Trends Economic Issues

Pajak Industri Hiburan di Indonesia Tertinggi di ASEAN

Pemerintah RI akan memberlakukan penetapan pajak hiburan 40-75%. Hal ini merujuk UU tentang besaran Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) bagi jasa hiburan seperti diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa yaitu paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

Aturan tersebut mengacu pada UU) nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa jasa kesenian dan hiburan masuk dalam kategori tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT).

Menurut keterangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tujuan pemerintah menetapkan pajak hiburan minimal 40% adalah untuk mendorong kemandirian fiskal daerah. Kemenkeu menilai selama ini masih banyak daerah yang bergantung ke pemerintah pusat.

Apalagi, industri hiburan juga sudah pulih dari dampak pandemi Covid-19. Total pendapatan daerah dari pajak hiburan sebesar Rp2,2 triliun pada 2023. Nilai ini hampir setara dengan realisasi pada 2019 atau sebelum Covid-19 sebesar Rp2,4 triliun. “Tahun 2023 sudah mencapai Rp2,2 triliun, jadi sudah bangkit,” jelas Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa pemulihan ekonomi khususnya pada industri hiburan masih belum cukup baik di Jakarta.

Masalah rencana kenaikan pajak hiburan itu juga mendapat sosrotan dari Ketua MPR RI & Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo. Pejabat yang juga pengusaha ini pun mendorong pemerintah mempertimbangkan secara cermat dampak dari kenaikan pajak hiburan terhadap industri hiburan. Perlu dilakukan kembali kajian mendalam dan dialog yang lebih intensif dengan pelaku usaha hiburan guna mencari solusi terbaik yang dapat menjaga keseimbangan antara kepentingan fiskal negara dan kelangsungan usaha para pengusaha hiburan.

“Kenaikan pajak hiburan sebesar ini dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap industri hiburan. Selain memberatkan para pelaku usaha, kenaikan pajak yang signifikan berpotensi menimbulkan dampak negatif, seperti peningkatan harga tiket masuk, penurunan daya beli masyarakat, dan bahkan berdampak pada kelangsungan usaha para pelaku industri hiburan,” jelas pengusaha hiburan Rudy Salim.

Rudy adalah pemilik klub Phantom di PIK 2 Jakarta bersama selebritis sRaffi Ahmad. Mereka berdua, sebagai perwakilan pengusaha hiburan dan pemilik tempat hiburan itu keberatan jika kebijakan ini diterapkaan. Pasalnya, hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan industri hiburan di Tanah Air. Sebelumnya, pengacara kondang Hotman Paris Hutapea dan pedangdut Inul Daratista juga kompak memprotes kenaikan pajak hiburan ini. Keduanya menilai kenaikan pajak akan merugikan pengusaha dan masyarakat secara umum.

“Misalnya, customer datang dan belanja senilai Rp 10 juta, total tersebut akan dikenakan service charge sebesar 10% sehingga menjadi Rp 11 juta. Jika dikenakan lagi PB1 minimal 40% (Rp4,4 juta), maka total yang harus dibayarkan customer jadi Rp15,4 juta,” ucap Rudy.

“Pemerintah dan DPR diharapkan untuk membuka ruang dialog yang lebih luas dengan melibatkan semua pihak terkait. Suara para pelaku usaha hiburan perlu didengar dengan baik dalam proses pengambilan keputusan ini. Sehingga kebijakan yang dihasilkan dapat lebih memperhitungkan berbagai aspek dan kepentingan yang ada,” ujar Bamsoet.

Bamsoet menjelaskan, dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) pasal 58 ayat 2, menyebutkan bahwa khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen. Kenaikan tersebut kemudian memunculkan sejumlah kontroversi dari para pelaku usaha hiburan.

“Kenaikan pajak hiburan sebesar ini dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap industri hiburan. Selain memberatkan para pelaku usaha, kenaikan pajak sebesar ini berpotensi menimbulkan dampak negatif. Seperti peningkatan harga tiket masuk, penurunan daya beli masyarakat, dan bahkan berdampak pada kelangsungan usaha para pelaku industri hiburan,” kata Bamsoet.

Bamsoet ini memaparkan, dibanding negara lain pajak hiburan di Indonesia tergolong tinggi. Dicontohkan, Thailand menerapkan pajak hiburan hanya 5% demi menarik wisatawan.

Merujuk pada The Economic Times, pemerintahan Thailand melakukan pemotongan pajak minuman beralkohol dan tempat hiburan untuk meningkatkan pariwisata di negara tersebut. Langkah-langkah yang disetujui termasuk memotong pajak atas anggur dari 10% menjadi 5% dan menghilangkan pajak atas minuman beralkohol yang sebelumnya sebesar 10%. Selain itu, pajak cukai tempat hiburan akan dikurangi setengahnya, dari 10% menjadi 5%.

“Kini, Thailand merupakan negara ASEAN yang paling ramai akan wisatawan mancanegara. Pajak hiburan Indonesia yang melonjak tinggi ke tingkat minimum 40% merupakan posisi teratas dibandingkan Singapura sebesar 15%, Malaysia yang berada di angka 10%, dan Amerika Serikat (Chicago) di angka 9%. Dikhawatirkan tingginya pajak hiburan di Indonesia, bisa membuat daya tarik Indonesia menurun dibandingkan negara-negara tetangga,” ujar Bamsoet.

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved