Trends

Jardiyanto Menikmati cuan dari Peci Batik

Jardianto, Pengusaha Peci Batik, di salah satu gerainya. (Foto; Gigin W. Utomo)

Di tangan orang kreatif, batik yang selama ini identik dengan busana, ternyata bisa diiaplikasikan dalam bentuk peci. Jardiyanto, sang kreator peci berbahan batik tersebut, kini telah menikmati cuan hasil dari kreativitasnya.

Jardiyanto yang berdomisili di dekat Masjid Jogokariyan kota Jogja, menamakan produknya dengan Peci Jogokariyan. Peci buatannya tersebut, kini telah memperkaya khasanan tren busana muslim.

Dalam tempo terbilang singkat, peci batik Jogokariyan telah menjadi trendsetter produk perpecian yang banyak digemari. Hal ini terlihat dari banyaknya pesanan yang terus mengalir baik lewat jalur offline maupun online.

Ketika memperkenalkan tahun 2016 silam, Jardiyanto yang dibantu 3 karyawan hanya mampu menjual belasan peci perhari. Maklum ia masih menjual secara konvensional lewat gerai di Masjid Jogokariyan.

Omset penjualannya mengalami lonjakan setelah ia mulai menggarap pasar online. Ia bekerjasama dengan rekanan yang khusus menggarap online. Selain lewat Instagram @pecibatikjogokariyan, Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Blibli, Lazada dan Biggo. Setiap unit dijual dengan harga rata-rata antara Rp 100.ribu– 200 ribu. “Harga tergantung motif dan bahannya,” jelas bapak dua anak ini.

Dari penjualan online tersebut, omsetnya mengalami lonjakan hingga ratusan unit perhari. Dan

Lewat marketing online tersebut, peci batik Jogokariyan sempat booming hingga menembus pasar berbagai kota di Indonesia. Bahkan banyak pesanan dari luar negeri. Menjelajah ke berbagai belahan dunia. “Kami sudah mengirim ke berbagai Negara, “ kata Jardiyanto kepada SWAOnline.

Bahkan sebelum Covid 19, Jardiyanto sempat mendapatkan pesanan satu kontiner untuk dikirim ke Malaysia. Untuk memproduksi peci sebanyak itu, ia harus mengerahkan pengrajin batik di Jogja dan Pekalongan, Jawa Tengah.

Peci batik Jogokariyan cepat dikenal setelah diperkenalkan para dai kondang yang sering berkumpul di Masjid Jogokariyan. Para dai kondang seperti Ustad Abdul Somad, Adi Hidayad, Maulana, Wijayanto, dll dengan suka rela bersedia menjadi endoser. “Mereka tidak mau dibayar karena tahu kami menyisihkan sebagian hasil penjualan untuk kas masjid dan bantuan sosial,” katanya.

Jardiyanto menjual produk peci batiknya, hanya digerai tertentu saja. Selain di rumah produksinya, dijual juga di outlet Masjid Jogokariyan, Si Bakul Malioboro Mall, dan Batik Hamzah. “Alhamdulillah saat ini, peci batik telah menjadi produk oleh-oleh khas Jogja,” jelas pria kelahiran Demak 49 tahun silam tersebut.

Jardiyanto, tentu saja, merasa bersyukur dengan keberhasilannya melahirkan produk peci berbahan batik. Ia berterus terang, ada perasaan bangga dengan hasil karyanya. Bukan karena keuntungan yang bersifat ekonomi semata. Tapi kepuasan bathin karena berhasil memberikan sumbangansih bagi kemajuan peradaban Islam,khususnya dalam perkembangan trend busana muslim.

Sekedar informasi bahwa peci merupakan produk budaya asli Indonesia yang sudah dikenal sejak jaman Walisongo sekitar abab ke 15 silam. Perkembangan peci di Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran Ir. Soekarno. Pada tahun 1921, sebagai tokoh nasionalis, menjadikan peci dan jas sebagai simbul identitas bangsa.

Berkat peran Bung Karno, Peci telah menjadi bagian dari budaya bangsa, yang dipakai pada acara resmi kenegaraan. Bukan lagi menjadi penanda bahwa penggunanya adalah seorang muslim.

Tak bisa dipungkiri bahwa peci tak terpisahkan dengan identitas seorang muslim. Sarung dan peci merupakan bagian tak terpisahkan saat seorang muslim menjalankan kewajiban sholat,maupun aktivitas ibadah lainnya.

Selama ini, nyaris tidak ada inovasi pengembangan model peci. Sepertinya masyarakat telah lama menunggu kehadiran peci model baru yang lebih modis dan stylist. Nyatanya ketika muncul Peci Batik yang diperkenalkan Yardiyanto, langsung mendapatkan respon yang sangat bagus. “Alhamdulillah sambutan masyarakat sangat bagus,” ucap Yardiyanto.

Yardiyanto mulai memperkenalkan peci batiknya sejak 2016 silam. Awalnya dia mengikuti pelatihan pembuatan batik yang diselenggarakan LPMK Jogokariyan. Dari 30 peserta pelatihan, dia cowok satu-satunya.

Sesuai pelatihan, para peserta diwajibkan membuat produk berbahan batik. Merela membentuk kelompok Truntum Batik, dan mendapatkan binaan dari Kantor Pembedayaan Perempuan Pemkot Jogja.”Saya mencoba membuat peci berbahan batik dan direspon positif dari pendamping, dari sinilah saya mulai memproduksi, “ ujarnya.

Lewat proses ratusan kali uji coba, akhirnya dia mendapatkan desain yang menarik. Awalnya hanya beberapa motif saja, yakni motif truntum, poleng, parang dan kawung. Dalam waktu cepat motifnya lebih berkembang menjadi 65 motif.

Kehadiran peci batik bisa dibilang fenomenal. Banyak yang merasa penasaran dan kemudian membeli. Promosi awalnya diperkenalkan langsung kepada jamaah masjid Jogokariyan. “Kami banyak dibantu promosi para ustadz yang sering hadir di Masjid Jogokariyan,”imbuhnya.

Untuk kebutuhan bahan baku peci batiknya, Jardiyanto menjalin kerjasama para pembatik yang ada di Bantul dan Pekalongan. Ia sengaja tidak membuat batik sendiri karena terkait dengan proses pengolahan limbah yang tidak mudah.

Dari peci batik, Jardiyanto mulai mengembangkan produk busana muslim lainnya, seperti mukena, celana, sarung, kemeja gamis yang juga berbahan batik yang fashionable. Modern dan styllist. “Kami sengaja menciptakan model yang terbatas agar terkesan exklusif,”ungkapnya.

Penambahan produk baru tersebut, ternyata direspon positif oleh konsumen. Hal ini terlihat dari banyaknya pesanan yang terus mengalir. Yang menjadi daya tarik, Jardiyanto melayani motif baru sesuai pesanan konsumen.. “Motif produk kami berkembang justru karena ide dari pelanggan,” ungkapnya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved