Capital Market & Investment

Emiten Indonesia Masih Rapuh Walau Masuk Pemulihan Pascapandemi

Studi ini menilai kinerja keuangan 360 emiten di Indonesia dengan pendapatan tahunan lebih dari USD 50 juta. (Vina/SWA)

Perusahaan jasa konsultansi strategi global, Alvarez & Marsal (A&M) mengungkapkan bahwa secara keseluruhan kondisi emiten di Indonesia terlihat rapuh pascapandemi Covid-19, dengan 44% perusahaan yang tercatat di bursa menunjukkan perlunya perbaikan.

Hal itu terungkap dalam laporan berjudul ‘Indonesia A&M Distress Alert: Indonesian Companies Remain Under Stress Despite Post-Covid Recovery’, yang diluncurkan perdana untuk Indonesia guna memberikan gambaran kondisi keuangan dan operasional perusahaan.

Dalam laporan itu, A&M mengungkapkan sebanyak 19% emiten membutuhkan peningkatan kinerja keuangan, 9% perlu mengatasi kinerja operasional, dan 14% membutuhkan perbaikan secara simultan di kedua area tersebut. “Selebihnya 56% perusahaan mempertahankan status dan prospek sehatnya,” ujar Alessandro Gazzini (Alex), Managing Director A&M Indonesia dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/01/2024).

Alex mengatakan, di Indonesia, kecepatan pemulihan kesehatan perusahaan relatif lambat. Hal ini berujung pada bertambahnya subkelompok ‘perusahaan zombi’. Lebih dari 44% perusahaan yang mengalami kesulitan pada tahun 2022 tetap berada dalam kondisi sulit bahkan setelah tiga tahun, dengan hanya 32% yang kembali ke status semula.

“Hal ini berbanding terbalik dengan negara yang ekonominya lebih maju seperti Inggris, di mana hanya 24% perusahaan yang masih dalam kondisi tertekan dalam kurun waktu tiga tahun, dan 65% di antaranya telah kembali ke status semula,” lanjutnya.

Alex menjelaskan, faktor utama yang menyebabkan tekanan adalah neraca keuangan dan struktur modal yang melemah, bukan karena kinerja operasional yang terganggu. Terutama, 22% dari perusahaan yang mengalami tekanan pada tahun 2022 memiliki skor ketahanan neraca yang rendah tiga tahun sebelumnya, dibandingkan hanya 9% dengan nilai kinerja rendah tiga tahun sebelumnya.

Situasi ini dinilai sangat mengkhawatirkan, mengingat skenario kenaikan suku bunga saat ini akan sangat membebani perusahaan-perusahaan yang membutuhkan pembiayaan baru. Berbagai hambatan dalam lanskap Indonesia berkontribusi terhadap tantangan ini, termasuk resistensi terhadap upaya perubahan operasional yang dipengaruhi oleh norma-norma budaya, masalah biaya, dan kompleksitas peraturan.

Kemudian, keinginan pemegang saham untuk mempertahankan kendali, bahkan dalam situasi yang sulit; keengganan kreditur tertentu untuk menyetujui pengurangan atau pemotongan utang; hingga kurangnya landasan hukum yang kuat untuk memfasilitasi proses restrukturisasi keuangan secara menyeluruh.

Analisis ADA juga mengidentifikasi adanya tekanan di seluruh sektor, terutama pada sektor Pertambangan Logam dan Non-Batubara, Ritel dn Transportasi, serta Infrastruktur dan Konstruksi sebagai tiga sektor yang paling terpapar. Sementara sektor Barang Konsumsi serta Bahan Kimia & Material menunjukkan tren kesulitan yang memburuk selama dua tahun terakhir. Sebaliknya, sektor Pertanian, Pertambangan Batu Bara dan Energi, Komunikasi dan TI, serta Kesehatan mencatat tingkat tekanan yang rendah dengan tren pemulhan yang signifikan.

“Meskipun tanda-tanda pemulihan pascapandemi sudah mulai terlihat, banyak perusahaan di Indonesia yang masih berjuang menghadapi tekanan yang cukup besar, dan banyak yang tidak siap untuk menghadapi tantangan di masa depan. Laporan ADA kami berperan sebagai pengingat, untuk mendorong adanya tindakan segera guna meningkatkan kinerja keuangan dan meningkatkan efisiensi oparasional,” tutur Alex.

Seiring dengan membaiknya perekonomian Indonesia, langkah-langkah penanganan Covid-19 yang diberikan oleh Pemerintah akan dihapuskan secara bertahap. Penghapusan ini kemungkinan besar membuka kelemahan perusahaan-perusahaan yang selama ini mengandalkan bantuan program pemerintah, terutama yang belum sepenuhnya beradaptasi dengan realitas baru.

Berakhirnya program ini dapat mempercepat aksi perusahaan untuk meminjam dana melalui pembiayaan alternatif dan restrukturisasi demi membayar kewajiban utang dan tantangan operasional. Terlebih lagi, faktor penyokong yang membantu mempertahankan inflasi – seperti lonjakan permintaan pascapandemi dan mekanisme cost pass-through secara bertahap memudar di berbagai sektor.

Hal ini menekankan pentingnya strategi bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk segera meningkatkan kesehatan keuangan dan keuntungan operasional dalam menghadapi situasi yang kompleks saat ini.

“Perusahaan harus lebih bijaksana dalam menyeimbangkan antara pilihan pertumbuhan dan keuntungan. Pendekatan pertumbuhan dengan segala cara tidak lagi menjadi pilihan yang tepat,” kata Alex.

Walau tren pelemahan ini belum berubah menjadi gelombang restrukturisasi perusahaan di Indonesia, A&M memperkirakan kondisi yang lebih sulit akan memaksa lebih banyak perusahaan secara aktif melakukan langkah-langkah deleveraging dan restrukturisasi.

Perusahaan yang berutang perlu memikirkan opsi-opsi alternatif untuk membayar utangnya. Struktur keringanan utang dan struktur inovatif, walau berbiaya modal yang lebih tinggi. Selain mengembalikan kesinambungan neraca keuangan, restrukturisasi transformasional dan operasional (di antaranya penutupan lokasi, pengurangan divisi, penyesuaian penawaran produk, pengembangan produk baru, pengurangan pekerja, transformasi digital, dan lainnya) diprediksi akan semakin terjadi.

Menurut Alex, para pemangku kepentingan harus segera mengambil tindakan, yang berfokus pada upaya mendapatkan landasan yang kuat untuk melakukan restrukturisasi, melakukan tinjauan model bisnis/portofolio yang ketat, menerapkan langkah-langkah penanggulangan yang diperlukan, dan mengembangkan rencana keuangan tiga arah yang komprehensif yang mengintegrasikan rencana bisnis dengan dampak langkah-langkah restrukturisasi.

Selain itu, perencanaan untuk menghadapi ketidakstabilan melalui pemantauan terus menerus terhadap faktor pendorong makroekonomi, analisis perilaku pesaing, dan penyusunan skenario harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses perencanaan keuangan.

Laporan ADA menilai kinerja keuangan 360 emiten di Indonesia yang memiliki pendapatan tahunan lebih dari USD 50 juta di 11 sektor industri. Indikator yang digunakan dalam indeks ADA adalah 17 indikator kinerja utama (KPI) untuk menilai ketahanan neraca keuangan dan pendapatan perusahaan, mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang sedang atau akan mengalami tekanan keuangan.

Editor: Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved