Companies

Bintang Baru Venture Capital

Di tengah rontoknya para unicorn, anak muda ini justru melesat. Tangan dinginnya memancing orang-orang kaya untuk bergabung. Bagaimana dia bisa meraih itu semua?

Joshua Kushner, pemilik Thrive Capital. Photo: Kai-Uwe Wärner/picture-alliance/dpa/AP

Panggung dunia startup tampaknya tengah terguncang. Kata “unicorn” beralih menjadi “unicorpses” dengan narasi suram penuh peringatan. Apa itu unicorpses?

Unicorpses adalah kata yang lahir dari perpaduan antara kemegahan unicorn dan kesunyian corpses, mayat. Ini adalah metafora bagi para bintang startup yang pernah begitu bercahaya, tapi kini jatuh berkeping keping, terbaring tak bernyawa. Startup-startup yang semula dipuja karena valuasi mereka yang melampaui angka miliaran dolar, secara tragis gagal mempertahankan momentum, menghadapi kebangkrutan, atau mengalami penyusutan nilai yang begitu drastis sehingga mereka kehilangan mahkota dan prestasi yang sebelumnya begitu dibangga-banggakan.

Fenomena ini bukan hanya sekadar perubahan istilah, melainkan simbol peralihan dramatis dari puncak kesuksesan ke jurang kegagalan, yang menggambarkan betapa sulitnya perusahaan rintisan menjaga pertumbuhan dan keberhasilan dalam jangka panjang.

Namun, tulisan ini tak membahas unicorpses, melainkan menyoroti di tengah riak guncangan ini, di tengah kehancuran mimpi dan investasi yang terkubur, muncul sosok pemuda yang tengah berdiri tegak penuh pujian. Namanya, Joshua Kushner. Siapa dia?

Joshua Kushner –akrab disapa Josh– adalah pengusaha dan investor asal Amerika Serikat yang tengah menjulang. Perusahaan investasinya, Thrive Capital, disebut-sebut merajai dunia modal ventura, mengalirkan investasinya ke sektor teknologi dan media.

Dilahirkan pada 12 Juni 1985, Josh tidak hanya menjadi saksi tetapi juga salah satu pengukir sejarah industri teknologi dan keuangan. Melalui tangan dinginnya, startup-startup, yang semula hanya berupa ide dan inovasi, bertransformasi menjadi raksasa industri, seperti Instagram, Slack, Robinhood, dan OpenAI.

Selain jejak langkahnya di Thrive Capital, Josh juga dikenang sebagai salah satu pendiri Oscar Health. Perusahaan ini, dengan latar belakang teknologi, membawa angin segar ke industri asuransi kesehatan dengan visi menyederhanakan dan memanusiakan aspek-aspek tertentu dari industri tersebut. Dengan menggunakan platform digital dan layanan pelanggan yang inovatif, Oscar Health menjadi bukti bahwa empati dan teknologi dapat berjalan bersama dalam menyediakan layanan kesehatan yang lebih baik.

Lulusan Harvard University untuk gelar sarjananya dan Harvard Business School untuk gelar MBA-nya ini telah menempa dirinya menjadi seorang visioner di era digital. Keahliannya dalam membangun dan mendukung bisnis, dipadu dengan kecerdasan strategis, menjadikannya salah satu sosok yang berpengaruh dalam industri venture capital dan teknologi.

Lebih dari satu dekade, Josh telah mengemban peran sebagai investor modal ventura dengan rendah hati tapi penuh dengan ketajaman analisis. Sebelum menginjak usia 40 tahun, kekayaannya sudah merajai puncak dunia, membuktikan bahwa visi jangka panjang dan komitmen terhadap inovasi merupakan kunci kesuksesan yang abadi. Dari benih modal yang awalnya hanya US$ 540 juta pada tahun 2011, Josh telah merawat dan menyiram Thrive hingga berkembang menjadi hutan yang rimbun, dengan valuasi US$ 5,3 miliar.

Bagaimana Josh bisa meraih itu semua?

Perjalanan Josh menuju puncak kesuksesan bukanlah sebuah lintasan yang ditempuh dengan langkah mudah atau cepat. Di setiap sudut tantangan, dia menelan pengalaman pahit, tapi dibalut dengan keberuntungan memiliki teman dan mentor yang dengan tulus membantunya menapaki jalan tersebut.

Salah satu sosok penting dalam perjalanan itu adalah Andy Golden, seorang veteran di dunia investasi yang menjadi Kepala Investasi Princeton. Dalam dunia di mana para manajer dana ventura dan ekuitas swasta berlomba-lomba mendapatkan perhatian dan dana dari universitas bergengsi untuk diinvestasikan sebagai mitra terbatas, Andy menemukan permata di tengah keramaian.

Pada sebuah acara happy hour di Cambridge, Massachusetts, tahun 2010, sosok Josh, yang berdiri sedikit terpisah dari kerumunan dan tenggelam dalam dunianya sendiri, menarik perhatian Andy. Dari sinilah hubungan mentor dan mentee antara mereka berdua bermula. Andy melihat lebih dari sekadar latar belakang mewah Josh; dia melihat tekad, kerja keras, dan potensi yang belum tergali.

Memang, Josh tidak dilahirkan dalam keadaan orang kebanyakan. Dia adalah anggota keluarga Charlie dan Seryl Kushner, salah satu nama top di dunia bisnis properti AS. Kisah keluarganya pun tak kalah mengesankan. Kakek-neneknya, Joseph dan Rae, merupakan penyintas holocaust. Mereka bertemu di Belarus, dalam sebuah koloni orang Yahudi yang melarikan diri dari kekejaman Nazi dan hidup dalam penyembunyian.

Pasangan itu, dengan harapan dan mimpi yang besar, berhasil mencapai AS pada 1943. Joseph, dengan keterampilannya, menjadi tukang kayu yang berhasil dan makmur. Charlie kemudian bergabung dalam usaha ayahnya di Kushner Companies pada awal 1980-an, mengembangkan bisnis tersebut menjadi jagoan real estate yang hingga hari ini masih berdiri kokoh, mengoperasikan ribuan apartemen, serta memiliki jutaan kaki persegi ruang ritel dan kantor sepanjang Pantai Timur AS.

Pertemuan antara Andy dan Josh terjadi di sebuah titik waktu yang kritis, saat Josh sedang mempersiapkan diri menyelesaikan pendidikan bisnisnya di Harvard dan merintis Thrive. Di luar itu, dia juga terlibat dalam dunia investasi sebagai angel investor di New York dan sempat mendirikan Vestu, startup gim sosial yang akhirnya tidak membuahkan hasil.

Dalam masa-masa awal yang penuh dengan perjuangan tersebut, Josh berusaha menggalang dana institusional pertamanya dengan target mencapai US$ 40 juta. Melihat potensi dan keberanian yang dimiliki Josh, Andy memutuskan untuk menanamkan investasi sebesar US$ 10 juta, sebuah angka yang bagi Andy merupakan investasi yang berharga untuk terjun ke dalam kancah startup New York serta kesempatan emas untuk membimbing Josh, yang dilihatnya memiliki potensi besar layaknya seorang putra.

“Andy, saya pikir dalam banyak hal, melihat lebih dalam diri saya daripada yang saya lihat sendiri.” Demikian sebuah pengakuan yang dilontarkan Josh, menunjukkan betapa berharganya dukungan dan kepercayaan yang diberikan Andy kepadanya.

Tak hanya Andy, pendukung lain yang tak kalah penting dalam perjalanan itu adalah Michael Ovitz, pendiri CAA, yang dikenal Josh melalui kakaknya, Jared Kushner. Ovitz, merasakan ikatan paternal yang kuat, tergerak untuk membimbing Josh.

Dengan semangat yang sama, Ovitz mengambil langkah-langkah untuk memperluas jaringan si anak muda, menghubungkannya dengan tokoh-tokoh penting seperti Marc Andreessen, membuka jalan bagi Josh untuk membangun jaringannya di Silicon Valley. Bahkan, dukungan keluarga pun tak ketinggalan, dengan Seryl dan Charlie Kushner, orang tua Josh, yang juga turut berinvestasi sekitar US$ 1 juta dalam dana pra-institusional Thrive yang berjumlah US$ 5 juta.

Kehadiran Andy seperti malaikat bagi Josh. Pada awal 2010-an dia menghadapi tantangan yang tak ringan. Tidak ada venture capital berpengalaman yang ingin bergabung dengan Thrive ketika memulai, juga kurangnya rekam jejak, membuat perusahaan sulit dijual. Jadi, Josh pun menerapkan pendekatan “rekrut teman-teman pintar Anda”. Dia pilih teman sekelas Harvard Chris Paik dan Will Gaybrick sebagai mitra awal. Setelah itu, mereka pun berinvestasi di sejumlah perusahaan rintisan.

Kendati dalam kondisi terbatas, kehebatan Josh telah tampak. Mereka menginjeksi aplikasi pengiriman pesan teks GroupMe, yang setahun kemudian diakuisisi oleh Skype. Setelah itu, masuk ke perusahaan kacamata e-commerce, Warby Parker, yang kemudian go public dengan valuasi hampir US$ 7 miliar. Juga masuk ke Twitch, startup gim, yang akhirnya dibeli Amazon hampir US$ 1 miliar.

Kantor pusat Thrive Capital (sumber Wikipedia).

Namun, tak semua taruhan Thrive di tahun 2010-an berhasil. Mereka berinvestasi di e-retailer Fab dan startup Juicers, yang gagal.

Kedatangan Andy dan Ovitz tidak langsung menempatkan Thrive dalam sorotan perhitungan. Di sebuah pagi di musim panas tahun 2014, Josh merencanakan perjalanan keretanya menuju Connecticut. Dia telah menyiapkan pertemuan bersama David Swensen, seorang kepala investasi Universitas Yale.

Namun, saat dia bersiap untuk berangkat, dering telepon menghentikan langkahnya; dari kantor Swensen, sebuah panggilan untuk membatalkan pertemuan itu terdengar. Josh menanyakan, apakah pembatalan ini terkait dengan sang ayah. Jawabannya adalah “ya”.

Swensen memilih tidak berjumpa dengan anak Charlie Kushner. Ini merupakan tamparan yang bukan hanya terasa menyakitkan, tetapi juga terasa keliru. Sudah nyaris satu dekade sejak Charlie mendekam di penjara. Josh telah memberikan pengampunan kepada ayahnya: dia percaya bahwa ayahnya telah mengakui perbuatannya dan telah menjalani hukumannya.

Beberapa jam setelah kejadian tersebut, Josh terduduk di meja kerjanya, mengetik sebuah surat elektonik (surel), “Saya tidak merasa malu akan ayah saya sedikit pun,” demikian tulisannya, sebagaimana disaksikan oleh beberapa orang yang membaca pesan tersebut. “Setiap orang pernah berbuat salah, dan saya mencintai ayah saya. Saya hanya memiliki satu ayah. Namun, saya bukanlah dia, dan saya merasa kesulitan untuk memahami bagaimana sebuah peristiwa yang terjadi ketika saya berumur 19 tahun –yang bukan merupakan tanggung jawab saya– masih dapat berdampak terhadap saya. Saya menghormati keputusan Anda untuk tidak berinvestasi.”

Tunggu... ada apa dengan Charlie Kushner?

Dalam rangkaian hidupnya, Charlie pernah dipenjara karena serangkaian kejahatan, termasuk penggelapan pajak, kontribusi kampanye ilegal, dan saksi menghalangi. Pada tahun 2004, dia mengaku bersalah atas 18 tuduhan, termasuk penggelapan pajak federal, kontribusi kampanye politik ilegal yang dibuat atas nama karyawan tanpa persetujuan mereka.

Charlie dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan dibebaskan pada tahun 2006. Kasus ini menarik perhatian media besar dan menimbulkan diskusi luas tentang etika bisnis dan politik.

Tak lama setelah surel tiba, Swensen segera membalas pesan Josh: Dia akan mengemudi ke kota untuk bertemu dengannya. Tak lama setelah itu, Yale berinvestasi di Thrive. Swensen meninggal pada tahun 2021, tetapi Yale tetap menjadi salah satu LP (Limited Partner) Thrive.

Di bawah kepemimpinan Josh, Thrive perlahan tapi dengan kepastian, mengukir jalannya menuju pertumbuhan. Langkah-langkah investasi yang dipilih dengan bijaksana menjadi kunci dari ekspansi ini. Dan, semua ini tak terlepas dari pendekatan demokratis yang ditanamkan Josh dalam kultur perusahaan.

Dalam ekosistem Thrive, terdapat tradisi diadakannya dua pertemuan mingguan untuk mengalirkan kesepakatan, tempat di mana para mitra dengan penuh semangat berdiskusi mengenai berbagai peluang investasi pada perusahaan rintisan, sambil menimbang-nimbang apakah mereka akan mengucurkan dana, atau tidak.

Dalam proses ini, jika suara mayoritas tidak mendukung, kesepakatan tidak akan terlaksana. Bahkan, suara Josh sendiri pun dapat terguling dalam keputusan tersebut.

“Kami mungkin tidak selalu membuat keputusan yang tepat setiap kali kami menghadapi sebuah investasi, tetapi kami dapat memastikan melakukan percakapan yang tepat,” kata Josh. “Kunci dari percakapan yang tepat adalah keberadaan sekelompok individu yang tepat, yang merasa bahwa mereka memiliki suara dan kekuatan.”

Analisis data menjadi fondasi krusial dalam pengambilan keputusan di Thrive. Dua tahun yang lalu, mereka merekrut Anuj Mehndiratta, seorang ahli analitik dari Blackstone. Bersama timnya yang terdiri dari enam orang, Mehndiratta menciptakan sistem operasi buat perusahaan, sebuah platform yang memungkinkan setiap orang di Thrive untuk mengakses gambaran mendetail tentang metrik kinerja dari perusahaan-perusahaan dalam portofolio mereka, termasuk data yang tidak tersedia untuk publik.

Wawasan yang diperoleh dari sistem ini memampukan Thrive untuk menentukan dukungan pada kesepakatan tertentu, seperti investasi pada OpenAI, di mana Josh dapat langsung melihat pertumbuhan penggunaan dan pendapatan dari startup tersebut melalui dashboard-nya.

Di atas itu semua, dedikasi tanpa henti masih menjadi prinsip utama Josh. “Pekerjaan merupakan kehidupan,” demikian katanya, seperti dikutip Fortune, Desember 2023. Karlie Kloss, sang istri, dalam kenangan awal hubungan mereka merasa terkejut menemukan Josh di kantor pada suatu malam pukul 23.00. Karlie tidak bisa percaya bahwa kekasih barunya masih tenggelam dalam pekerjaan. Di sana, Josh bersama timnya tengah asyik bekerja keras.

Namun, ini tak mengherankan. Bahkan, waktu istirahat yang langka bagi karyawan Thrive hanya terjadi pada Jumat malam hingga Sabtu, ketika Josh memilih untuk “mematikan” diri dari pekerjaan demi menghormati hari Sabat.

Totalitas itu berbuah manis. Thrive berkembang mengesankan, reputasinya menari tinggi di angkasa. Di awal 2023, ketika OpenAI mencari suntikan dana setelah ChatGPT menyalakan bara inovasi AI lintas sektor, Josh ibarat menjadi dermaga pertama yang disinggahi Sam Altman. Thrive berdiri di garis terdepan, mengalirkan investasi ke OpenAI senilai hampir US$ 130 juta dengan valuasi US$ 29 miliar.

Orang-orang berpundi harta pun menitipkan kepercayaan pada Josh untuk membeli saham Thrive. Di awal 2023, Josh melepas 3,3% saham Thrive ke tangan beberapa mogul, termasuk Bob Iger (CEO Disney) dan pendiri KKR, Henry Kravis (New York Post, 25 Januari 2023). Transaksi ini menjadikan Thrive bernilai US$ 5,3 miliar, sekaligus mengukuhkan jati diri Josh sebagai miliarder yang masih memegang 96,7% saham Thrive.

Yang menarik, meski dikelilingi kemewahan dan menjadi bintang, Josh meredam diri dalam kesederhanaan, ketenangan, dan low profile. Adik Jared Kushner, menantu dan penasihat senior mantan Presiden AS Donald Trump, ini lebih memilih untuk mengarungi lautan bisnis dan investasi, cenderung menjaga jarak dari keterlibatan politik keluarganya.

Namun, tindakan itu tampaknya memang yang seharusnya diambil. Terutama ketika dunia modal ventura berada dalam keadaan linglung, dihantui gelombang unicorpses yang merenggut harapan dan menenggelamkan investasi mereka ke dalam jurang kegagalan.

Josh, dengan kerendahan hatinya, merenungi fenomena ini. Dia mengakui ketidakpastian yang membayangi masa depan industri, mengungkapkan kegamangannya terhadap apa yang akan terbentang di depan. Namun, di tengah ketidakpastian itu, dia tetap berkomitmen untuk bertahan, menjaga agar bahtera yang dia kemudikan tetap mengarungi lautan tantangan.

“Saya berharap tempat ini bisa bertahan sepanjang masa, dan saya ingin itu meraih versi puncaknya dalam dunia venture capital,” ucap Josh dengan nada penuh tekad. “Dan saya bersedia melakukan apa saja yang diperlukan untuk mewujudkannya.” (*)

Teguh Sri Pambudi


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved