Book Review

Apakah Kemajuan Teknologi Perlu Dikendalikan?

Kemajuan teknologi merupakan hal yang tidak terelakkan di masa kini. Umat manusia tidak dapat lagi hidup secara layak tanpa ketergantungan pada berbagai teknologi yang semakin meningkat.

Judul Buku : Power and Progress: Our 1000-Year Struggle Over Technology and Properity

Pengarang : Daron Acemoglu & Simon Johnson

Penerbit : Public Affairs, New York

Cetakan : Pertama, Mei, 2023

Tebal : 560 halaman

Pertanyaan besar yang hendak dijawab oleh buku ini, apakah benar dalam kurun waktu 1.000 tahun terakhir ini, perkembangan teknologi telah membawa kemajuan berarti bagi sebagian besar umat manusia? Dan, bagaimana manusia mampu mengendalikan kemajuan teknologi di masa depan guna kepentingannya?

Dalam hal ini, perlu pembahasan tentang aspek kekuasaan (power) untuk mengendalikan perkembangan teknologi ini agar dapat menghasilkan kemajuan (progress) yang sesungguhnya bagi peradaban umat manusia. Teknologi telah berkembang dengan sangat cepat, hingga tidak begitu jelas lagi arah perkembangannya.

Maka, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk meninjau ulang arah perkembangan teknologi, agar umat manusia tidak terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan akibat arah perkembangan teknologi yang salah. Disadari, teknologi memiliki kemampuan besar untuk membawa umat manusia ke arah kemajuan atau kehancuran.

Teknologi yang dinikmati saat ini merupakan hasil dari pemikiran dan tindakan orang-orang cerdas dan berkuasa di masa lampau. Namun, orang-orang yang membuat keputusan besar tersebut sering tidak peka terhadap beragam penderitaan yang ditimbulkan atas nama kemajuan teknologi. Para pemegang kendali atas kemajuan teknologi ini sering tidak mempertanyakan apakah perubahan teknologi selalu merupakan kemajuan.

Mereka hanya menganggap bahwa semakin banyaknya teknologi yang berkembang merupakan jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi. Hasilnya seperti berulang kali terjadi di masa lampau, “kemajuan” yang terjadi saat ini kembali hanya memperkaya sekelompok kecil pengusaha dan investor, sedangkan sebagian besar masyarakat tidak berdaya atau hanya mendapat sedikit manfaat.

Kemajuan teknologi yang terjadi bukan membawa peningkatan produktivitas. Namun, justru redistribusi kekuasaan dan kemakmuran dari masyarakat biasa ke pihak yang lebih berkuasa saja.

Buku ini mengeksplorasi sifat dari pilihan ini, bukti historis dan kontemporer mengenai hubungan antara teknologi, upah, dan kesenjangan, serta apa yang dapat dilakukan untuk mengarahkan inovasi teknologi agar dapat mencapai kondisi terciptanya kemajuan dan kesejahteraan bersama. Dalam kenyataannya, banyak teknologi baru, seperti robot industri, telah mampu memperluas rangkaian tugas yang dilakukan oleh mesin dan mampu menggantikan pekerja yang dulunya dipekerjakan dalam tugas-tugas tersebut.

Otomatisasi meningkatkan produktivitas rata-rata, tapi tidak meningkatkan, dan bahkan mungkin mengurangi, produktivitas marginal pekerja. Robot industri, yang telah merevolusi manufaktur modern, hanya menghasilkan sedikit atau bahkan tidak ada manfaat sama sekali bagi pekerja jika tidak disertai dengan munculnya teknologi lain yang dapat menciptakan tugas dan peluang baru yang lebih banyak dan beragam bagi pekerja manusia.

Cara penggunaan teknologi selalu terkait dengan visi dan kepentingan pihak-pihak yang memegang kekuasaan. Mereka yang memiliki kekuasaan sosial mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengarahkan agenda. Semakin besar kekuasaan dan status yang dimiliki, semakin mudah menetapkan agenda bagi kepentingan mereka saja.

Mungkin tidak ada bukti yang lebih baik mengenai hal ini selain karya psikolog sosial Dacher Keltner. Dalam eksperimen selama dua dekade terakhir, Keltner dan kolaboratornya telah mengumpulkan sejumlah besar data bahwa semakin berkuasa seseorang, semakin besar kemungkinan mereka bertindak egois dan mengabaikan konsekuensi tindakan mereka terhadap orang lain. Teknologi baru semakin memihak kaum elite dan memperparah kesengsaraan rakyat kecil.

Jika dibiarkan sendiri, banyak manajer akan selalu mencoba mengurangi biaya tenaga kerja dengan membatasi kenaikan upah dan akan memprioritaskan otomatisasi, yang menghilangkan tenaga kerja dari beberapa tugas dan melemahkan daya tawar pekerja. Bias ini kemudian memengaruhi arah inovasi, mendorong teknologi semakin mengarah pada otomatisasi.

Otomatisasi juga menjadi pendorong utama ketimpangan karena sistem ini berkonsentrasi pada tugas-tugas yang biasanya dilakukan oleh pekerja berketerampilan rendah dan menengah di pabrik serta kantor. Seperti di Amerika Serikat, meskipun persaingan dari Tiongkok dan negara-negara berupah rendah lainnya telah mengurangi lapangan kerja manufaktur secara keseluruhan dan menekan pertumbuhan upah, sebenarnya arah perubahan teknologi yang menjadi pendorong utama terjadinya ketimpangan upah yang tinggi.

Teknologi telah meningkatkan kesenjangan, terutama karena pilihan yang diambil oleh perusahaan dan aktor berpengaruh lainnya. Mengganti pekerja dengan mesin dan algoritma menjadi hal yang dapat diterima, dan pengumpulan data dalam jumlah besar tentang manusia dianggap sebagai hal yang wajar dan dapat ditoleransi. Hal ini menjadi perhatian serius karena artificial intelligence (AI) sejauh ini telah menghasilkan lebih banyak otomatisasi, dengan manfaat peningkatan produktivitas yang sebenarnya terbatas.

Banyak tugas produktif yang dilakukan manusia merupakan campuran aktivitas rutin dan lebih kompleks yang melibatkan komunikasi sosial, pemecahan masalah, fleksibilitas, dan kreativitas. Di sebagian besar lingkungan kerja, kecerdasan situasional dan sosial memungkinkan tidak hanya adaptasi fleksibel terhadap keadaan tetapi juga komunikasi dengan pelanggan dan karyawan lain untuk meningkatkan kualitas layanan dan mengurangi kesalahan.

Karena itu, tidak mengherankan bahwa meskipun teknologi AI tersebar luas, banyak perusahaan semakin mencari pekerja dengan keterampilan sosial, dibandingkan keterampilan matematika atau teknis. Akar dari meningkatnya permintaan akan keterampilan sosial ialah kenyataan bahwa baik teknologi digital tradisional maupun AI tidak dapat melakukan tugas-tugas penting yang melibatkan interaksi sosial, adaptasi, fleksibilitas, dan komunikasi.

Pelajaran tentang kecerdasan dan kemampuan beradaptasi manusia ini sering diabaikan oleh komunitas AI, yang terburu-buru mengotomatisasi berbagai tugas, terlepas dari peran dan keterampilan manusia. Masyarakat kita sudah menjadi dua tingkat. Di atas ada para taipan besar, yang sangat yakin bahwa mereka memperoleh kekayaan karena kejeniusan mereka yang luar biasa. Di tingkat bawah, kita memiliki orang-orang biasa yang dianggap oleh para pemimpin teknologi sebagai orang yang rawan melakukan kesalahan dan siap digantikan.

Ketika AI memasuki lebih banyak aspek perekonomian modern, nampaknya semakin besar kemungkinan bahwa kedua tingkatan tersebut akan semakin terpisah jauh. Ketika alat-alat digital ini mulai digunakan, terutama untuk pengumpulan dan pemrosesan data secara besar-besaran, alat-alat tersebut menjadi alat yang ampuh di tangan penguasa, pemerintah, dan perusahaan yang tertarik pada pengawasan dan manipulasi.

Teknologi AI yang akan dikembangkan tidak harus fokus pada otomatisasi pekerjaan dan pemantauan karyawan di tempat kerja. Juga tidak harus dikembangkan untuk meningkatkan pemantauan perusahaan dan penguasa.

Ini adalah masalah pilihan ‒pilihan perusahaan teknologi, peneliti AI, dan pemerintah‒ yang membawa kita ke dalam situasi sulit saat ini. Kecuali jika arah teknologi digital diubah secara mendasar, kondisi yang terjadi ini akan terus memperparah kesenjangan dan meminggirkan sebagian besar angkatan kerja di seluruh dunia.

Permasalahan kita saat ini berakar pada besarnya kekuatan ekonomi, politik, dan sosial yang dimiliki korporasi, khususnya di industri teknologi. Kekuatan bisnis yang terkonsentrasi telah melemahkan kesejahteraan bersama karena membatasi pembagian keuntungan dari perubahan teknologi. Arah perkembangan teknologi yang ada telah bergerak secara berlebihan ke arah otomatisasi, pengawasan, pengumpulan data, dan periklanan.

Untuk mendapatkan kembali kemakmuran bersama, kita harus membalikkan arah teknologi yang demikian ini. Industri teknologi dan perusahaan besar saat ini secara politik lebih berpengaruh dibandingkan ratusan tahun terakhir. Meski banyak skandal, para raksasa teknologi tetap dihormati dan berpengaruh secara sosial, dan mereka jarang ditanyai tentang masa depan teknologi dan jenis “kemajuan” apa yang mereka terapkan pada masyarakat.

Untuk itu, pada saat ini perlu visi baru untuk perkembangan teknologi. Visi teknologi baru yang lebih inklusif hanya bisa muncul jika basis kekuatan sosial berubah. Hal ini memerlukan munculnya berbagai argumen tandingan dan organisasi-organisasi yang mampu bertahan terhadap kebijakan konvensional terkait dengan perkembangan teknologi.

Masyarakat harus mulai bergerak untuk menuntut teknologi yang berguna bagi masyarakat luas di masa depan, misalnya teknologi yang terkait dengan energi dan pemanasan global. Perdebatan mengenai teknologi baru harus berpusat tidak hanya pada kecemerlangan produk dan algoritma baru, tetapi juga pada apakah produk dan algoritma tersebut bermanfaat atau merugikan bagi sebagian besar masyarakat.

Teknologi bergantung pada visi, dan visi berakar pada kekuatan sosial, yang sebagian besar bertujuan untuk meyakinkan masyarakat dan pengambil keputusan mengenai manfaat dari jalur teknologi tertentu. Sebuah gerakan sosial untuk mengalihkan perubahan teknologi dari otomatisasi dan pengawasan tentu tidak akan terjadi begitu saja.

Perlu ada perubahan narasi besar terkait arah perkembangan teknologi. Ketika narasi berubah dan masyarakat menjadi terorganisasi, tekanan masyarakat dan insentif finansial akan kembali mengarahkan jalur perubahan teknologi yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat luas yang menjadi harapan kita bersama.

Eko Widodo

*) Peresensi adalah Staf Pengajar Program Studi Magister Administrasi Bisnis, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved