Economic Issues

Capres Didesak Konsisten Transisi ke Ekonomi Hijau, Ekonom: Dampaknya 2 Kali Lipat

Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan (Sulsel) (Foto KOMPAS.com)
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan (Sulsel) (Foto KOMPAS.com)

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mendorong agar para kandidat capres-cawapres pada Pemilu 2024 berfokus pada transisi ke ekonomi hijau. Pasalnya berdasarkan kajian Celios, dampak ekonomi hijau dapat melampaui ekonomi ekstraktif atau pertambangan hingga hampir 2 kali lipat.

Dia membeberkan ekonomi ekstraktif memberikan dampak ekonomi sebesar Rp 1.843 truliun. Sedangkan ekonomi hijau mencapai Rp 2.943 triliun. “Jadi ekonomi hijau berkontribusi hampir dua kali lipat dibandingkan sektor ekstraktif,” kata Bhima dalam diskusi bersama Greenpeace Indonesia di Jakarta pada Selasa, 19 Desember 2023.

Celios sendiri telah melakukan kajian ini dengan memasukkan beberapa asumsi dari info output dua skenario. Skenario yang pertama adalah melihat apabila pemerintah konsisten setidaknya dalam 10 tahun ke depan melakukan transisi dari struktur ekonomi yang ekstraktif ke struktur ekonomi hijau.

Asumsi skenario pertama yang digunakan adalah nilai investasi diasumsikan berasal dari berbagai komitmen pendanaan hijau, yakni JETPI (Just Energy Transition Partnership) sebesar US$ 20 miliar atau setara 312 triliun. Kemudian dari kerja sama dengan Komitmen Green Belt atau Belt Road Inisiatif senilai US$ 56 miliar atau setara Rp 873,6 triliun.

Serta relokasi kresit perbankan di sektor pertambangan dan penggalian senilai Rp 125,8 triliun dan nilai investasi hijau existing senilai US$ 1,79 miliar atau setara Rp 27,9 triliun. Menurutnya, dari kerja sama tersebut Indonesia bisa mewujudkan sumber pendanaan untuk transisi yang lebih bersih. “Dari situ akan banyak sekali input terhadap ekonomi Indonesia,” ucapnya.

Kemudian skenario yang kedua adalah melihat apa saja dampak dari ekonomi hijau dibandingkan dengan ekonomi yang biasa dilakukan saat ini atau business as usal. Celios mengkomparasi dampak keduanya apabila konsisten dijalankan dalam 10 tahun ke depan.

Dari asumsi-asumsi tersebut, Bhima mengungkapkan apabila bank tidak menggeser dari sektor ekonomi ekstraktif ke ekonomi hijau. Artinya, sektor ekstraktif masih tetap mendapatkan penyaluran perbankan Rp 125,8 triliun. Hasilnya, dampak ekonomi hijau tetap mampu melampaui ekonomi ekstraktif.

Berdasarkan perhitungannya, Bhima menyebut ekonomi ekstraktif memberikan dampak ekonomi sebesar Rp 1.843 truliun. Sedangkan ekonomi hijau mencapai Rp 2.943 triliun. Ia mengatakan ekonomi hijau memberikan kontribusi sebesar 14,3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2023, dengan asumsi PDB Rp 20.567 triliun.

Dengan demikian, apabila Indonesia tetap menjalankan bisnis as usual, dampaknya terhadap PDB Indonesia hanya Rp 1.843 triliun. Tetapi apabila ada komitmen politik dukungan yang lebih serius dari perbankan dan lembaga pembiayaan maka dampaknya akan lebih besar.

Terlebih apabila didukung dari sisi kebijakan fiskal dan moneter yang mengarah ke transisi ekonomi hijau, Bhima menegaskan PDB yang diciptakan lebih besar bahkan hampir Rp 3.000 triliun dalam 10 tahun ke depan.

“Jadi kelihatan bahwa ekonomi hijau punya dampak yang lebih positif bagi pertanian, Kehutanan, dan juga perikanan,” kata dia.

Menurutnya, ekonomi hijau juga punya dampak positif bagi konstruksi. Pasalnya, begitu komitmen untuk melakukan pensiun PLTU batubara dan transisi menghindari batubara dilakukan, maka ada banyak sumber energi terbarukan. Hal, tuturnya, membutuhkan input konstruksi yang sangat besar.

“Jadi untuk menjawab target pertumbuhan PDB kita yang tinggi dan berkualitas, mau tidak mau harus transisi ke ekonomi hijau,” ucap Bhima.

Sumber: Tempo.co


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved