Trends Economic Issues

Fokus COP28 dan Tantangan Keuangan Berkelanjutan

Andhyta Firselly Utami, Peneliti Ekonomi Lingkungan dan Pendiri Think Policy,

Di tengah gejolak perubahan iklim yang semakin memprihatinkan, perhatian global semakin mengerucut pada upaya merubah pembicaraan menjadi tindakan konkret. Paradigma perubahan iklim harus menjadi kenyataan jika kita ingin mencapai tujuan iklim dan membuat transisi yang efektif.

Inilah yang menjadi fokus utama dalam Conference of the Parties ke – 28 (COP28) yang akan berlangsung di Uni Emirat Arab, mulai tanggal 30 November hingga 12 Desember mendatang. Keputusan-keputusan penting akan diambil yang akan membentuk komitmen iklim dunia di masa depan.

Sebagai latar belakang, kita harus mengakui bahwa kita sedang melenceng dari jalur yang benar dalam mencapai tujuan perubahan iklim. Hal ini berdasarkan evaluasi teknis global yang menegaskan bahwa dunia sedang melenceng dari jalur untuk mencapai tujuan Kesepakatan Paris. Kesenjangan emisi hingga tahun 2030 untuk mencapai target penurunan suhu 1,5°C sangat besar dan terus meningkat. Dibutuhkan tindakan mendesak dalam implementasi selama tujuh tahun ke depan untuk mencapai jalur 1,5°C, yang memerlukan penurunan emisi global sebesar 43% pada tahun 2030.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita dapat kembali ke jalur yang benar melalui kebijakan dan pendanaan yang ambisius untuk menjaga target peningkatan suhu maksimum 1,5°C pada tahun 2100.

“Apakah kita dapat mengubah pembicaraan menjadi tindakan, dan apakah pergeseran paradigma bisa menjadi kenyataan?” Artinya untuk mencapai tujuan iklim dan membuat transisi yang efektif, perbincangan di COP28 harus diikuti oleh tindakan konkret. COP28 harus menunjukkan bahwa pembicaraan perubahan iklim global mampu menghasilkan perubahan nyata.

Salah satu aspek penting yang semakin mendapat perhatian adalah peran sektor swasta di dalam usaha memerangi perubahan iklim.

Dalam konteks ini, Andhyta Firselly Utami, Peneliti Ekonomi Lingkungan dan Pendiri Think Policy, menyampaikan pandangan positif dan optimistis kritis. Menurutnya, dengan komitmen dan kepemimpinan yang tepat, dunia memiliki potensi untuk mengejar target pendanaan iklim yang telah ditetapkan, termasuk komitmen US$100 miliar per tahun untuk pendanaan iklim yang diberikan oleh negara-negara maju kepada negara-negara berkembang.

Andhyta mencatat, meskipun terdapat perbedaan pendapat dan kesulitan terkait pendanaan iklim, dia memperkirakan target tersebut dapat diatasi dalam jangka menengah asalkan pemimpin dunia lebih serius menangani isu ini. Optimisme kritis ini menggambarkan semangat untuk tetap berusaha mengatasi tantangan finansial dalam perubahan iklim.

Menurut Andhyta, salah satu tantangan terbesar dalam usaha memerangi perubahan iklim adalah pendanaan. Biaya yang diperlukan untuk melakukan proses transisi tersebut sangat besar. Dalam hal ini, terdapat dua inisiatif finansial yang berkaitan dengan perubahan energi dan kebijakan iklim global, yang kini tengah menjadi perbincangan hangat di Indonesia, yaitu Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM).

Inisiatif JETP bertujuan untuk mendukung peralihan menuju energi bersih dan berkelanjutan dengan fokus pada aspek keadilan sosial. Program ini untuk memastikan bahwa peralihan ke energi bersih tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga adil secara sosial.

JETP menekankan pentingnya memerhatikan dampak perubahan iklim pada masyarakat yang paling rentan, termasuk mereka yang bekerja di sektor-sektor energi konvensional yang mungkin terpengaruh oleh perubahan kebijakan. Inisiatif ini mendukung transformasi ke sektor energi yang lebih berkelanjutan, dengan mempertimbangkan dampaknya pada lapangan pekerjaan, penghidupan masyarakat lokal, dan keadilan sosial. GFANZ (Glasgow Financial Alliance for Net Zero) Indonesia memobilisasi dan memfasilitasi pendanaan publik dan swasta sebesar US$ 20 miliar selama lima tahun ke depan untuk mendukung JETP di Indonesia.

Sedangkan ETM adalah mekanisme berupa dukungan teknis, keuangan, dan peningkatan kapasitas yang dirancang untuk membantu negara-negara mempercepat transisi ke energi bersih. ETM membantu negara-negara dalam merancang dan melaksanakan kebijakan, mengidentifikasi sumber pembiayaan, dan meningkatkan kapasitas teknis yang diperlukan untuk mengatasi hambatan dalam transisi energi. Hal ini penting karena banyak negara menghadapi kendala dalam mencapai tujuan iklim mereka, dan ETM adalah upaya untuk memberikan dukungan agar mereka dapat menghadapi perubahan tersebut dengan lebih efektif. Ini termasuk projek-projek infrastruktur, pembangkit listrik terbarukan, dan projek energi hijau lainnya yang mendukung transisi energi.

Andhyta menjelaskan, saat ini, Indonesia sedang bergerak menuju pembiayaan berkelanjutan dengan berbagai inisiatif pemerintah dan perusahaan swasta. Beberapa bank dan lembaga keuangan di Indonesia telah mulai mengadopsi praktik keuangan berkelanjutan. Mereka mendukung projek-projek seperti pembangkit listrik tenaga surya, restorasi hutan, dan infrastruktur ramah lingkungan. Baik JETP maupun ETM berperan penting dalam memfasilitasi implementasi finansial projek-projek energi bersih di Indonesia tersebut.

Tekanan terhadap perusahaan-perusahaan energi fosil juga semakin keras. Presiden COP28 akan mengumumkan aliansi energi fosil baru di COP28 yang akan menempatkan industri energi fosil di bawah sorotan. Ini mencerminkan pergeseran global menuju ekonomi hijau dan dorongan tanpa henti menuju keberlanjutan dalam operasi bisnis dan hasil yang berkelanjutan.

Indonesia, dalam konteks ini, telah memulai perjalanan dekarbonisasi, dengan regulasi yang ditetapkan untuk mencapai nol emisi karbon pada tahun 2060.

Pemerintah Indonesia telah merumuskan rencana ambisius untuk menerapkan pensiun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dalam upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, memperbaiki kualitas udara, dan bertransisi ke energi bersih. Rencana ini mencakup penghentian operasi PLTU batubara yang tua dan kurang efisien, serta peningkatan investasi dalam energi terbarukan dan teknologi bersih. Langkah ini merupakan bagian penting dalam upaya Indonesia untuk mencapai target energi bersih dan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim global.

Sesuai analisa Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Center for Global Sustainability (CGS) di University of Maryland yang didukung oleh Bloomberg Philanthropies, menunjukkan bahwa Indonesia dapat mempercepat penghentian pengoperasian PLTU batubara pada tahun 2045 dengan dukungan dana internasional. Analisis tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dapat menghentikan operasi 72 PLTU batubara di Indonesia yang dimulai dengan mengurangi pembangkitan listrik dari PLTU batubara sebesar 11% selama delapan tahun ke depan dan selanjutnya meningkatkan jumlah PLTU batubara yang dipensiunkan menjadi 90% sebelum tahun 2040.

Meskipun Indonesia telah berkomitmen pada tujuan ambisius untuk mencapai bebas emisi tahun 2060 atau lebih cepat dan menghapus batubara secara bertahap pada tahun 2040-an dengan bantuan internasional, ketergantungan Indonesia pada batubara di sistem energi dalam negeri, bahkan mengekspor ke luar negeri menjadi tantangan dalam mencapai tujuan tersebut.

Pemerintah Indonesia sendiri menekankan bahwa mempensiunkan PLTU dan menggantinya dengan pembangkit yang lebih ramah lingkungan ini tidak akan merugikan pemilik pembangkit karena prinsipnya aset PLTU tersebut akan dibeli kemudian dioperasikan dengan waktu yang lebih cepat untuk penghentiannya.

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved