Trends

Penciptaan Nilai, Upaya Penting Maksimalkan Potensi Panas Bumi

Panas bumi merupakan sumber Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang paling berpotensial untuk merealisasikan target Net Zero Emission (NZE) 2060. Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia masih memiliki beberapa kendala dan tantangan, terutama dalam hal keekonomian proyek.

Panas bumi dapat berperan penting dalam upaya mencapai target bauran energi sebesar 23% pada tahun 2025. Indonesia yang memiliki potensi panas bumi sebesar 28,4 GW, merupakan potensi terbesar di dunia.

Hal tersebut menjadi benang merah diskusi secara hybrid, Senin (15/1) yang digagas oleh ReforMiner Institute bertajuk “Strategi Penciptaan Nilai Panas Bumi Sebagai Langkah Mendukung Net Zero Emission 2060.”

Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Julfi Hadi menekankan pentingnya penerapan serta peluang pemanfaatan produk sekunder dan rantai pasok panas bumi melalui optimalisasi value creation (penciptaan nilai), termasuk agenda perbaikan nilai keekonomian proyek. Anggota Pengurus Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Yudha Permana Jayadikarta, menyoroti pentingnya dukungan kebijakan serta memastikan transparansi dalam tata kelola perusahaan panas bumi.

Anggota Dewan Energi Nasional Ir. Satya Widya Yudha, M.Sc. Ph.D, memandang pengelolaan energi panas bumi di Indonesia sebagai aspek krusial dalam mendukung transisi energi nasional. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno, memaparkan terkait informasi terkini mengenai perkembangan dan posisi proses RUU EBET yang diharapkan dapat disahkan pada kuartal satu 2024 serta menekankan pada urgensi penerapan kebijakan yang mendukung pengembangan EBET sebagai bagian dari strategi nasional.

Sebagai penggagas diskusi, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro,mengatakan diskusi ini bisa menjadi stimulus positif buat kontribusi sektor panas bumi dalam mendongkrak realisasi bauran energi dari energi baru dan terbarukan di Indonesia, dan berharap kesadaran yang muncul ini nantinya bisa memberikan manfaat untuk mendukung terciptanya net zero emission. “Potensi panas bumi yang kita miliki adalah anugerah alam yang harus disyukuri dan dioptimalkan buat kemajuan negeri dan kemaslahatan publik,” kata Komaidi.

Dalam kesempatan ini, Komaidi juga mengungkapkan beberapa kendala yang menyebabkan keekonomian proyek panas bumi relatif belum kompetitif, diantaranya adalah sulit terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dengan PLN sebagai pembeli tunggal, kebijakan yang ada mengharuskan harga listrik EBET bersaing dengan pembangkit fosil, hingga risiko investasi tinggi karena kepastian potensi cadangan yang belum jelas.

Tingkat keekonomian proyek panas bumi di Indonesia menurut Komaidi lebih tinggi dibandingkan global. Rata-rata nilai keekonomian listrik panas bumi di Indonesia untuk kontrak yang baru dilaporkan berada pada kisaran 10 sen USD/kWh sampai dengan 13 sen USD/kWh. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia belum cukup kompetitif.

Komaidi menyebutkan optimalisasi penciptaan nilai dapat menjadi salah satu upaya untuk memperbaiki tingkat keekonomian proyek panas bumi, sekaligus membantu merealisasikan pencapaian target NZE Indonesia. Optimalisasi value creation pada pengusahaan panas bumi global dilakukan melalui sejumlah instrumen dengan memanfaatkan teknologi mutakhir seperti drilling, well enhancement, power plant, operations. Juga perlu adanya perbaikan supply chain dan komersialisasi produk turunan (secondary product) seperti pemanfaatan langsung, green hydrogen production, green methanol production, dan silica extraction.

“Meski demikian, seluruh upaya optimalisasi penciptaan nilai pada industri panas bumi tersebut akan terlaksana jika terdapat perbaikan ekosistem pada industri panas bumi dan kolaborasi yang bersinergis dari para pemangku kepentingan,” tutur Komaidi.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved