Salman, yang dikenal sebagai MBS, Putra Mahkota dan penguasa de facto negara ini.

Ya, gerakan ini tak hanya sepak bola. Di lapangan olahraga, lelaki berusia 38 tahun itu juga sedang mengguncang panggung golf global, balapan mobil Formula 1 (Grand Prix Saudi), tinju, dan banyak lagi. Ambisi MBS adalah menggunakan olahraga untuk memodernisasi Arab Saudi, dan mengubah persepsi dunia luar terhadap kerajaan berpenduduk 36 juta orang ini.

Dan, secara keseluruhan, agresivitas di dunia olahraga ini hanya menjadi bagian kecil dari sebuah bingkai besar penuh ambisi milik Saudi, dimotori MBS. Ambisi itu tecermin pada pernyataan otoritas Kerajaan Saudi lainnya.

Januari 2023, misalnya, Faisal Al-Ibrahim, dalam pertemuan World Economic Forum di Davos, mengemukakan kebijakan negaranya. Kata Menteri Ekonomi Arab Saudi itu, pariwisata, budaya, olahraga, serta hiburan akan digenjot habis-habisan agar bisa menjadi sumur-sumur pertumbuhan ekonomi yang baru.

“Kami ingin mengurangi ketergantungan pada minyak. Kami ingin mendiversifikasi ekonomi. Tidak ada kata terlambat untuk sektor yang memulai dari nol di Arab Saudi,” kata Al-Ibrahim.

Angin transformasi yang sangat progresif memang sedang bertiup kencang di Saudi. Kelewat kencang, malah. Belakangan, kerajaan di Timur Tengah ini tak henti melakukan aneka gebrakan lewat terobosan sosial, budaya, ekonomi, dan bahkan agama, yang membuat masyarakat internasional melongo dan garuk-garuk kepala.

Saudi, negara yang didirikan Ibn Saud pada 1932 dan selama ini identik sebagai negara tertutup, kini seakan berjalan ke arah berlawanan dari pendulum ideologi yang telah lama diayunkannya, yang oleh sebagian kalangan disebut Wahabi. Tak seperti kesan sebelumnya yang telah terpupuk puluhan tahun di benak masyarakat internasional, kerajaan petro dollar ini makin terbuka sekaligus tampak lebih permisif dibandingkan sebelumnya.

Pada 26 September 2017, misalnya, Saudi mengeluarkan dekrit yang mengizinkan kaum perempuan mengemudikan kendaraan. Selama ini Saudi memang menjadi satu-satunya negara yang melarang kaum perempuannya mengemudikan kendaraan.

Selanjutnya, 29 Oktober 2017, terbit pengumuman lain: kaum hawa diizinkan menonton olahraga secara langsung di stadion. Dan berikutnya, penghujung tahun (12 Desember 2017), Pemerintah Saudi mengizinkan pendirian bioskop pertama, sekaligus menargetkan ada 300 bioskop hingga tahun 2030. Itu artinya rata-rata 23 bioskop berdiri setiap tahunnya.

Wow… ini jelas langkah yang sangat luar biasa. Bahkan, terhitung revolusioner. Namun, dalam urusan entertainment, jauh sebelum deretan dekrit di atas, mereka telah membuat sejumlah gebrakan yang berani untuk ukuran negeri yang selama ini demikian tertutup.

Saudi telah menggelar sejumlah konser di dua kota utama, Riyadh dan Jeddah. Di antaranya, resital piano oleh pianis Lebanon, Michel Fadel, serta konser penyanyi Hiba Tawaji (Lebanon), Nelly (AS), dan Cheb Khaled (Aljazair).

Fenomena ini tak ayal menimbulkan pertanyaan: ada apa sebenarnya dengan Saudi? Transformasi apa yang tengah terjadi di Tanah Nabi itu?

Kiranya jarum jam mesti diputar mundur terlebih dahulu. Persisnya ke tanggal 25 April 2016. Inilah titik awal terjadinya sederet perubahan besar yang berlangsung hingga kini. Saat itu Pangeran MBS mengumumkan Visi 2030 (ru’yah alsu’udiyah).

Ilustrasi, Visi 2030(Foto Reuters/Ahmed Yosri).

Bagi yang baru pertama kali mendengar, Visi 2030 bukanlah visi kelas teri atau ecek-ecek. Ada tiga tema utama yang diusung visi ini. Pertama, masyarakat yang dinamis. Kedua, ekonomi yang berkembang. Dan ketiga, bangsa yang ambisius. Sebuah agenda nasional serta kerangka strategis transformasi dalam segala aspek kehidupan masyarakat Saudi (sosial-ekonomi hingga budaya) yang masif, ekstensif, serta tentu saja super-ambisius.

Kemudian, dari visi ini, lahirlah sejumlah misi yang ingin dicapai. Yang krusial, di antaranya, (1) Menambah pendapatan nonminyak dari US$ 163 miliar menjadi US$ 1 triliun setiap tahunnya; (2) Menambah proporsi ekspor nonminyak dari 16% menjadi paling tidak 50% Produk Domestik Bruto (PDB); (3) Menambah kontribusi sektor swasta terhadap PDB dari 40% hingga 65%; (4) Menambah persentase investasi langsung terhadap PDB dari 3,8% menjadi seperti rata-rata dunia (5,7%); dan (5) Melompat dari peringkat 25 menjadi 10 besar dalam Indeks Persaingan Global.

Nonminyak. Ini sangat kentara menjadi ambisi besar Saudi. Ya, visi 2030 dirilis karena pemerintah kerajaan tersebut ingin benar-benar lepas dari ketergantungan pendapatan pada minyak yang selama puluhan tahun menjadi gantungan hidup.

Saudi yang merupakan penghasil minyak terbesar kedua di dunia (11,5 juta bph pada 2022) setelah AS, memang masih memiliki cadangan terbukti sekitar 267 miliar barel. Namun, kerajaan ini menyadari, cepat atau lambat, cadangan itu akan habis. Terlebih, dunia makin mengarah pada pemanfaatan energi terbarukan demi melawan perubahan iklim. Tanpa sebuah terobosan yang cepat dilakukan, mereka yakin akan sangat menderita pada beberapa dekade mendatang.

Karena itu, selain lepas dari ketergantungan pada minyak, Visi 2030 juga mendorong perluasan sumber-sumber ekonomi, lalu mengembangkan serta memajukan bidang-bidang pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, dan turisme. Bahkan, yang menarik, MBS terang-terangan menyatakan ingin menjadikan Saudi sebagai pusat logistik global yang menghubungkan tiga benua: Eropa, Asia, dan Afrika.

Khusus turisme, sang Pangeran berharap sektor pariwisata berkontribusi hingga mencapai US$ 80 miliar (sekitar Rp 1.200 triliun) atau 10% dari PDB. Ini lonjakan tinggi karena kini pariwisata menyumbang 4,45% dari PDB Saudi. Untuk ibadah haji, yang menjadi ikon Saudi, tidak ada angka resmi berapa pendapatan dari ibadah tersebut. Namun, dari aktivitas tahunan ini diperkirakan kerajaan ini bisa meraup hingga US$ 12 miliar (Rp 181 triliun).

Sementara itu, di dua kota suci, Mekkah serta Madinah, Saudi kini berupaya menarik wisatawan lebih banyak lagi. Pemerintah setempat disebut-sebut memiliki rencana ambisius, yakni menarik lebih dari 30 juta wisatawan religi mulai 2030, terutama ibadah umrah yang bisa dilakukan berkali-kali dalam setahun.

Tak mengherankan, mengacu Pusat Intelijen Konstruksi Data Global, ada 27 proyek senilai US$ 25 juta (Rp 375 miliar) yang sedang berlangsung di Mekkah. Sebanyak 13 proyek di antaranya ialah perhotelan, ritel, pemukiman, dan transportasi.

Lantas, bagaimana Pemerintah Saudi mencapai Visi 2030?

Ini hal yang menarik. Untuk meraih visi besar tersebut, MBS pun mendorong pemerintahnya menggelar lima proyek yang super-ambisius dan luar biasa gigantik, yang kebanyakan mengarah pada sektor pariwisata.

Pertama, Red Sea Project. Ini adalah proyek untuk menyulap kawasan lebih dari 28 km² di sekitar Laut Merah, termasuk 90 pulau, menjadi destinasi pariwisata internasional.

Selanjutnya, yang kedua, Mukaab Project. Dalam bahasa Arab, mukaab artinya kubus. Memiliki tinggi 400 m, lebar 400 m, dan panjang 400 m, proyek yang terletak di Riyadh ini akan terdiri dari lantai seluas 2 juta m². Di sini dibangun lebih dari 104.000 unit hunian, 9.000 kamar hotel, 980.000 m² ruang ritel, 1,4 juta m² ruang kantor, 620.000 m² aset rekreasi, dan ruang seluas 1,8 juta m² yang didedikasikan untuk fasilitas komunitas.

Berikutnya, yang ketiga, Amaala Project. Terletak di dalam Cagar Alam Pangeran MBS yang berada di sepanjang Laut Merah, proyek Amaala terdiri dari tiga subproyek: Pengembangan Pesisir, Triple Bay, serta Pulau Amaala. Untuk mengembangkan kawasan-kawasan wisata supermewah ini, Saudi akan membangun 2.500 kamar hotel, 700 vila hunian pribadi, dan area ritel yang memiliki sekitar 200 gerai.

Proyek keempat adalah NEOM Project. Berlokasi di wilayah barat laut Arab Saudi yang berbatasan dengan Mesir dan Jordania, megaproyek NEOM menempati wilayah seluas 26.500 km² dengan nilai investasi sangat fantastis, mencapai US$ 500 miliar atau sekitar Rp 6.780 triliun (sebagai pembanding, proyek IKN membutuhkan Rp 466 triliun).

Catatan yang menarik digarisbawahi adalah Kota NEOM akan diperlakukan MBS sebagai negara di dalam negara. Nantinya, NEOM akan memiliki zona ekonomi dan otoritasnya sendiri sehingga terpisah dari aturan yang mengatur wilayah Saudi lainnya.

Maklum, NEOM dirancang menerapkan sistem sosial, budaya, serta ekonomi yang independen dari kawasan Saudi lainnya. Ini kurang-lebih akan selayaknya Kota Dubai di Uni Emirat Arab. Penduduk yang tinggal di sana juga tidak akan disebut sebagai orang Saudi, melainkan disebut “Neomians”.

NEOM Project (Foto: arabianbusiness).

Di luar proyek bernuansa pariwisata, MBS juga meluncurkan proyek nonpariwisata. Proyek kelima yang baru diluncurkan MBS (27 Agustus 2023) adalah pengembangan 59 pusat logistik yang mencakup total lebih dari 100 juta m². Pusat-pusat itu akan tersebar di berbagai wilayah, termasuk 12 di Riyadh dan Makkah, 17 di Timur, dan 18 di wilayah lain.

“Putra Mahkota menegaskan bahwa inisiatif ini merupakan bagian integral untuk meningkatkan hubungan perdagangan internasional Arab Saudi, terutama mengingat lokasi geografis strategis yang menjembatani Asia, Eropa, dan Afrika,” demikian dilaporkan media resmi Saudi, Saudi Press Agency.

Tak bisa dibantah, Visi 2030 mencerminkan keseriusan Kerajaan Saudi untuk memaksimalkan potensi SDM dan SDA, yang selama ini terbengkalai serta hampir tak tersentuh lantaran mereka ditengarai lebih sibuk mengurusi masalah keislaman, ritual keagamaan, serta ”moralitas publik” rakyatnya, sementara urusan ekonomi sangat tergantung pada, atau terlalu mengandalkan, kucuran uang minyak.

Persoalannya sekarang adalah sejauh mana Visi 2030 ini akan berhasil. Pasalnya, visi ini begitu ambisius dan gigantik. Tantangannya tentu tidaklah sederhana.

Laiknya sebuah kebijakan, apalagi yang mengubah tatanan yang ada, Visi 2030 tak pernah sepi dari kontroversi. Pro-kontra pun bermunculan.

Yang menarik, di dalam negeri, MBS dipuja-puji rakyatnya, terutama anak-anak muda milenial –60% dari jumlah penduduk Saudi– yang seakan terbebas dari belenggu konservatisme agama yang selama ini melingkupi mereka. Mereka seperti mendapat tiket kebebasan untuk menangguk aneka kenikmatan yang selama ini hanya mereka baca, atau mesti ke luar negeri, untuk merasakannya, yang tentu saja dengan merogoh kocek dalam-dalam. Contohnya, untuk nonton bioskop, selama mereka ini harus melancong ke Bahrain atau Uni Emirat Arab.

Namun di sisi lain, kritik juga tak kalah berhamburan – kendati kebanyakan hanya berupa bisik-bisik ketidakpuasan. Terutama dari kalangan ulama yang merasa kebijakan MBS sebagai motor transformasi sudah terlalu melewati batas. Upaya MBS untuk mentransformasi sekaligus membalikkan citra Arab Saudi yang “suram” menjadi kawasan yang lebih bebas dan menyenangkan, dinilai seringkali sangat menciderai nilai-nilai agama.

Terhadap semua kritik yang datang, MBS bersikap tegas. Demi stabilnya proses transformasi yang tengah digelar, semua kritik yang dianggap bisa mengganggu, segera dibungkamnya. Maka, penangkapan dan pemenjaraan terhadap mereka yang kritis terhadap kebijakannya pun disebut-sebut dilakukan. Bahkan, MBS ditengarai menjadi otak hilangnya wartawan Jamal Khashoggi yang diduga dibunuh karena penanya dianggap tajam mengritik MBS. Sebuah skandal yang hingga kini terus mencoreng wajah MBS dan pemerintah Saudi dari sisi HAM.

Di luar Saudi, kebijakan “bumi hangus” ala MBS ini juga mendapat sorotan. Akan tetapi, semuanya seperti berjalan biasa. Bahkan cenderung tak ada pengaruhnya sama sekali. Buktinya, Pangeran MBS disambut gempita sewaktu merogoh US$415 juta (Rp6,2 triliun) untuk membeli klub sepak bola Liga Inggris, Newcastle United, pada 7 Oktober 2021. Sebelumnya, dia pun ditepuki penuh antusias manakala mengucurkan US$450 juta (Rp6,7 triliun) di tahun 2017 saat membeli lukisan mahakarya Leonardo da Vinci berjudul Salvator Mundi, yang menggambarkan Yesus sebagai juru selamat dunia.

Dari sisi dana, Saudi jelas tidak kekurangan fulus untuk mewujudkan proyek-proyek gigantiknya. Tak seperti negara lain yang mesti meminta bantuan sana-sini atau merogoh anggaran belanjanya, uang pemerintah Saudi seakan tak ada nomor serinya. Alhasil, yang ditaksir bisa mengganggu keberhasilan rencana mereka adalah kestabilan geopolitik regional, serta kerentanan posisi Saudi di kawasan Timur Tengah serta panggung global.

Karena itulah, MBS pun bertindak cepat, taktis, dan sekaligus strategis. Pada 24 Oktober 2017, dia menyambut lebih dari 3.500 elit keuangan dunia di pusat konferensi yang bersebelahan dengan Hotel Ritz Carlton di Riyadh untuk apa yang disebut sebagai “pesta ekonomi.” Dengan diplomasinya, Sang Putra Mahkota menjual rencananya kepada investor internasional untuk mengubah negara, tidak hanya perekonomiannya melainkan juga masyarakatnya. Berikutnya, dia juga menggelar konferensi investasi di Riyadh, yang disebut sebagai “Davos di gurun pasir”, pada Oktober 2018. Lagi-lagi dia ingin menawarkan gagasan besar sekaligus mengubah wajah Saudi di mata internasional.

Sejalan dengan itu, tahun-tahun berikutnya, Pemerintah Saudi pun aktif memainkan peran internasionalnya. Termasuk mengubah hal-hal yang sebelumnya seperti tidak mungkin dilakukan. Pada Maret 2023, misalnya, mereka membuka kembali hubungan diplomatik dengan negara terkuat di Timur Tengah, Iran. Ini jelas menjadi babak baru hubungan kedua negara yang telah lama renggang.

Menariknya, normalisasi hubungan ini dilakukan di Beijing, China. Dan rupanya langkah ini dibuat bukan tanpa maksud. Di tengah pasang-surut hubungan Saudi-AS, kini Saudi semakin mesra dengan China yang sekarang memang menjadi superpower dunia.

Pada 12 Juni 2023, bertempat di Riyadh, Saudi dan China mengumumkan kesepakatan investasi senilai US$ 10 miliar (sekitar Rp 148,68 triliun). Sebagian besar kesepakatan investasi itu terkait proyek-proyek di Saudi atau proyek-proyek perusahaan dan entitas Pemerintah Saudi.

Bahkan, ini yang menghebohkan, Pemerintah Saudi dan Israel makin dekat pada persetujuan normalisasi hubungan kedua negara. Sesuatu yang terdengar benar-benar tabu, bahkan terlarang.

Memang, sebagian warga dan politisi kedua negara masih keberatan. Nasib Palestina pun jadi pertaruhan. Namun, dalam pernyataan 7 Agustus 2023, PM Israel Benjamin Netanyahu mengindikasikan siap membuat konsesi apa pun demi meresmikan hubungan Israel-Arab Saudi. Konsesi itu termasuk soal Palestina. Netanyahu juga mengisyaratkan tidak mau konsensi itu dirintangi mitra koalisinya.

”Kalau ada kemauan politik, akan ada solusi politik untuk mencapai normalisasi dan perdamaian Arab Saudi-Israel. Ada ruang untuk membahas itu,” katanya, sebagaimana dikutip, antara lain, oleh Jerusalem Post, Times of Israel, dan Bloomberg. Bila Saudi berdamai dengan Israel, kerajaan ini mengikuti jejak Mesir (1978), Yordania (1994), Maroko (2020), Sudan (2020), Bahrain (2020), dan Uni Emirat Arab (2020).

Tak cukup dengan menjalin hubungan dengan negara-negara yang selama ini menjadi musuhnya, Saudi juga berupaya memainkan peran diplomasi yang lebih luas di panggung global. Salah satunya, menjadi motor untuk perdamaian Rusia dan Ukraina.

Lewat normalisasi diplomatik dengan Iran, keeratan hubungan bisnis dengan China, pemulihan hubungan dengan Israel, dan upaya memainkan peran internasional yang lebih luas, tampak jelas Saudi ingin benar-benar mengamankan dan menyukseskan Visi 2030-nya. Dan, jika stabilisasi internal berjalan baik (sekalipun dikritik karena dianggap menempuh jalan otoriter dan menciderai HAM), begitu pun kondisi geopolitik Timur Tengah yang kondusif serta kemesraan hubungan bisnis dengan sekutu-sekutunya, di atas kertas, prospek tercapainya Visi 2030 bukan fatamorgana.

Alhasil, bukan mustahil dunia akan melihat Saudi yang sangat berbeda dalam satu dekade mendatang. Sebuah negeri yang bukan hanya menjadi kiblat bagi kaum muslim, tapi mungkin juga kiblat pertumbuhan bisnis yang pesat, terutama dari aspek pariwisata, perdagangan, serta logistik global. (*)

Teguh S. Pambudi

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved