Column

Ramadan dalam Perspektif Cinta

Ramadan dalam Perspektif Cinta
Ilustrasi Ramadan (pixabay)

Melihat Ramadan dalam perspektif cinta akan menghasilkan pemahaman yang menarik dan berbeda. Selama ini Ramadan –juga berbagai bentuk peribadatan yang lain– senantiasa dilihat dari sudut pandang reward and punishment, pahala dan dosa, surga dan neraka.

Dari sudut pandang itu, ada dua alasan mengapa kita berpuasa. Alasan pertama, takut berdosa, takut masuk neraka. Alasan ini memang tidak salah, tetapi melakukan sesuatu karena alasan takut sesungguhnya adalah bentuk motivasi yang terendah.

Orang yang takut sesungguhnya tidak ingin melakukan apa yang ia lakukan. Ia melakukannya hanya agar tidak terkena hukuman. Jadi, hampir bisa dipastikan, kalau hukumannya dihapus, ia tidak akan melakukan hal itu. Di sini yang ada hanyalah keterpaksaan, dan tentu saja jauh dari keikhlasan.

Alasan kedua orang berpuasa ialah menginginkan pahala. Alasan ini jauh lebih baik daripada yang pertama karena dorongan untuk melakukannya ada sepenuhnya di dalam diri. Jadi, di sini sudah tidak ada keterpaksaan. Saya melakukan sesuatu karena saya mau. Ini tentu saja akan menghasilkan kesuksesan dan pencapaian yang setinggi-tingginya.

Apalagi, di bulan Ramadan, ada banyak “insentif” dari Tuhan bagi orang yang beribadah. Salah satunya, malam Lailatul Qadr yang bernilai lebih dari 1.000 bulan. Insentif ini tentunya baik-baik saja, tapi yang menjadi pertanyaan, bila insentif ini ditiadakan, bila orang yang berpuasa tidak lagi mendapatkan pahala dari Tuhan, apakah kita tetap akan berpuasa?

Karena itu, ada alasan ketiga yang jauh lebih baik daripada kedua alasan di atas. Alasan ketiga ini juga membuat kita melakukan tindakan secara independen, kita sudah melepaskan ketergantungan kita pada reward. Kita melakukan sesuatu bukan karena pahala, tetapi karena sesuatu yang jauh lebih indah. Kita melakukan puasa karena cinta. Cinta kepada siapa? Tentu saja, kepada Sang Khalik.

Rabiah Al Adawiyah, salah seorang sufi wanita yang paling berpengaruh, mengatakan, “Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena berharap surga-Mu, tutuplah pintu surga dariku. Namun, jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, janganlah Engkau palingkan keindahan wajah-Mu dari diriku.”

* * *

Perspektif cinta berbeda dari semua perspektif yang ada. Cinta itu tidak transaksional, cinta tidak bicara imbalan dan hukuman. Cinta juga tidak bicara pahala dan dosa, karena cinta itu hanya memberi, tak pernah menghukum.

Ketika bicara cinta, yang ada hanyalah jauh dan dekat. Ketika berjauhan, kita akan merasa tersiksa karena menanggung rindu. Ketika berdekatan, kita akan merasakan keindahan dan surga.

Itulah sebabnya, cinta tidak membutuhkan hukuman dan imbalan yang bersifat ekstrinsik, karena hukuman dan imbalan itu akan tercipta dengan sendirinya secara intrinsik. Dalam bahasa cinta, dekat sudah berarti imbalan dan jauh telah dengan sendirinya menjadi hukuman. Dekat dan jauh, kebersatuan dan perpisahan, inilah yang menjadi kosa kata dan bahasa cinta.

Inti cinta adalah kebersatuan dan sesungguhnya itulah yang menjadi tujuan utama ibadah puasa: Menghapus semua batas antara kita dan Tuhan melalui upaya pembersihan secara fisik, emosi, dan spiritual.

Dalam cinta, kenikmatan tertinggi adalah ketika kita bisa bersatu dengan yang kita cintai. Dan, dalam konteks Ramadan, kenikmatan tertinggi adalah ketika kita sebagai makhluk bisa berdekatan dan bersatu dengan Sang Pemberi Cinta, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa.

Itulah sesungguhnya juga yang merupakan perjuangan kita sepanjang hidup. Kita berasal dari Tuhan dan suatu ketika kita akan kembali ke dalam pelukan-Nya. Inilah yang menjadi dambaan setiap makhluk. Namun, ini bukanlah sesuatu yang mudah. Bagaimana mungkin makhluk yang penuh dosa ini menciptakan kebersatuan dengan Zat Yang Maha Suci?

Inilah pentingnya ibadah Ramadan. Puasa sesungguhnya adalah cara kita untuk “menyamakan frekuensi” dengan Tuhan Yang Suci. Untuk bisa mencapai kebersatuan dengan Tuhan, semua penghalang harus dihancurkan, dikikis, bahkan dibakar.

Ramadan sendiri berarti pembakaran. Kita membakar segala sesuatu yang menghalangi kebersatuan kita dengan Tuhan: dosa, kesalahan, ego, nafsu, dan keinginan.

Betapa indahnya melihat Ramadan dari perspektif cinta. Dengan perspektif ini, puasa bukan sekadar menjadi kewajiban dan keharusan, tetapi menjadi kenikmatan yang selalu kita cari dan rindukan. Dalam konteks ini, rasa lapar dan dahaga tidak lagi menjadi penderitaan, tetapi menjadi sumber kenikmatan dan bukti kecintaan kita kepada Tuhan.

Bahkan, semakin besar lapar dan dahaga, semakin besar pula cinta kita kepada Sang Maha Besar. Cinta telah mengubah penderitaan menjadi kenikmatan. Bahkan, berkorban untuk yang kita cintai tidak kita maknai sebagai berkorban, tetapi sebagai perwujudan dan hakikat dari cinta itu sendiri.

Keindahan tertinggi dari cinta adalah ketika kita bisa berjumpa dan bersatu dengan sosok yang begitu kita rindukan. Inilah yang akan terjadi ketika seorang hamba masuk ke dalam surga-Nya. Dan, bukankah kenikmatan tertinggi di surga itu adalah ketika kita bisa menatap wajah Tuhan Yang Maha Indah?

Karena itu pulalah, jauh-jauh hari Tuhan yang sangat mencintai kita sudah menyampaikan “undangan”-Nya kepada kita untuk berjumpa dengan-Nya di suatu hari nanti. Simaklah apa yang Ia sampaikan dengan begitu indah, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan di-ridhoi-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah engkau ke dalam surga Ku.” (*)

Arvan Pradiansyah

Motivator Nasional – Leadership & Happiness


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved