Trends Economic Issues

Ini Alasan BI Menaikkan BI Rate Menjadi 6%

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Oktober 2023 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate atau BI rate sebesar 25 bps menjadi 6,00%. Selain itu suku bunga deposit facility juga naik sebesar 25 bps menjadi 5,25% dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 6,75%.

Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan kenaikan ini bertujuan untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak meningkatnya ketidakpastian global. kenaikan juga diklaim sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor (imported inflation), sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3,0±1% pada 2023 dan 2,5±1% pada 2024.

“Sementara itu, kebijakan makroprudensial longgar diperkuat dengan efektivitas implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dan menurunkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) untuk mendorong kredit atau pembiayaan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Akselerasi digitalisasi sistem pembayaran juga terus ditingkatkan untuk memperluas inklusi ekonomi dan keuangan digital, termasuk digitalisasi transaksi keuangan pemerintah pusat dan daerah,” katanya dalam keterangan resmi, Jumat (20/10/2023).

Untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan pertumbuhan ekonomi dari dampak rambatan tingginya ketidakpastian global, kata Erwin, koordinasi kebijakan Bank Indonesia dan kebijakan fiskal pemerintah terus ditingkatkan. Koordinasi pengendalian inflasi dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) juga diperkuat.

Erwin mengungkapkan, sinergi kebijakan antara BI dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) diperkuat dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong kredit atau pembiayaan kepada dunia usaha, khususnya pada sektor-sektor prioritas. Bank Indonesia juga memperluas kerja sama dengan bank sentral negara mitra, serta memfasilitasi penyelenggaraan promosi investasi dan perdagangan di sektor prioritas bekerja sama dengan instansi terkait.

Perekonomian global melambat dengan ketidakpastian yang semakin meningkat tinggi. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melemah dan disertai divergensi pertumbuhan antar​negara yang semakin melebar. Pertumbuhan ekonomi pada 2023 diperkirakan sebesar 2,9% dan melambat menjadi 2,8% pada 2024 dengan kecenderungan risiko yang lebih rendah.

Ekonomi Amerika Serikat (AS) pada 2023 masih tumbuh kuat terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan sektor jasa yang berorientasi domestik Sementara ekonomi China melambat dipengaruhi oleh pelemahan konsumsi dan penurunan kinerja sektor properti.

“Meningkatnya ketegangan geopolitik mendorong harga energi dan pangan meningkat sehingga mengakibatkan tetap tingginya inflasi global. Untuk mengendalikan inflasi, suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk Federal Funds Rate (FFR), diperkirakan akan tetap bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama (higher for longer),” katanya.

Kenaikan suku bunga global diperkirakan akan diikuti pada tenor jangka panjang dengan kenaikan yield obligasi pemerintah negara maju, khususnya AS (US Treasury). Hal ini diakibatkan peningkatan kebutuhan pembiayaan utang pemerintah dan kenaikan premi risiko jangka panjang (term-premia). Berbagai perkembangan tersebut mendorong pembalikan arus modal dari negara Emerging Market Economies (EMEs) ke negara maju dan ke aset yang lebih likuid, yang mengakibatkan dolar AS menguat secara tajam terhadap berbagai mata uang dunia.

“Ketidakpastian ekonomi dan keuangan global semakin tinggi karena terjadi bersamaan dengan meningkatnya ketegangan geopolitik. Karena itulah memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif rambatan global terhadap ketahanan ekonomi domestik di negara-negara EMEs, termasuk Indonesia,” ungkap Erwin.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved