My Article

Yang Muda, Yang Strategik

M. Taufiq Amir

Microsoft belum lama ini mendapuk Mustafa Sulayman menjadi CEO Microsoft AI, divisi untuk produk-produk berbasis Artiicial Intelligence (AI). Ini mengukuhkan keinginan perusahaan bernilai USD 3T ini, menjadi perusahaan pemimpin teknologi AI. Sejak 2018, Satya Nadella, CEO Microsoft sudah mencanangkan AI, selain cloud, komputer kuantum, dan mixed reality, sebagai pilar utama bisnis Microsoft.

Niat untuk untuk lebih mendemokratisasikan AI terus direalisasikan, dengan semakin banyaknya produk berbasis AI seperti Copilot+PCs. Tapi, mengapa harus Sulayman, bukan veteran dari Microsoft sendiri? Sulayman masih relatif muda, yakni 39 tahun. Sementara AI adalah teknologi yang sangat strategis untuk Microsoft AI.

Walau relatif muda, Sulayman termasuk pionir dalam bidang AI, terutama aspek bisnisnya. Ia bahkan baru berusia 26 tahun, saat bersama Demis Hassabis mendirikan perusahaan AI Deep Mind 2010. Riset dan pengembangan perusahaan ini cukup maju, hingga diakuisisi Google tahun 2014.

Tahun 2022, setelah keluar dari Deep Mind, Sulayman membangun perusahaan Infection AI, yang investor utamanya adalah Microsoft. Kini ia dianggap siap memimpin Microsoft AI, menyongsong pertumbuhan dan memperbarui Microsoft dengan AI sebagai pendorong utama berbagai produknya.

Seperti Sulayman, Sam Altman, tokoh pionir AI lainnya, juga tak kalah muda. Ia baru berusia 34 tahun waktu ia menjadi CEO openAI di tahun 2019. Dalam waktu singkat, keterampilan atau wawasan yang dimilikinya mampu memberikan dampak pada bisnis-bisnis berbasis AI. Semuda itu, kini Sam Altman mengelola OpenAI yang bernilai USD 86 M, dan berpotensi untuk tumbuh terus. Begitulah, muda belia, tapi memiliki kapasitas mengelola yang tinggi.

Gejala hadirnya pemimpin muda usia, juga bisa dilihat di ranah kepemimpinan publik. Masih ingat dengan Gabriel Atta, yang awal 2024 lalu mencuri perhatian dunia, saat ia diangkat jadi Perdana Menteri Perancis? Usianya baru 34 tahun kala itu. Bahkan sebelumnya ada Sanna Marin, Perdana Menteri Finlandia, yang mulai menjabat pada tahun 2019 juga berusia 34 tahun.

Semakin hari, pemimpin muda semakin diyakini mampu mengurus sesuatu yang besar, menyeluruh; yang strategik. Bagaimana mereka bisa diandalkan? Apa yang menyebabkan, mereka yang relatif muda kini dapat bersanding dengan yang lebih senior, dan dianggap mampu menciptakan nilai lebih?

Terpapar Kebaruan

Salah satu penjelasan, mengapa pemimpin muda berpotensi untuk diandalkan, karena kita terpapar berbagai ranah pengetahuan baru, dimana orang yang memahaminya relatif sedikit. Teknologi AI misalnya, bidang mencuat dalam 3-5 tahun terakhir, tapi bidang ini masih akan terus berkembang.

Dalam satu kesempatan, Sulayman menyebutkan teknologi AI yang kita hadapi sekarang adalah “inflection point in the history of humanity”. Inflection point menggambarkan perkembangan yang berlipat ganda, atau cenderung “eksponensial”. Bahkan, Implikasi dan arah perkembangannya dalam berbagai hal menjadi sulit diduga.

Contoh lain yang berimplikasi luas adalah soal keberlanjutan, seperti terkait dekarbonisasi untuk mengatasi krisis iklim. Meskipun istilah “triple bottom line” telah 30 tahun berkumandang, tapi teknologi baru untuk berpacu dengan penanganan masalah iklim berkembang pesat. “Cleantech”, begitu ia sering disebut, melesat eksponensial dalam hal energi terbarukan, pasokan listrik, dan daya simpan baterai.

Di ranah ini, yang tua dan muda bisa jadi berada di “level-playing field” yang sama untuk belajar dan menguasainya. Senioritas yang dihubungkan dengan usia atau pengalaman bisa menjadi kurang relevan, atau setidaknya menjadi sejajar dengan yang lebih muda, dan faktor penentunya lebih kepada kegesitan dalam belajar.

Pikiran strategik selalu melibatkan arah sekaligus bersifat kompleks. Kita membahas sesuatu yang bersifat potensial, dan belum sepenuhnya kita pahami. Karena itulah, kadang, pengalaman menjadi kurang relevan. Wawasan kita ke depan, ada kalanya lebih penting ketimbang pengalaman di belakang.

Pengalaman adakalanya menjadi beban, dan studi di ranah inovasi malah mengusulkan kita melupakannya; unlearn - merelakan “best practice” yang kita kuasai. Mental model yang kita miliki, justru akan membatasi potensi yang dimiliki pikiran strategis kita, dan ini bisa terjadi bila itu dimiliki oleh para veteran.

Pentingnya Imajinasi

Karena melibatkan situasi yang kompleks, dan hubungan antar aspek belum tentu kita pahami, imajinasi menjadi penting. Mereka yang senior, kerap dianggap lebih kaku, stagnan, dan agak enggan melihat dengan cara baru. Organisasi perlu pimpinan yang lebih rileks mendefinisikan ulang apa yang dihadapinya, dan mungkin menuntut dia berdaptasi sambil mengatasi kesulitan yang dihadapi.

Beberapa kasus menunjukkan, yang muda punya persepsi dan intensitas kesadaran yang lebih tajam serta perhatian atas aspek strategik ketika situasi berkembang. Kesediaan mengeksplor perspektif yang lebih segar dan mau melepaskan diri dari cara berpikir lama lagi-lagi bisa diharapkan pada pemimpin muda.

Niat mengeksplorasi, pada titik tertentu sangat erat kaitannya dengan adaptabilitas, yang juga penting dalam pemikiran strategis. Menghadapi sistem yang dinamis, membuat kemampuan beradaptasi menjadi lebih penting dari sebelumnya. Mereka yang punya sense bagaimana perspektif baru bisa lebih relevan dengan konteks yang dihadapi organisasi. Lagi-lagi, relevansi ini cuma bisa dilihat bila ada wawasan dan pengetahuan baru.

Untuk mempertahankan keunggulan secara langgeng, organisasi butuh orang yang lebih merepresentasikan masa depan, sementara pengalaman-pengalaman merepresentasikan masa lalu. Ahli strategi Gary Hamel pernah bilang, hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu, cenderung kurang mendorong perubahan, dibandingkan hal-hal yang lebih proaktif. Inilah mengapa petahana, seringkali terbebankan masa lalu, dan biasanya merasa “pesta masa lalu” lebih hebat ketimbang “pesta masa depan.”

Percepatan hadirnya orang-orang muda dalam kepemimpinan, menjelaskan representatif masa depan, ketimbang pengalaman. Tentunya generasi muda yang diharapkan adalah yang memiliki kecenderungan dan komitmen untuk bekerja. Memiliki mindset yang lebih sigap atas gagasan baru serta peluang-peluang baru, serta pengetahuan dan intuisi untuk topik yang baru.

Generasi yang lebih muda, terutama yang memiliki komitmen untuk belajar, bisa diperhitungkan untuk urusan strategik. Mereka berpotensi memiliki mindset yang lebih sigap atas gagasan dan peluang baru, sementara konteks lingkungan baru, relevan untuk mereka. Sekali ini dipadukan dengan mentoring dari senior yang memiliki pengalaman, pengetahuan, jejaring yang luas, organisasi akan menghasilkan keputusan strategik yang kuat. (*)

Penulis adalah Dosen & Ketua Program Studi Manajemen. Guru Besar Kepemimpinan dan Organisasi Positif Universitas Bakrie


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved