Corporate Transformation

Nu Skin, Disrupsi Mendorong Transformasi Bisnis

Kani Sumantoro, Presiden Nu Skin Indonesia.
Kani Sumantoro, Presiden Nu Skin Indonesia.

Transformasi bukan hal baru bagi Nu Skin yang hadir di Indonesia sejak 2005. “Kami banyak menghadapi berbagai perubahan sehingga kami butuh transformasi segera atau berubah segera,” ujar Kani Sumantoro, Presiden Nu Skin Indonesia.

Nu Skin adalah direct selling company yang berdiri sejak 1984 di Provo, Amerika Serikat, yang memproduksi berbagai macam produk personal care. Selama ini, orang tahunya direct selling adalah model bisnis yang menjual produk secara door to door atau face to face.

Direct selling yang paling umum dikenal adalah multilevel marketing. Sebenarnya, MLM merupakan salah satu model saja. Dan, direct selling ini banyak sekali modelnya. Ada single level, ada multilevel, dsb., tergantung pada bagaimana perusahaan menyediakan model komisi untuk distributor independennya.

Sebelum terjadi pandemi Covid-19, industri direct selling sudah terdisrupsi dengan maraknya penggunaan teknologi digital. Hal ini memengaruhi cara kerja Nu Skin dalam menjalankan bisnisnya. Kani menjelaskan, di era sekarang, digital connectivy banyak menggantikan face to face.

Kemudian, hadir social commerce yang semakin merebak, seperti TikTok sekarang telah menjadi platform commerce yang luar biasa. Maraknya social commerce ini juga merupakan disrupsi.

Apalagi, pada masa gig economy ini banyak sekali platform yang menyediakan sarana untuk masyarakat agar bisa menjaga pergerakan, tapi juga menjadi model bisnis yang bisa digunakan masyarakat untuk berwirausaha. Dengan demikian, hadirnya platform-platform tersebut juga menjadi disrupsi bagi Nu Skin.

“Jadi, ketika banyak hal yang terjadi, akhirnya mendorong kami untuk berubah dari sisi model bisnis,” Kani mengungkapkan. Pertama, dari sisi digital, bagaimana perusahaannya memanfaatkan social commerce.

Mungkin, yang namanya knock in the door sekarang sudah tidak nyaman. Maka, social commerce dimanfaatkan sebagai sarana untuk bisa mengekspansi segmen pasar dengan menciptakan berbagai macam konten untuk membantu independent distribution Nu Skin bisa terkoneksi atau berafisiliasi di social commerce.

Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, Nu Skin Indonesia memiliki goal: penjualan bisa mencapai Rp 2 triliun. Dengan catatan, pihaknya harus memiliki 4.000 customer dan 4.000 independent distributor yang melakukan networking dan menjual produknya.

Pihaknya juga ingin setiap sales leader melakukan aksi yang lebih keras dengan cara build, duplicate, multiplay (BDM). Jadi, Nu Skin menggunakan banyak komunikasi untuk empoweringpeople agar bisa menikmati produknya dan sharing tentang berbagai produknya. Dengan demikian, akan semakin banyak orang yang tertarik dengan produk Nu Skin.

Selain itu, juga mulai mengajak mereka menjadi bagian dari sales Nu Skin. “Itu action yang kami lakukan,” ujar Kani.

Itulah strategi Nu Skin untuk berubah, yang dilakukan melalui platform, program, produk, dan potensinya. Misalnya, di 2019 atau sebelum pandemi, perusahaan ini sudah melihat pentingnya teknologi digital dan social commerce. Sehingga, mengembangkan website dan online payment support dengan pemikiran bagaimana caranya bisa membantu para sales-nya.

“Kami selalu berkeyakinan harus selalu improve layanan kami melalui online dan bagaimana caranya customer, independent distributor, dan sales leader Nu Skin melakukan interaksi dan transaksi secara online,” Kani menegaskan.

Hal itu pun terasa dampaknya. Sebelum pandemi Covid–19 terjadi, order online Nu Skin hanya 30%-40%, tapi ketika pandemi mencapai 95%.

Bicara revenue, di tahun 2022 Nu Skin bisa tumbuh 24%. Padahal, industri direct selling di 2022 tumbuh sekitar 3%. “Kami bisa growing di atas rata-rata. Ini bisa dikatakan transformasi yang kami lakukan berhasil,” kata Kani tandas. Transformasi Nu Skin tersebut tidak hanya terkait produk, tapi juga organisasi bisnis dan yang lain. (*)

Dede Suryadi dan Okky Marthavony

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved