Capital Market & Investment

PHEI Memproyeksikan Pasar Obligasi Domestik di 2024 Masih Semarak

Pasar obligasi Indonesia pada 2024 berpeluang mengalami kenaikan kinerja yang dipicu oleh tercapainya puncak suku bunga bank sentral di negara-negara maju terutama The Fed seiring tren inflasi Amerika Serikat (AS) yang mengarah ke target sasaran 2%. Berdasarkan proyeksi lembaga moneter internasional (IMF), inflasi AS diproyeksi dalam tren menurun ke level 2,6% pada akhir tahun ini.

Tim Periset PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) menjabarkan proyeksi penurunan inflasi tersebut sejalan dengan The Fed yang diproyeksi mengakhiri siklus pengetatan moneter pada semester I/2024. Berdasarkan dot plot The Fed di Desember lalu, mayoritas pejabat The Fed memproyeksi penurunan nilai tengah Federal Funds Rate (FFR) yakni dari 5,38% menjadi 4,63% pada akhir tahun 2024. “Sedangkan pelaku pasar berdasarkan proyeksi CME FedWatch Tool tampak lebih optimis dengan memproyeksikan peluang pemangkasan suku bunga The Fed sebanyak 5 kali atau sebesar 125 basis poin (bps) ke kisaran 4% hingga 4,25%,” ujar Ifan Ihsan, tim periset PHEI dalam keterangannya di Jakarta, Senin (8/1/2024).

Ekspektasi siklus pelonggaran moneter juga datang dari dalam negeri. Konsensus analis memperkirakan Bank Indonesia mulai melakukan pemangkasan BI 7 Days RR Rate pada kuartal III/2024 yakni sebesar 25 bps ke level 5,75% dan pemangkasan 50 bps ke 5,25% pada kuartal keempat tahun ini. “Hal tersebut sejalan dengan inflasi yang diperkirakan dalam tren terkendali yakni di level 3,7% pada tahun 2024,” ucapnya.

Meskipun demikian, perkembangan arah kebijakan moneter The Fed masih menjadi faktor utama volatilitas pasar pada tahun 2024 seiring dengan ekspektasi pasar yang lebih optimis dari dot plot The Fed. Selain itu faktor volatilitas pasar dapat didorong oleh potensi meningkatnya risiko tensi geopolitik dan pelaku pasar wait and see terhadap pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan diselenggarakan di 57 negara termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.

Pasar obligasi masih akan ditopang oleh permintaan dari investor domestik yang diperkirakan masih solid. “Potensi peningkatan demand diperkirakan berasal dari investor institusi keuangan non-bank didorong oleh adanya kebutuhan reinvestasi, pemenuhan kewajiban investasi pada SBN, dan potensi imbal hasil yang lebih tinggi, serta kondisi makro ekonomi domestik yang menunjukkan ketahanan,” tutur Ifan.

Permintaan dari investor ritel domestik diperkirakan turut solid. Sedangkan porsi investor asing di SBN berpotensi mengalami peningkatan dalam skenario siklus pengetatan moneter The Fed yang akan berakhir pada semester I-2024. Dari sisi supply, target penerbitan SBN (neto) oleh pemerintah pada tahun 2024 direncanakan sebesar Rp 666,4 triliun berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

Jumlah target penerbitan tersebut menyesuaikan dengan asumsi defisit APBN yang menjadi 2,29% terhadap PDB. Target penerbitan SBN akan dipenuhi melalui dua instrumen yaitu SUN dan SBSN berdenominasi rupiah maupun valas. Secara komposisi mayoritas pemenuhan target penerbitan SBN tersebut akan dilakukan melalui penerbitan SBN domestik non ritel yakni sebesar 68-70% dari total penerbitan SBN pada tahun 2024.

Sedangkan penerbitan obligasi korporasi pada 2024 dalam skenario moderat dan berpeluang sedikit lebih tinggi dari tahun 2023 seiring total nilai obligasi korporasi yang akan jatuh tempo yang sedikit lebih tinggi pada tahun ini, yakni sebesar Rp 124,50 triliun dibandingkan dengan nilai obligasi yang jatuh tempo di 2023 sebesar Rp 116,38 triliun. “Terbatasnya penerbitan obligasi korporasi dipengaruhi oleh suku bunga di level tinggi serta wait and see pada tahun pemilu 2024,” imbuh Ifan.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved