Trends

Bank Harus Siapkan Cadangan Dana Sesuai dengan Kolektibilitas Kredit

Program restrukturisasi kredit terkait pandemi Covid-19 akan berakhir pada Maret 2024. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, di Gedung DPR RI, Jakarta, memastikan pemberhentian tersebut.

Terkait hal itu, sejumlah bank besar dan plat merah telah memperkuat pencadangan mereka. Pengamat perbankan Paul Sutaryono mengatakan, bank harus mulai dari sekarang menyiapkan cadangan sesuai dengan kolektibilitas kredit yang direstrukturisasi. Jumlah cadangan sangat tergantung besar kecilnya bank dan jumlah nasabah yang direstrukturisasi.

Jika bank besar bisa memperkuat pencadangannya, namun, tidak demikian dengan bank-bank kecil. Kredit macet masih membayangi. Perbaikan kualitas kredit ini menjadi pekerjaan rumah bagi bank yang masih mencatatkan rasio Non Performing Loan (NPL) di atas 5%. Kredit macet datang, terutama dari debitur nakal, yang rata-rata mengambil kredit komersial. Selain itu, bencana wabah Covid-19 membuat banyak pemilik usaha terpaksa gulung tikar, para pemilik usaha yang sudah terlanjur berhutang kepada Bank, tidak lagi mampu untuk membayar ataupun melunasinya.

Rektrurisasi sempat diperpanjang dua kali, hingga 31 Maret 2023 dan kemudian diperpanjang lagi hingga Maret 2024. OJK memutuskan memperpanjang periode restrukturisasi kredit dengan pertimbangan bahwa debitur memerlukan waktu lebih panjang untuk pulih dari dampak Covid-19. Selain itu, tujuan pemerintah memberikan relaksasi agar tidak terjadi NPL secara massif yang pada akhirnya akan berdampak sistemik pada kesehatan perbankan itu sendiri.

Kredit macet menjadi momok yang menakutkan bagi perbankan. Hingga Agustus 2023, kinerja perbaikan kredit macet tercatat lebih baik dari tahun lalu. Rasio NPL gross tercatat turun 38 basis poin (bps) pada Agustus 2023, sementara NPL nett tercatat stabil pada level 0,79%.

Para debitur setelah periode relaksasi rektrurisasi kredit, karena jumlah hutangnya membengkak akibat penundaan pembayaran, maka bisa dipastikan jumlah hutang lebih besar dari nilai agunannya. Dampaknya dirasakan oleh perbankan yang berhadapan langsung dengan risiko kerugian finansial yang signifikan. Perbankan mengalami hambatan pertumbuhan bisnis dan modal tergerus.

Paul mengatakan, UU Nomor 4 Tahun 2023 memang memberikan perluasan kewenangan pendidikan dan penyelesaian pelanggaran di sektor jasa keuangan. Tetapi titah UU itu sudah barang tentu tidak akan langsung berlaku.

Bagi debitur yang tidak bisa melunasi utangnya, maka jaminan atau agunan yang diberikan saat melakukan akad kredit akan dilelang oleh pihak bank. Sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Namun, bagaimana jika ternyata jaminan tersebut tak cukup untuk melunasi utang? Pasalnya, setelah periode relaksasi rektrurisasi kredit, jumlah utangnya membengkak akibat penundaan pembayaran, maka bisa dipastikan jumlah utang lebih besar dari nilai agunannya.

“Kreditur dapat melakukan eksekusi terhadap aset debitur lainnya dengan mengajukan gugatan perdata melalui proses peradilan,” terang Ahmad WS Dilapanga, SH, pakar hukum. Dasar hukumnya, berkaitan dengan hal ini, sambung Ahmad, telah diatur dalam pasal 1131 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala barang bergerak dan tak bergerak milik debitur baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitur. Pada praktiknya juga sering dijumpai dalam akta pengikatan hak tanggungan dicantumkan berapa nilai tanggungan atas hutang debitur kepada kreditur.

“Hal ini menjadi dasar karena jika nilai utang yang tercantum belum dapat melunasi, maka kreditur dapat mengajukan eksekusi terhadap aset lain agar debitur dapat melunasi utangnya yang belum terbayar. Jadi kalau lelang eksekusi jaminan tidak cukup membayar hutang, maka kreditur bisa menggugat sita harta milik debitur yang lain yang tidak dijaminkan untuk melunasi sisa utangnya,” tandas dia.

Ahmad juga mengungkapkan perlunya ada personal guarantee dalam perjanjian kredit. Dasar hukum personal guarantee yaitu Pasal 1820 KUH Perdata yang berbunyi “Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang manakala ia sendiri tidak memenuhinya”. Dengan demikian, kreditur mendapatkan jaminan umum baik atas harta benda bergerak maupun tidak bergerak.

Nah apabila hasil lelang aset–aset milik debitur tidak cukup, maka personal guarantee bertanggungjawab untuk melunasinya. Bisa saja, aset dari personal guarantee dilelang untuk membayar utang-utang debitur.

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved