Companies

Savoria, Happy Employee Berdampak pada Produktivitas

Ihsan M. Putri, CEO Savoria.

PT Savoria Kreasi Rasa yang berdiri sejak 2016 berfokus pada bisnis makanan dan minuman. Pada 2018, Savoria mengakusisi permen Foxs dari Nestle. Perusahaan ini pun rajin membangun merek dan produk sendiri dari nol. Hal ini dimulai dari meluncurkan Caffino pada Juni 2019, Milk Life pada Juni 2020, 5 Days pada Januari 2020, dan kopi tubruk Gajah pada Juni 2021.

Motor penggerak perusahaan ini ialah para anak muda yang menjadi karyawan Savoria. Dari tangan merekalah lahir brand-brand baru dalam waktu yang cepat hingga bisa berkembang sampai saat ini.

“Kami sangat agresif melakukan penetrasi pasar. Kami mulai dari nol pada 2018 dan sekarang sudah memiliki 3.000 lebih karyawan. Selama Covid-19, kami justru merekrut 1.600 karyawan baru. Karyawan kami tidak ada yang di-PHK-kan, dan tidak ada pengurangan gaji,” kata Ihsan M. Putri, CEO Savoria. Saat ini, Savoria telah memiliki lima pabrik dan sudah mengekspor Caffino ke 30 negara di Amerika, Afrika, Timur Tengah, dan Asia.

Menurut Ihsan, di era digital ini, informasi tersedia dengan sangat luas, transparan, dan cepat. Dengan demikian, dinamika industri berubah dengan cepat dan progresif. Di sisi lain, ada sejumlah tantangan utama dalam mengelola karyawan di era digital ini.

Pertama, karyawan cepat mengetahui informasi. “Kami mengelola karyawan yang pintar dan mengetahui informasi dengan cepat, sehingga integritas menjadi penting,” katanya.

Kedua, populasi di Indonesia banyak anak muda. Mereka memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan mudah bosan. Ketiga, anak-anak muda ini ingin yang cepat dan instan. Perpindahan karyawan dari satu pekerjaan atau perusahaan terjadi dengan cepat karena mereka mau yang instan.

Keempat, generasi ini peduli work-life balance. Mereka mau bekerja keras dan juga mau menikmati hidup (having fun).

Kelima, terjadi generation gap antara generasi muda yang progresif dan generasi tua yang lebih tradisional dan konservatif. Tantangannya ialah bagaimana menjembatani anak-anak yang energik dan pintar ini dengan pengalaman dan kebijaksanaan yang dimiliki generasi tua.

Keenam, kompetensi di industri fast moving consumer goods (FMCG) ini terjadi dengan sangat intens. Teknologi yang digunakan pun cepat berubah. Percepatan ini harus diiringi dengan kompetensi yang juga harus tumbuh.

“Komunikasi menjadi penting dalam menjembatani generation gap ini. Kami harus menjelaskan strategi perusahaan (open communication) dan berkolaborasi dengan anak-anak muda yang paham perkembangan digital, sehingga kami bisa bersama-sama mengambil keputusan,” Ihsan menandaskan.

Jadi, bukan one way atau diktator ke bawah, tetapi melalui proses kerja yang kolaboratif. Generasi tua harus mau mendengar anak-anak muda dan generasi muda harus mau mendengar pengalaman dan kebijaksanaan generasi tua, sehingga keputusan bisa diambil secara bersama-sama dan transparan.

Lalu, bagaimana Grup Savoria menjaga engagement karyawan? Ihsan menjelaskan langkah-langkah yang dilakukannya. Pertama, Sense of purpose. Pihaknya transparan kepada seluruh karyawan. Seluruh karyawan mengetahui tujuan, arahan, cara mencapai tujuan, program yang dilakukan, hingga bagaimana cara kerjanya. “Karyawan mengetahui itu semua dan kami pun sebagai pimpinan memberikan clear direction,” ujarnya.

Kedua, Empowerment dan sense of ownership. Pihaknya menekankan bahwa perusahaan ini milik bersama, bukan tersentral. Setiap karyawan berpartisipasi dalam berkarya sehingga bisa mencapai tujuan perusahaan.

Ketiga, Identitas. Perusahaan ini memiliki coporate values, yaitu incredible, integritas (walk the talk), creativity dengan membuat continuous improvement and innovation award, serta berfokus pada inovasi konsumen. Lalu, diligent (rajin dan efektif), dan blanding tidak ada superman, yang ada ialah superteam. “Untuk nge-bland, kami harus humble, respek, dan bisa berkolaborasi,” Ihsan menjelaskan.

Perusahaan ini juga memiliki values of leader, yaitu trustworthy; jadi role model, harus bisa menjadi panutan; melakukan setting direction yang jelas; serta men-drive eksekusi. Lalu, ada nilai understanding. Ini penting untuk generasi muda. Pemimpin harus open to feedback, dan pemimpin itu ada untuk membantu menyelesaikan masalah. “Lalu, empowerment karyawan dengan melakukan coaching program,” ujarnya.

Savoria juga memiliki sistem performance management sehingga semuanya bisa diukur dengan jelas. Perusahaan ini menerapkan sistem Performance Evaluation 360 Online. Di sistem ini, misalnya, Ihsan dinilai oleh bawahannya. Ada tujuh orang yang menilai Ihsan tanpa nama. Mereka menilai integritas, kreativitas, true leaders, dan kinerja perusahaan. Skor tersebut akan menjadi acuan kenaikan gaji Ihsan. “Itu uniknya kami di situ,” ungkapnya.

Cara unik lainnya dalam membangun engagement karyawan ialah hands on leadership, yaitu memimpin dari depan dan bersedia turun ke lapangan. Selain itu, pihaknya juga berkolaborasi alias tidak one way. “Kami juga terbuka terhadap hal-hal baru. Leadership style kami nurturing dan coaching. Ini yang unik,” katanya.

Setiap tahun, Ihsan sebagai CEO memberikan arahan kepada semuanya. Juga memimpin pertemuan bulanan, memonitor performance progress, serta melakukan coaching. “Saya dan direktur juga turun ke lapangan,” ungkapnya.

Upaya Savoria memberdayakan karyawan dimulai dari on boarding, Perusahaan ini memiliki buddy system. Secara paralel, karyawan baru akan ditemani buddy (sobat) selama satu tahun. Buddy bertugas mendampingi dan memberikan advice sehingga karyawan baru tidak merasa sendirian. Setelah itu, saat bekerja, karyawan dibimbing oleh atasan (coaching) dan melakukan evaluasi melalui Performance Evaluation 360 Online (memberikan umpan balik atau feedback) secara berkala.

Perusahaan ini memiliki standar operasional procedur (SOP) kerja yang terstruktur untuk memberikan informasi proses kerja. Selain itu, juga memiliki Key Performance Indicators (KPI) dan training. “Jika ada training teknis khusus, kami kirim ke lembaga lain,” ujarnya.

Ihsan pun percaya, karyawan harus memiliki sense of purpose dan sense of ownership di tempat kerja. Ini yang akan meningkatkan engagement.

“Lalu, saya ingin semuanya happy. Kita bisa kerja keras dan tetap happy,” katanya. Happy employee itu berdampak pada produktivitas karyawan.

Leader itu, menurut Ihsan, melayani (serving) dan harus bisa memimpin. “Leading is serving. Ini yang ingin saya terapkan di setiap tier,” ujarnya tandas. (*)

Anastasia AS dan Dede Suryadi

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved