My Article

Mendadak Hedon dan Konsumtif di Lebaran

Oleh Admin
Mendadak Hedon dan Konsumtif di Lebaran
Dr. Dita Amanah, MBA, Dosen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia

“Hedon” berasal dari kata Yunani "hedone", yang berarti "kesenangan" atau "kegembiraan". Dalam penggunaan modern, "hedon" mengacu pada pengejaran atau pengabdian terhadap kesenangan sebagai cara hidup. Hedonisme adalah konsep filosofis yang menjunjung tinggi memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan rasa sakit atau ketidaknyamanan. Hal ini menunjukkan bahwa kesenangan, dalam berbagai bentuknya, adalah tujuan akhir keberadaan manusia. Namun, terdapat penafsiran hedonisme yang berbeda-beda, mulai dari teori etika yang menganjurkan pencarian kesenangan dalam jumlah sedang hingga bentuk yang lebih ekstrem yang mengutamakan kepuasan langsung tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.

Dalam pemasaran, istilah "konsumtif" biasanya mengacu pada perilaku atau karakteristik yang berkaitan dengan pola konsumsi barang atau jasa oleh individu atau kelompok. Ini mencakup bagaimana konsumen berinteraksi dengan produk, membuat keputusan pembelian, dan memanfaatkan atau mengkonsumsi produk yang mereka peroleh.

Menjelang berakhirnya bulan suci Ramadhan, Indonesia, negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, mengalami transformasi yang luar biasa. Jalanan yang tadinya sepi pada siang hari kini menjadi ramai dengan aktivitas hingga malam hari. Pergeseran ini bukan hanya tentang berakhirnya puasa; Hal ini merupakan manifestasi dari hedonisme yang terjadi secara tiba-tiba, sebuah fenomena di mana kesenangan dan konsumsi meningkat menjelang Idul Fitri.

Idul Fitri adalah perayaan yang menandai berakhirnya bulan Ramadhan sekaligus refleksi bagi umat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, festival ini membawa makna budaya yang mendalam, yang mewujudkan tema keluarga, komunitas, dan kemurahan hati. Ini adalah waktu bagi orang-orang terkasih untuk bersatu, mendamaikan perbedaan, dan mencari pengampunan.

Namun, di balik permukaan pembaruan spiritual terdapat kekuatan yang mendorong: daya tarik konsumsi dan hedonisme. Menjelang Idul Fitri, kota-kota di Indonesia berubah menjadi pusat aktivitas yang dinamis, dengan pasar yang dipenuhi barang-barang, toko-toko yang dihiasi dengan dekorasi meriah, dan jalan-jalan yang penuh dengan kegembiraan. Bagi banyak orang, Idul Fitri tidak hanya mewakili hari raya keagamaan tetapi juga kesempatan untuk menikmati kesenangan materi.

Minggu-minggu sebelum Idul Fitri, kita menyaksikan hiruk pikuk belanja yang tidak seperti waktu-waktu lainnya sepanjang tahun. Masyarakat Indonesia mulai mencari pakaian, aksesoris, dan hadiah baru untuk orang yang mereka cintai. Pasar dan mal dipenuhi pembeli yang mencari pakaian sempurna untuk salat Idul Fitri dan acara kumpul-kumpul lainnya. Suasananya menggemparkan, ketika para vendor bersaing untuk mendapatkan perhatian pelanggan dengan tampilan menarik dan penawaran promosi.

Inti dari perayaan Idul Fitri adalah pesta yang dikenal sebagai "lebaran" dalam bahasa Indonesia. Keluarga berkumpul untuk menikmati beragam kuliner, mulai dari hidangan tradisional hingga hidangan modern. Sajian daging lezat, hidangan nasi aromatik, dan makanan penutup lezat menghiasi meja makan. Saatnya menikmati kenikmatan kuliner dan kekayaan cita rasa masakan Indonesia.

Dalam beberapa tahun terakhir, kebangkitan media sosial telah memperkuat budaya konsumsi saat Idul Fitri. Platform seperti Instagram dan TikTok berfungsi sebagai panggung virtual bagi individu untuk memamerkan persiapan Idul Fitri, mulai dari belanjaan hingga kreasi kuliner. Influencer dan selebritas menentukan tren dengan pakaian Idul Fitri mereka yang glamor dan perayaan yang mewah, sehingga memicu keinginan untuk ditiru di antara para pengikut mereka.

Lonjakan konsumsi saat lebaran membawa implikasi ekonomi yang signifikan. Pengecer, baik online maupun offline, mengalami lonjakan penjualan karena konsumen melonggarkan dompet mereka untuk mempersiapkan perayaan tersebut. Permintaan terhadap barang dan jasa menciptakan lapangan kerja dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi, sehingga berkontribusi pada sektor ritel Indonesia yang dinamis.

Di tengah kemeriahan dan kelimpahan, penting untuk merenungkan makna Idul Fitri yang lebih dalam. Di luar hiasan materi, Idul Fitri juga berfungsi sebagai pengingat akan nilai-nilai syukur, kasih sayang, dan kemurahan hati. Ini adalah waktu untuk menjangkau mereka yang kurang beruntung, berbagi berkah dengan orang lain, dan memupuk rasa persatuan dalam komunitas.

Namun perayaan hedonisme mendadak saat Idul Fitri bukannya tanpa tantangan dan kontradiksi. Meskipun sikap memanjakan memang dianjurkan, sikap berlebihan dapat menyebabkan masalah seperti tekanan finansial, degradasi lingkungan, dan kesenjangan sosial. Selain itu, penekanan pada materialisme dapat menutupi esensi spiritual dari hari raya tersebut, sehingga melemahkan signifikansinya.

Di Indonesia, Idul Fitri merupakan masa yang penuh kontras, dimana spiritualitas berpadu dengan konsumerisme, dan tradisi berpadu dengan modernitas. Daya tarik hedonisme yang terjadi secara tiba-tiba saat Idul Fitri merupakan bukti sifat masyarakat Indonesia yang memiliki banyak aspek, dimana agama, budaya, dan perdagangan menyatu dalam rangkaian perayaan yang penuh warna. Saat masyarakat Indonesia menyambut perayaan ini dengan penuh semangat, mereka diingatkan untuk menghargai momen kebersamaan, menerapkan konsumsi secukupnya, dan menumbuhkan semangat bersyukur yang melampaui kekayaan materi.

Tidak perlu bersikap hedonis atau konsumtif berlebihan saat lebaran. Meskipun perayaan Idul Fitri sering kali melibatkan pemanjaan makanan, pakaian, dan perayaan, inti dari hari raya ini terletak pada refleksi spiritual, rasa syukur, dan komunitas. Penekanannya harus pada membina hubungan dengan keluarga dan teman, menunjukkan kemurahan hati terhadap orang lain, dan memperdalam keimanan.

Islam mengajarkan keseimbangan, dan ini berlaku untuk semua aspek kehidupan, termasuk perayaan. Meskipun menikmati makanan khusus, mengenakan pakaian baru, dan berpartisipasi dalam pertemuan yang menyenangkan adalah hal yang wajar, penting untuk melakukannya dengan cara yang seimbang, tanpa berlebihan.

Pada akhirnya, Idul Fitri adalah waktu untuk merayakan dan mengungkapkan rasa syukur atas berkah, namun sama pentingnya untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip keseimbangan, kewaspadaan, dan tanggung jawab sosial. Dengan menganut nilai-nilai ini, individu dapat merasakan perayaan Idul Fitri yang lebih bermakna dan memuaskan.

Penulis: Dr. Dita Amanah, MBA, Dosen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved