Management Trends

Saatnya Transisi untuk Pertumbuhan Supply Chain

Saat ini, terdapat persaingan global ketika perusahaan berupaya untuk menyeimbangkan kembali rantai pasokan mereka dan mencari pemasok, lokasi, dan talenta baru. Tetapi, perusahaan yang hanya fokus pada ketahanan dan keuntungan jangka pendek saja tidak cukup. Perusahaan perlu melakukan transformasi demi kelangsungan hidup dan bertahan dari tantangan ini, khususnya di Asia Pasifik.

Chairman PwC Asia Pacific and China Raymund Chao mengatakan, meskipun Asia Pasifik terus berada dalam kondisi prima untuk pertumbuhan, perubahan bisnis kecil seperti lift and shift tidak lagi cukup. Jarang sekali dalam sejarah ada pemimpin bisnis yang menghadapi tantangan sebanyak yang mereka hadapi dalam tiga tahun terakhir, yang masing-masing tantangannya sangat kompleks dan rumit.

“Peralihan dari ketahanan ke pertumbuhan saat ini sangat diperlukan. Persaingan untuk menyeimbangkan kembali pertumbuhan sedang terjadi saat ini,” ujar Raymund (30/11/2023).

Senior Partner PwC Indonesia Territory Eddy Rintis mengungkapkan, meskipun terjadi gejolak ekonomi global, Asia Pasifik mampu bertahan dari badai tersebut. Asia Pasifik diperkirakan akan menyumbang 70% pertumbuhan global selama sepuluh tahun ke depan.

Pertumbuhan ini kemungkinan akan didorong oleh Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Kawasan ini diperkirakan memiliki konsumsi konsumen dengan agregat tertinggi pada tahun 2030. Pasar konsumen di Asia Selatan dan Tenggara berkembang dengan fenomenal; dalam kasus Indonesia dan Filipina, pertumbuhan ini diperkirakan akan mencapai 200% pada tahun 2030.

Dengan demikian, Eddy menambahkan, kemitraan RCEP akan bermanfaat dan mempunyai keuntungan bagi Asia Pasifik karena melibatkan kerja sama antar negara dengan perekonomian terbesar di Asia antara lain Tiongkok, Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan, yang mencakup 30% PDB dan jumlah penduduk dunia. Rantai pasokan di Asia Pasifik merupakan pendorong utama bagi 60% profitabilitas industri.

“Amerika berada di angka 45%, dibandingkan Indonesia di angka 76%, Singapura di angka 70%, dan Jepang di angka 67%. Dari perhitungan ini, Asia Pasifik berada dalam posisi yang lebih baik mengingat ketergantungan Amerika Serikat terhadap wilayah tersebut dalam hal biaya input,” ucapnya.

Selain rantai pasokan dan potensi konsumen, faktor penting lainnya yang mempengaruhi investasi adalah insentif dari pemerintah, terutama di lokasi yang menarik investasi asing langsung karena insentif pemerintah. Insentif ini sering kali menyebabkan persaingan yang ketat karena permintaan melebihi ketersediaan keterampilan yang dimiliki oleh calon pekerja.

“Namun, insentif bukanlah golden ticket. Perusahaan akan melihat lebih dari sekedar keunggulan yang akan didapat melainkan menggali lebih dalam untuk bertahan dalam perekonomian yang kompetitif ini,” ungkapnya.

Selain itu, terdapat persaingan pasar untuk mendapatkan rantai pasokan global. Perusahaan-perusahaan yang ingin menyeimbangkan kembali operasinya secara lebih merata di seluruh wilayah, sulit untuk menemukan satu lokasi yang dapat menggantikan Tiongkok.

Sebaliknya, perusahaan yang mencari lokasi alternatif di Asia Pasifik atau Amerika Latin akan memerlukan trade-off antara tingkat risiko politik, profil tenaga kerja, kemampuan infrastruktur, dan peraturan. CEO juga perlu mempertimbangkan ketersediaan tenaga kerja di lokasi perusahaan, walaupun mereka tidak selalu bertanggung jawab langsung.

“Hal ini terbukti menjadi tantangan besar bagi banyak perusahaan dan pemasok, khususnya di lokasi yang menarik investasi asing langsung karena insentif pemerintah. Insentif ini sering kali menyebabkan persaingan yang ketat untuk mendapatkan talenta, karena banyaknya permintaan yang melebihi ketersediaan keterampilan dalam kumpulan talenta yang ada. Sayangnya, Indonesia berada di posisi kelima dalam rata-rata upah bulanan di belakang empat negara lainnya (dihitung dalam Renminbi/RMB),” ucapnya.

Hal ini sejalan dengan analisis PwC baru-baru ini yang menunjukkan bahwa 65% perusahaan yang disurvei menganggap biaya dan ketersediaan tenaga kerja sebagai perhatian utama ketika melakukan relokasi rantai pasokan. PwC juga menemukan melalui survei bahwa 56% perusahaan menyebut berbagai standar rantai pasokan tanpa pedoman sebagai tantangan ESG terbesar yang dihadapi rantai pasokan mereka.

“Seperti yang bisa kami lihat, terdapat peningkatan fokus pada ‘S’ dalam ESG, sehingga dunia usaha harus berinvestasi sekarang untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko hak asasi manusia dalam operasi dan rantai pasokan mereka. Nanti diharapkan mereka mampu mengatasinya serta menghindari tindakan yang merugikan orang lain dan melindungi reputasi serta hak mereka untuk beroperasi,” ucap Eddy.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved