Kinerja Manufaktur Nasional Cenderung Menurun, Pengusaha Usulkan Solusinya

Industri manufaktur lokal terpukul akibat serbuan barang impor dan kondisi global. (Foto : Dok)

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM mencermati sektor manufaktur Indonesia mengalami penurunan pada rentang tahun 2014-2020. Rata-rata pangsa manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya mencapai 39,12% pada periode tersebut. LPEM menilai kondisi ini sebagai tanda-tanda deindustrialisasi dini, yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5%.

Menurunnya kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB ini berdampak pada berbagai industri, termasuk alas kaki, tekstil, dan ban, yang harus menutup sejumlah pabrik akibat kinerja yang terus merosot sejak pandemi. Ditambah lagi, industri manufaktur dalam negeri saat ini juga tengah tertekan akibat banjirnya produk impor dari negara lain.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Bobby Gafur Umar, mengungkapkan industri padat karya yang mengandalkan ekspor seperti alas kaki dan furnitur mengalami tekanan berat. "Market global sedang berkontraksi panjang, dengan perang Israel-Palestina dan Rusia-Ukraina yang belum selesai, serta suku bunga The Fed yang tinggi," kata Bobby di Jakarta,baru-baru ini Rabu.

Akibatnya, permintaan pasar ekspor menurun drastis, berdampak negatif pada kinerja industri domestik. Sebagai contoh, Bobby menjelaskan produk keramik dari China tidak bisa masuk ke Amerika Serikat karena tarif bea masuk yang tinggi, sehingga Amerika Serikat mengimpornya dari India. Situasi ini menambah tekanan pada industri keramik Indonesia, yang meski mendapatkan perlindungan dari kebijakan anti dumping Kadin, tetap harus bersaing dengan produk impor yang membanjiri pasar domestik.

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan peraturan untuk mendukung industri dalam negeri. Beleid tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang kemudian direvisi menjadi Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Belakangan, Permendag No. 8 mendapat banyak kritikan dari pelaku usaha dan menilai Permendag No. 36 merupakan yang aturan paling ideal bagi industri dalam negeri.

"Sekarang pasar domestik masih bagus tumbuh 5 persen, tahun lalu. Dan semester pertama meskipun ritel terkena, tapi industri kita secara umum 16 persen pendukung PDB," kata Bobby.

Namun, Bobby menyoroti adanya ketidaksiapan antar lembaga pemerintah yang mengakibatkan banyak kontainer tertahan dan satgas impor yang tidak efektif. Menurutnya, kalau industri nasional sampai terkena serbuan impor, tentu ada efek yang besar pada pertumbuhan ekonomi secara makro.

"Pemerintah harus menyadari bahwa industri strategis seperti petrokimia dan tekstil perlu dilindungi dengan kebijakan yang jelas dan koordinasi antar lembaga yang baik. Kita harus melindungi pasar dalam negeri dengan kebijakan yang mendukung ekosistem industri dari rantai pasok hingga kebijakan teknis," tegas Bobby.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita, mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk memberlakukan kembali Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.36/2023. Peraturan tersebut sejatinya telah digantikan dengan Permendag 8/2024, namun malah membuat pelaku industri dalam negeri kelabakan menghadapi serbuan barang-barang impor.

Menurut pandangan Menperin, Permendag No. 36 itu merupakan yang paling ideal. “Permendag 36 ini dalamnya ada Pertimbangan Teknis (Pertek) yang mengatur lalu lintas untuk mengontrol barang-barang impor dalam rangka melindungi industri dalam negeri,” jelas Agus saat memberikan sambutan di acara peluncuran Peraturan Pemerintahan No.20 Tahun 2024. (*)

# Tag