Antara Gelar, Gengsi, dan Insecurity
“Just call me Marty,” kata Martin Seligman membuka percakapannya dengan saya. Ia menanggapi saya yang memanggilnya dengan sebutan “Profesor Seligman”. Pagi itu, saya menghampiri Marty setelah ia memberikan keynote speech pada Happiness Conference yang diadakan di Sydney, Australia. Sebelum pertemuan pertama itu, kami sudah beberapa kali saling menyapa melalui e-mail.
Martin Seligman adalah seorang tokoh terkemuka di dunia. Ia adalah Guru Besar Psikologi di University of Pennsylvania, Amerika Serikat. Ia juga pendiri Psikologi Positif. Namanya cukup termasyhur sebagai seorang psikolog dan pakar Happiness. Survei menempatkan Seligman pada posisi nomor 31 sebagai Psikolog Paling Terkemuka di Dunia.
Sejak pertemuan pertama itu, saya beberapa kali lagi sempat berjumpa dengannya dan ia memang lebih suka dipanggil “Marty” ketimbang “Prof. Seligman”. Ini mengingatkan saya pada guru-guru saya di London School of Economics (LSE), Inggris –saya mengambil Master di sini– yang lebih suka dipanggil dengan nama depan mereka masing-masing. Jadi, tak perlulah kita repot-repot memanggil para guru besar tersebut dengan panggilan “Profesor”.
Jangankan dipanggil “Profesor”, dipanggil dengan “Pak” atau “Bu” saja mereka sudah merasa gerah. Salah satunya ialah Birgitte Benkhoff, dosen saya dalam mata kuliah Psikologi Industri. Suatu kali dia memberikan “pengumuman” kepada semua mahasiswa, kali ini disertai dengan nada kegusaran. “Tolong jangan panggil saya dengan “Mam”. Saya bukan Ibumu. Panggil saja saya: Birgitte,” katanya. Rupanya, banyak mahasiswa dari Asia yang sering bilang “Yes, Mam.” Panggilan ini membuat Birgitte agak terganggu.
Cerita-cerita di atas kembali terbayang di kepala saya ketika mendengar Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia, mengeluarkan pernyataan menolak dipanggil “Profesor”. Bukan hanya itu, ia bahkan mengeluarkan surat edaran untuk menolak pencantuman gelar akademiknya di dalam dokumen dan korespondensi. “Panggil saja saya Fathul: Kang Fathul, Mas Fathul, atau Pak Fathul. Insya Allah akan lebih menenteramkan dan membahagiakan.”
Pernyataan Fathul Wahid ini berbeda nuansanya dengan yang disampaikan oleh guru-guru saya di Inggris dan Amerika itu. Ini bukan sekadar usaha untuk menciptakan hubungan yang lebih informal dengan civitas akademika dan masyarakat luas. Ini sudah sampai pada sebuah gerakan protes karena begitu banyaknya orang yang menyalahgunakan gelar dengan berbagai cara.
Di Indonesia memang sudah terjadi inflasi dalam pemberian gelar akademik. Bayangkan, hampir semua politikus ternama saat ini sudah bergelar Doktor (Honoris Causa). Saya sungguh tidak paham apa keahlian, penelitian, dan ilmu yang sudah mereka tekuni sampai mereka dianugerahi gelar kehormatan semacam itu.
Saya juga tidak paham apakah sebetulnya telah terjadi transaksi kepentingan antara para politikus itu dengan petinggi universitas yang memberi mereka gelar. Saya hanya merasa aneh saja mengapa para politikus itu begitu bergairah untuk mencantumkan gelar-gelar yang mereka peroleh secara “gratis” itu di depan nama mereka, seolah-olah mereka menjadi lebih terhormat serta meningkat martabat dan derajatnya secara signifikan.
Saya sendiri sejak dulu tak pernah berminat mencantumkan gelar akademis saya. Bagi saya, belajar itu sebuah kebutuhan. Saya memiliki minat yang sangat tinggi pada bidang psikologi dan filsafat, dan saya mempelajari kedua bidang tersebut agar saya bisa memberikan manfaat yang maksimal kepada orang lain.
Dan yang menarik, ternyata klien saya pun tidak membutuhkan gelar saya. Yang mereka butuhkan adalah program-program yang saya desain dengan menarik sehingga memenuhi kebutuhan mereka. Itulah yang membuat saya diundang oleh berbagai perusahaan besar di Indonesia ─sampai saat ini lebih dari 400 perusahaan─ untuk membantu menciptakan pemimpin yang berkualitas. Mereka tidak pernah menanyakan apa gelar saya.
Pertanyaan yang sering terlintas di kepala saya, apakah dengan menyandang berbagai gelar kehormatan itu para politikus itu menjadi lebih tinggi kredibilitasnya di mata masyarakat? Saya berani bertaruh bahwa jawabannya adalah “tidak”.
Namun, mereka nampaknya tidak peduli. Mereka terus berburu gelar yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak ilmiah dan tidak akademis. Laporan Majalah Tempo baru-baru ini menjelaskan bahwa bahkan gelar profesor pun mereka buru dengan cara-cara yang tidak terhormat, dengan menghalalkan segala cara.
Gelar akademis sesungguhnya adalah sesuatu yang terhormat yang menunjukkan bahwa orang yang mendapatkannya sudah melalui tahapan tertentu secara keilmuwan dan dapat diandalkan keahliannya di bidang tertentu. Namun, pemaknaan yang salah malah melihat gelar akademis sebagai sebuah cara untuk meningkatkan kepercayaan diri seseorang.
Padahal, kepercayaan diri tidak dapat ditingkatkan dengan jalan pintas semacam itu. Bagaimana mungkin kita bisa meningkatkan kepercayan diri padahal kita tidak melakukan apa pun yang meningkatkan kualitas diri kita.
Orang-orang yang mencari jalan pintas ini sesungguhnya juga menyadari hal itu, tapi perasaan insecure mereka jauh lebih kuat. Insecurity muncul sebagai refleksi dari ketidakpercayaan mereka kepada diri sendiri. Juga sebagai bentuk “pengakuan diam-diam” terhadap kapasitas dan kemampuan mereka yang sesungguhnya. (*)
Penulis: Motivator Nasional – Leadership & Happiness