My Article Trends

Pentingnya Mencermati Aspek ESG dalam Berinvestasi

Oleh Editor
Pentingnya Mencermati Aspek ESG dalam Berinvestasi

Oleh: Asty Purbasari, Staf Lokal Kedutaan Besar Norwegia

Banyaknya riset empiris yang menemukan adanya pengaruh antara kinerja ESG sebuah perusahaan terhadap profitabilitas, valuasi saham, risiko, dan biaya modal, membuat ESG jadi kriteria penting dalam mengambil keputusan berinvestasi.

Terminologi Sustainable Finance atau ESG (Environmental-Social-Governance) saat ini sudah menjadi mainstream bagi dunia usaha. Istilah ini merupakan manifestasi dari konsep triple bottom line yang diperkenalkan di tahun 1990an: people, planet, dan profit. Pada intinya, pelaku usaha diharapkan tidak hanya memerhatikan aspek keuangan, tetapi juga seharusnya peduli akan dampak sosiologi dan ekologi yang dihasilkan dari aktivitas bisnisnya.

Di saat yang bersamaan, pengungkapan data ESG bagi perusahaan publik menjadi sebuah keharusan yang dipersyaratkan oleh otoritas keuangan setempat. Menurut Sustainable Stock Exchanges Initiative (SSE), sebuah program kemitraan antara UNCTAD, UN Global Compact, Principles for Responsible Investing, dan UNEP Finance Initiative, dari sepuluh negara anggota ASEAN, enam di antaranya sudah bergabung sebagai partner SSE dan turut aktif dalam mengimplementasikan keuangan berkelanjutan lewat: (1) pelaporan praktik dan kinerja ESG dalam publikasi tahunannya; (2) penetapan panduan dan standar untuk pelaporan kinerja ESG; (3) penyediaan training ESG; (4) penawaran indeks saham bertemakan ‘hijau’; dan (5) peluncuran segmen obligasi berkelanjutan.

Inisiatif ESG di ASEAN ini memang baru digalakkan dalam lima tahun belakangan. Sebagai contoh, Malaysia meluncurkan kerangka Sustainable Responsible Investment di tahun 2014, dengan Bursa Malaysia menawarkan indeks saham sustainable pertamanya di 2015 dan selanjutnya obligasi hijau di 2017. Kemudian Singapore Exchange menetapkan aturan Mainboard Listing Rule nomor 711b tentang kewajiban pelaporan kinerja ESG pada perusahaan publik di tahun 2016.

Sementara itu, Indonesia, melalui Otoritas Jasa Keuangan di tahun 2017 mengeluarkan peraturan tentang kewajiban implementasi keuangan berkelanjutan untuk perusahaan publik. Hingga kini, Bursa Efek Indonesia memiliki empat indeks saham bertemakan hijau. Lalu Thailand meluncurkan Indeks Sustainability Investment pertamanya di tahun 2016, diikuti dengan publikasi Roadmap for Sustainable Capital Market di tahun 2020. Dan terakhir, untuk memberikan panduan bagi perusahaan publik, Filipina mengeluarkan Memorandum nomor 4 tentang Sustainability Reporting Guidelines di tahun 2019. Regulasi yang dikeluarkan oleh negara-negara ASEAN terkait penerbitan laporan keberlanjutan sayangnya tidak menjelaskan standar terkait pengungkapan data ESG, serta tidak mewajibkan laporan tersebut dinilai oleh assessor independen. Beberapa analisis menilai rendahnya kualitas laporan keberlanjutan yang dikeluarkan oleh perusahaan publik di ASEAN, seperti yang salah satunya dituliskan oleh ASEAN CSR Network pada Desember 2020.

Publikasi berjudul “Corporate Sustainability Reporting in ASEAN Countries” tersebut menyatakan bahwa secara isi (content), laporan keberlanjutan masih bersifat naratif dan kurang menyajikan data kuantitatif. Karenanya, sebagai langkah perbaikan, di awal tahun 2022 tujuh bursa saham dari enam negara ASEAN (Vietnam memiliki dua bursa) telah berkolaborasi untuk menyusun serangkaian rekomendasi terkait matriks ESG bagi perusahaan publik dengan tujuan memperoleh data yang konsisten dan seragam supaya bisa dikomparasi. Kolaborasi ini juga bertujuan untuk meningkatkan pengungkapan data ESG oleh perusahaan publik di kawasan ASEAN, seiring dengan bertumbuhnya permintaan investor global akan hal ini.

Sebenarnya, apa untungnya menerapkan (baca: menginternalisasi) prinsip-prinsip ESG dalam berbisnis?. Apa salahnya dengan menjalankan ‘business as usual’?. Apalagi jika menyusun strategi integrasi ESG memerlukan investasi atau biaya yang tidak sedikit, mulai dari training, menyewa konsultan, sampai transisi ke proses produksi dan rantai pasok yang lebih sustainable.

Dalam bukunya berjudul “Principles of Sustainable Finance”, Dirk Schoenmaker dan Willem Schramade mengungkapkan, dengan menyatukan aspek keuangan dan prinsip-prinsip ESG, sebuah perusahaan artinya peduli untuk menciptakan kesejahteraan stakeholder secara lebih luas. Mereka percaya bahwa bisnis yang memiliki kepedulian akan kelangsungan lingkungan hidup dan bertanggungjawab sosial akan menumbuhkan kepercayaan di mata masyarakat, yang bisa berimbas pada peningkatan penjualan, keuntungan, dan harga saham.

Selain itu, investor dan kreditur juga percaya perusahaan yang menginternalisasi prinsip-prinsip ESG tadi, memiliki risiko sistematis lebih rendah, sehingga memudahkan perusahaan tersebut untuk mendapatkan akses modal dengan biaya yang lebih rendah pula. Sebagai tambahan, sejak menjadi populer di tahun 2017 makin banyak penelitian dilakukan mengenai praktik ESG dalam perusahaan dan dampaknya terhadap kinerja keuangan, meski kebanyakan data berasal dari pasar modal negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang sudah lebih awal mensyaratkan ESG. Beberapa studi empirik menunjukkan pengaruh positif ESG terhadap return on equity (ROE), return on asset (ROA), dan valuasi pasar. Perusahaan dengan rating ESG tinggi juga secara signifikan memiliki abnormal return yang lebih tinggi dan volatilitas saham yang lebih rendah.

Bicara tentang rating atau peringkat ESG, ada beberapa lembaga dan konsultan pemeringkat ESG yang mempublikasikan peringkat ESG perusahaan publik, sehingga memudahkan akses data bagi para investor retail yang punya preferensi investasi di saham-saham berwawasan ESG. Bursa Efek Indonesia sendiri saat ini memiliki empat indeks saham bertemakan hijau, dimana tiga diantaranya dikeluarkan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI). Sejak diluncurkan di tahun 2013, Yayasan KEHATI mengklaim kinerja saham yang masuk dalam indeks-indeks tadi berada di atas rata-rata IHSG (lihat gambar).

Kinerja Indeks SRI-Kehati 2013-2022

Sumber: IDX Fact Sheet SRI-Kehati, Agustus 2022

Dua lembaga pemeringkat lain dengan coverage lebih luas diantaranya adalah Sustainalytics dan Morgan Stanley Capital International (MSCI). Kita bisa mengakses metodologi dan peringkat ESG emiten global lewat halaman web mereka, bahkan MSCI mengungkapkan histori rating dari tahun ke tahun. MSCI merupakan firma keuangan asal AS yang banyak menganalisis saham, obligasi, dan portofolio investasi, termasuk kinerja ESG perusahaan publik.

Metodologi MSCI dimulai dari menciptakan indikator-indikator risiko yang relevan bagi industri tertentu, kemudian menganalisis publikasi laporan tahunan, laporan keberlanjutan, dan berita-berita terkait aksi korporasi, sehingga skor exposure dan manajemen risikonya dapat dikuantifikasi. Skor ESG kemudian diperingkat dari CCC (laggard/tertinggal) hingga AAA (leader/pemimpin). Isu material yang dianalisis terdiri dari pilar Environment/Lingkungan (seperti: emisi karbon dari kegiatan operasional atau produk yang dihasilkan, pendanaan pada proyek atau kegiatan ‘hijau’, pemanfaatan sumber daya alam, pengadaan bahan baku, pengolahan limbah, teknologi pengemasan, dsb), Social/Sosial (seperti: manajemen SDM, kesehatan dan keselamatan kerja, kualitas dan keamanan produk, proteksi terhadap konsumen, dll), dan Governance/Tata Kelola (seperti: mekanisme RUPS, transparansi akuntansi, sistem kompensasi, etika bisnis, dll).

MSCI, dalam salah satu risetnya terhadap 1552 perusahaan global dan 960 perusahaan dari negara berkembang sepanjang 2015-2019, mengkonfirmasi perusahaan dengan kinerja ESG yang lebih baik pada umumnya memiliki cost of capital (biaya modal) yang lebih rendah dibanding rata-rata industri. Saham-saham global dengan peringkat ESG tinggi (highest ESG quintile) memiliki rata-rata biaya modal sebesar 6,16% dibanding 6,55% untuk peringkat ESG rendah.

Sementara dari pasar negara berkembang, cost of capital perusahaan dengan peringkat ESG tinggi dibanding perusahaan dengan peringkat ESG rendah adalah 7,75% vs. 8,7%. Bagaimana dengan pasar ASEAN? Meski perusahaan publik yang memiliki peringkat ESG belum sebanyak negara maju, sebuah studi yang relatif baru menemukan bahwa peringkat ESG memiliki korelasi negatif terhadap biaya modal, ROA dan ROE, seperti terangkum pada tabel di bawah. Hal ini mengindikasikan, makin bagus rating ESG sebuah perusahaan, makin kecil biaya modalnya – sebuah hal yang tentunya positif. Meski sayangnya, hal tersebut tidak berlaku untuk rasio profitabilitas. Makin tinggi rating ESG perusahaan, tidak diimbangi dengan peningkatan ROA dan ROE.

Adapun studi yang disebutkan tadi dilakukan pada 96 perusahaan non-bank ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand) dalam rentang waktu 2018 – 2022, menggunakan peringkat ESG keluaran MSCI. Sementara data ROA, ROE, dan WACC (biaya modal) diambil dari database Refinitiv.

Sumber: Diolah dari www.MSCI.com

Kinerja ESG pada perusahaan-perusahaan publik ASEAN berdasarkan pemeringkat MSCI, seperti terlihat pada gambar, mengalami peningkatan sejak tahun 2018. Dari nilai rata-rata 3,7 (setara dengan peringkat BB atau BBB), menjadi 4,36 (setara dengan peringkat BBB atau A) di tahun 2022. Beberapa contoh perusahaan yang konsisten memiliki peringkat leader (AA dan AAA) di kawasan ini adalah: City Development, Keppel Corporation, Capitaland Investment, dan Singapore Telecommunication dari Singapura; Minor International, BTS Group Holdings, dan Siam Cement dari Thailand; Maxis Bhd dan Nestle Bhd dari Malaysia; dan Kalbe Farma dari Indonesia.

Menurut MSCI, perusahaan dengan rating ESG tinggi adalah mereka yang melakukan disclosure lengkap terhadap data-data ESG dalam laporan tahunan atau laporan keberlanjutannya, seperti pengungkapan emisi karbon, konsumsi energi dan sumber daya lain, sampai dengan data kuantitatif pilar sosial dan tata kelola. Umumnya, perusahaan yang bersedia mengungkapkan data-data ESG nya adalah mereka yang memiliki strategi dan komitmen keberlanjutan dalam jangka panjang. Sebagai contoh, City Development (CDL), perusahaan pengembang real estate yang menguasai portofolio properti hotel dan gedung perkantoran di Singapura. CDL secara konsisten memiliki peringkat AAA dari tahun 2018. Jika dilihat dari profil perusahaannya, CDL mengembangkan strategi keberlanjutan sejak 2003. Di tahun tersebut, perusahaan meraih sertifikasi ISO 14001 untuk sistem pengelolaan lingkungannya dan kemudian di 2014, sertifikasi ISO 50001 dan ISO 14064-1 untuk sistem pengelolaan energi dan pelaporan emisi karbon. Kemudian Minor International PCL (MINT), perusahaan yang bergerak di industri perhotelan dan restoran di Thailand. MINT juga secara konsisten memiliki peringkat AA dan AAA dari tahun 2018.

Berdasarkan publikasi laporan tahunan 2021, Perusahaan ini mengembangkan strategi eberlanjutan sejak 2018 dengan komitmen untuk mengurangi penggunaan energi, emisi karbon, dan pemakaian air bersih hingga 20% di tahun 2023.

Selanjutnya, terkait korelasi ESG dengan profitabilitas, dapat dilihat bahwa rata-rata ROA dan ROE tidak menjadi lebih tinggi dengan meningkatnya peringkat ESG. Hal ini mengindikasikan adanya trade-off, dimana implementasi keuangan berkelanjutan kebanyakan masih berupa investasi yang mengeluarkan biaya, sehingga dalam jangka pendek mengurangi profitabilitas. Meskipun biaya tersebut secara teori dapat ditransfer kepada konsumen lewat harga jual produk yang lebih tinggi, namun pada prakteknya akan berisiko menurunkan penjualan yang tentunya tetap berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan.

Sebaliknya, biaya modal atau weighted average cost of capital (WACC) terlihat turun seiring dengan meningkatnya peringkat ESG. Perusahaan dengan kinerja ESG yang baik dinilai memiliki risiko rendah, sehingga sesuai dengan teori dan perhitungan WACC, akan mengurangi biaya modalnya. Berbeda dengan profitabilitas yang banyak dipengaruhi oleh faktor penjualan dari konsumen (retail), biaya modal lebih berhubungan dengan institusi kreditur dan investor, yang umumnya bersedia menurunkan bunga pinjaman atau tingkat pengembalian investasi jika perusahaan tersebut dianggap memiliki risiko lebih rendah.

Rata-rata ESG Rating di ASEAN

(2018-2022) Isu sustainability ini menjadi makin penting bagi investor perorangan untuk lebih serius memahami risiko-risiko ESG dalam keputusan berinvestasi. Caranya bisa dengan menghindari saham-saham yang masuk dalam daftar negatif, mencermati indeks saham dan obligasi bertemakan hijau, atau meninjau rating ESG perusahaan tersebut. Meski secara profitabilitas tidak terlihat dalam jangka pendek, namun perusahaan yang menginternalisasi aspek-aspek lingkungan dan sosial akan memiliki risiko yang lebih rendah dan bisa dipastikan lebih resilient di masa resesi.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved