Automotive

Permintaan Mobil Listrik Global Melesu, Apa Saja Dampaknya?

FILE: Tesla Model X dan Model S di dealer mobil listrik Tesla di Sydney, Australia. (REUTERS/Jason Reed)

Di saat banyak produsen mobil dan pemasok melakukan pertaruhan besar dalam investasi untuk masa depan mobil listrik, permintaan terhadap mobil listrik di dunia saat ini mengalami perlambatan. Kondisi ini membawa dampak yang signifikan, mulai dari membatalkan penawaran umum perdana, kebangkrutan, hingga pemangkasan produksi.

“Benar, laju pertumbuhan mobil listrik melambat, yang menciptakan sejumlah ketidakpastian. Kami akan memproduksi sesuai permintaan,” jelas CEO General Motors, Mary Barra, seperti dilansir Reuters pada Rabu (31/1/2024).

Sebelumnya, GM telah menurunkan target produksi mobil listrik karena adanya perlambatan permintaan. Akan tetapi, Barra mengungkapkan bahwa GM termotivasi oleh prediksi industri yang menyatakan bahwa penjualan mobil listrik di Amerika Serikat diperkirakan akan meningkat setidaknya 10 persen pada tahun ini dari sebelumnya 7 persen di 2023.

Situasi serupa juga dialami oleh sejumlah produsen mobil listrik lain, termasuk Ford. Seperti halnya GM, tingkat pertumbuhan yang lebih lamban dari perkiraan mendorong Ford untuk melakukan penurunan produksi mobil listrik.

Di sisi lain, Elon Musk selaku CEO Tesla turut menggarisbawahi perlambatan pertumbuhan penjualan mobil listrik di 2024. Bahkan beberapa hari lalu, saham Tesla kehilangan nilai pasar sekitar 80 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.261 triliun.

Menurut portfolio manager ACR Alpine Capital Research, Tim Piechowski, melambatnya pertumbuhan permintaan mobil listrik dipengaruhi oleh kecemasan konsumen akibat sejumlah keterbatasan terkait mobil listrik. Keterbatasan ini mencakup terbatasnya stasiun pengisian daya mobil listrik dan minimnya resiliensi baterai mobil listrik di suhu rendah.

“Kenyataannya adalah kurva pengadopsian (mobil listrik) akan melambat dan akan ada dorongan terhadap regulator mengenai penghematan bahan bakar,” terang Piechowski.

Per bulan ini, sejumlah perusahaan menarik kembali rencana-rencana mereka sebelumnya. Perusahaan Renault dari Prancis misalnya, membatalkan rencana mereka untuk melisting saham bisnis mobil listrik mereka, Ampere, karena kondisi pasar saham yang lesu.

Selain produsen mobil, melesunya permintaan terhadap mobil listrik juga turut mempengaruhi supplier atau pemasok. Pemasok CATL dari Cina contohnya, mengalami penurunan tajam pada pertumbuhan keuntungan mereka di 2023 bila dibandingkan tahun lalu.

Seperti diketahui, CATL merupakan produsen baterai mobil listrik terbesar di Cina. Meski begitu, mereka harus menghadapi sejumlah tantangan, seperti kehadiran pesaing-pesaing lain dan melambatnya permintaan baterai mobil listrik di Cina yang merupakan pasar mobil listrik terbesar di dunia.

Hal serupa juga diungkapkan oleh produsen baterai mobil listrik terbesar kedua di Cina, BYD. Perusahaan ini menyatakan bahwa pertumbuhan keuntungan mereka di 2023 lebih lambat bila dibandingkan 2022.

“Momentum mobil listrik global sedang macet. Pasar saat ini kelebihan pasokan dibandingkan permintaan,” ujar analis dari Morgan Stanley, Adam Jonas.

Jerman juga menjadi negara yang mengalami penurunan angka penjualan mobil listrik dan mobil hibrida. Penurunan ini mencapai 16 persen pada 2023 dan diprediksi akan kembali menurun sebanyak 9 persen pada tahun ini.

Terlepas dari itu, produksi mobil listrik di Jerman diprediksi akan mengalami peningkatan sebesar 19 persen pada 2024 menjadi 1,45 juta kendaraan. Banyak dari kendaraan tersebut yang dibuat untuk diekspor.

Sumber: Republika.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved