Iptechpreneur

VISIER, Membantu Perusahaan Piawai Memahami Karyawan

Kalangan perusahaan saat ini berada di tengah tuntutan untuk lebih baik lagi dalam mengenali, peduli, dan mendukung karyawan. Pasalnya, belakangan masyarakat di seluruh dunia makin menyadari bahwa kehadiran perusahaan semestinya bukan cuma untuk mengejar profit semata, tapi juga untuk mengembangkan kapasitas orang-orang yang bekerja di dalamnya (people) dan menjaga kelestarian lingkungan di sekitarnya (planet).

Bahkan, di Amerika Serikat, regulasi dari SEC mensyaratkan perusahaan yang menjadi anggotanya untuk lebih transparan dalam hal memenuhi aturan keberagaman, kesamaan, dan ketercakupan (diversity, equity, and inclusion). Kebutuhan untuk lebih mengenali karyawan juga didorong adanya pergeseran pekerjaan dari bekerja penuh di kantor (work from office) menjadi lebih mengakomodasi pola kerja dari mana pun (work from anywhere) ataupun dari jarak jauh (remote working).

Menurut Ryan Wong, Co-Founder dan CEO Visier, ada permintaan yang tak terhingga dari kalangan perusahaan untuk lebih memahami orang-orang yang terlibat dalam organisasi mereka. “Mulai dari HR (human resources) leader hingga para eksekutif, mereka makin menyadari bahwa memiliki pemahaman yang baik terhadap karyawan mereka merupakan hal penting untuk dapat memberikan hasil yang baik bagi bisnis, karyawan, pelangggan, maupun masyarakat sekitar mereka,” kata Wong.

Visier, perusahan rintisan berbasis platform asal Vancouver (Kanada), diluncurkan karena para pendirinya –pionir di bidang business intelligence‒ melihat adanya peningkatan kebutuhan kalangan perusahaan tersebut. Maka, Visier pun meluncurkan layanan yang kemudian disebut sebagai kategori produk “people analytics”.

“Akses terhadap informasi mengenai karyawan dan kesehatan perusahaan tidak pernah menjadi lebih penting seperti saat ini,” demikian komentar Holger Staude, Managing Director Goldman Sachs Asset Management.

Josh Bersin, pakar manajemen SDM kondang, mengakui bahwa kini people analytics tengah tumbuh. Bersin menjelaskan, bidang ini sebelumnya dipenuhi dengan melakukan engagement survey ataupun studi tentang retensi dan turnover karyawan, dan melibatkan psikolog industrial. Namun, belakangan, ia bersyukur hal ini dapat dipermudah dengan hadirnya platform yang membantu kebutuhan analitik ini, bahkan terus berkembang dengan adanya teknologi kecerdasan buatan (AI).

Dalam sebuah artikelnya, yang dipublikasikan pada 12 Juni 2023, Bersin mengungkapkan bahwa selama beberapa dekade kalangan perusahaan harus susah-payah dalam mengumpulkan, membersihkan, hingga menganalisis data SDM mereka. Misalnya, untuk menghitung jumlah karyawan terkini, mengukur turnover, memantau peringkat kinerja karyawan, memantau histori gaji mereka, hingga mengukur kebutuhan dan kesesuaian jam pelatihan mereka.

Lalu, begitu ukuran-ukuran itu diperluas lagi melewati urusan SDM tradisional, perusahaan, dalam istilah Bersin, memasuki dunia wild-west. Misalnya, untuk urusan mengidentifikasi keterampilan (skills) yang dibutuhkan, menemukan faktor-faktor yang menciptakan well-being, mencari faktor yang berkontribusi terhadap kinerja tinggi, ataupun mengembangkan model untuk menilai potensi kepemimpinan karyawan. Bersin mengakui bahwa mungkin sudah ada proses ataupun tools untuk asesmen, tapi para HR business partner sering kesulitan memperoleh data yang tepat (the right data).

Ia mencontohkan, perusahaan sekelas Meta (induk Facebook), Salesforce, dan Amazon masih perlu menunggu hingga akhir tahun untuk mengetahui tingkat produktivitas ataupun efisiensi kerja karyawan. Begitu pula untuk melihat hasil kinerja tim, tingkat gaji, ataupun turnover karyawan.

Tak kalah mengherankan, sebuah perusahaan restoran berjaringan global sampai tidak tahu data akurat berapa sesungguhnya karyawan full time, part time, ataupun karyawan franchise-nya. Contoh lainnya, ketika ada satu perusahaan e-commerce raksasa dunia melihat adanya tren turnover (keluarnya karyawan) yang meningkat, para manajernya masih berdebat panjang soal penyebabnya.

Bersin mengaku pernah diskusi dengan seorang CHRO dari perusahaan teknologi informasi (TI) dan firma rekrutmen besar. Ketika ditanyakan kepadanya apa keterampilan yang paling diperlukan oleh Departemen HR sekarang, jawaban sang CHRO adalah keterampilan analitik. Lalu, apa masalahnya?

Sang CHRO menjelaskan,”Singkatnya, kita tidak punya data terintegrasi untuk membuat keputusan mengenai karyawan kita, baik menyangkut tujuan, langkah selanjutnya, maupun kebutuhan mereka.” Dalam kasus di perusahaannya, untuk kebutuhan seperti itu, pihak HR business partner (orang HR yang ditugaskan menempel di fungsi-fungsi bisnis) harus melayangkan permintaan dulu ke Bagian TI untuk memperoleh laporan semacam itu.

Dari keruwetan seperti itulah, kemudian muncul keterampilan model baru di bidang HR yang kini disebut “people analytics”. Sederhananya, ini adalah kemampuan untuk menganalisis data terkait SDM/karyawan, untuk mendukung berbagai keputusan bisnis perusahaan.

Untuk sistem pendukung yang dibutuhkan, Bersin lebih suka menyebutnya sebagai systemic people analytics, yakni kemampuan yang membawa semua data terkait SDM (people-related data) ke dalam satu platform.

Untuk menghadirkan platform sistem seperti itu, menurutnya, pada dasarnya ada tiga cara. Pertama, perusahaan mengembangkan sendiri. Ini butuh waktu tahunan dan adanya tim TI yang didedikasikan khusus. Pekerjaannya antara lain mengumpulkan, mendefinisikan dan membersihkan data; memilih tools untuk analitik, big data, ataupun pelaporannya; hingga mengembangkan dasbor dan template pelaporannya.

Pekerjaan ini membutuhkan upaya dan sumber daya yang besar, sedangkan tim TI biasanya juga sudah sibuk dengan urusan pekerjaannya sendiri. “Langkah seperti ini juga mahal,” tulis Bersin.

Kedua, memanfaatkan sistem HCM (Human Capital Management) atau HRIS (HR Information System) yang dimiliki perusahaan, misalnya dari vendor Workday, SuccessFactors, ataupun Oracle. Sistem HCM dari vendor besar itu memang sudah punya open analytics tools. Hanya saja, dalam pengamatan Bersin, kebanyakan hanya didesain untuk menangkap dan menganalisis data, belum untuk mentransformasi data, mengelola metadata, ataupun membuatkan pelaporan untuk end user.

Ketiga, seperti disarankan Bersin, menggunakan platform people analytics terintegrasi yang untungnya sudah tersedia di pasar. Platform analitik untuk SDM perusahaan ini di antaranya Visier (merupakan pionir dan sejauh ini merupakan pemimpin pasar di kategorinya), Charthop, OneModel (terutama memberikan solusi integrasi middleware), serta CrunchHR (solusi untuk kalangan mid-market).

Vendor-vendor tersebut, dalam pengamatan Bersin, telah mendesain produk platformnya dari awal untuk kebutuhan analitik SDM perusahaan. Mereka juga dikenal sebagai spesialis di bidang integrasi data HR dari berbagai sumber, juga di bidang analisis multidimensional, serta end-user reporting.

Menurut Bersin, platform data analitik SDM yang sistemik itu dapat memberi para manajer dan para analisnya data real time, sehingga mereka dapat mengamati dan menangani masalah sesegera mungkin, tanpa perlu membentuk proyek analisis beranggotakan para Ph.D. Kelebihan lainnya, umumnya platform seperti itu sudah punya analisis time-series, sehingga penggunanya dapat “memundurkan waktu” ke belakang untuk melihat awal mula masalah terjadi dan bisa lebih tepat melihat kemungkinan penyebabnya.

Salah satu platform people analytics yang makin moncer belakangan ini adalah Visier, yang didirikan pada 2010. Kini Visier dikenal sebagai pemain terkemuka dunia di bidang platform layanan people analytics dan workforce solutions.

Perusahaan ini sudah melayani lebih dari 42.000 organisasi di lebih dari 70 negara di seluruh dunia, dan mengelola lebih dari 20 juta rekam data karyawan. Beberapa pelanggan besarnya: BASF, Bridgestone, Electronic Arts, Merck KGaA, dan McKesson.

Dengan lebih dari 42.000 pelanggan korporat/organisasi di dunia, Visier selain dikenal sebagai pionir di kategori people analytics, juga merupakan penguasa pasarnya. Perusahaan ini kemudian mengembangkan layanannya di luar kategori flagship-nya (people analytics) dengan layanan komplementer di bidang HR, seperti Workforce Planning dan Smart Compensation.

Pada 29 Juni 2021, Visier mengumumkan berhasil menghimpun pendanaan senilai US$ 125 juta dari putaran pendanaan Seri E, yang dipimpin oleh Goldman Sachs Assets Management. Dengan pendanaan ini, valuasi Visier sudah melewati nilai US$ 1 miliar. Hingga saat ini, Visier masih merupakan perusahaan privat (tidak melakukan penawaran saham atau IPO).

Sejak Oktober 2023, Visier masuk ke kategori solusi total rewards dengan menawarkan layanan Compensation Benchmark Data. Bersamaan dengan itu, Visier merekrut veteran di industri layanan ini, yakni Sean Luitjens sebagai GM untuk bisnis total rewards Visier. Lelaki ini sebelumnya memegang posisi kepemimpinan di perusahaan layanan HR terkemuka, seperti Korn Ferry, Mercer, Salary.com, dan Monster.

Sebagai solusi yang relatif baru, Smart Compensation didesain untuk menyederhanakan dan mengoptimalkan proses perencanaan dan eksekusi kompensasi. Pertama diperkenalkan pada Juni 2023, Smart Compensation menggunakan pendekatan data driven, yang menjamin konsistensi, keadilan, dan dampak bisnis maksimal dari alokasi kompensasi, seiring dengan penerapan merit system.

Adapun layanan Compensation Benchmark Data, yang bisa disediakan secara standalone, sebetulnya juga merupakan bagian dari Smart Compensation. Solusi data ini memberikan kepada perusahaan penggunanya strategi kompensasi yang paling akurat, bukan berdasarkan data hasil survei melainkan dari live data point (real-time data).

“Setelah 13 tahun mengembangkan kategori produk people analytics, kami melihat adanya titik lompat besar yang mendorong pertumbuhan permintaan terhadap solusi ini,” kata Ryan Wong “Kami melihat kategori solusi people analytics telah berubah dari sekadar bidang yang sedikit diperhatikan menjadi core intelligence untuk bisnis,” tambahnya.

Wong juga berpendapat, aspek SDM (people) merupakan bidang investasi terbesar yang harus dijalankan perusahaan, sekaligus sumber daya paling penting untuk meningkatkan dampak bisnis. “Dan kita tahu, kita tidak dapat mengelola apa yang tidak kita ukur,” ujarnya.

Pendekatan bisnis yang dilakukan Visier pun menarik. Bukan hanya menyasar kalangan perusahaan pengguna akhir (end user) dari platform people analytics ini, tapi juga para developer ataupun perusahaan HR tech lainnya, melalui lini Visier’s Embedded Business. Layanan yang diluncurkan pada akhir 2022 itu bernama Alpine by Visier, yang merupakan layanan platform as a service (PaaS).

Lewat layanan PaaS ini, Visier menyediakan fasilitas bencmark data dan tools lainnya dalam pola API (application programming interface) dan layanan modular. Tak kalah pentingnya, layanan ini juga bisa menjadi solusi langsung untuk tim teknis dan data suatu perusahaan yang ingin memperkaya solusi people analytics mereka secara customized.

Hingga kini, layanan PaaS dari Visier ini telah memperkuat produk-produk software as a service (SaaS) dari sejumlah HR tech terkemuka lainnya. Di antaranya, Paycor, Insperity, dan Betterworks.

Pada Oktober 2023, Visier meluncurkan versi baru dari Alpine, dengan sejumlah kapabilitas baru. Antara lain, ada hub baru buat para developer, termasuk dokumentasi teknis yang tersedia secara publik; katalog komplet untuk source system maupun BI tools; pre-built people data model, dan library of code samples.

Para mitra pengembang dapat mengambil dan memilih modul yang dibutuhkan dari portofolio Alpine ini, baik kapabilitas data enrichment, analytics, reporting modules, maupun AI capability, guna merancang produk solusi komersial buat pelanggan mereka. Dengan layanan Alpine ini, para pengembang solusi HR itu juga dapat mempersingkat time to market dan mempercepat masuknya revenue.

Satu perkembangan menarik lainnya yang diumumkan Visier pada Oktober 2023 itu ialah public review terhadap produk barunya yang inovatif, yang diberi nama Vee. Produk yang berfungsi sebagai digital assistant bagi para HR manager ini berbasis teknologi Generative AI, yang sudah dirilis versi beta-nya pada Juni 2023 dan hingga Oktober 2023 sudah ada sekitar 100 perusahaan klien yang menggunakannya.

Menurut manajemen Visier, Vee hadir untuk mendemokratisasi akses terhadap people/workforce insight untuk para manajer dan orang-orang non-analis. Vee mengombinasikan teknologi Generative AI dengan produk platform Visier People sehingga memungkinkan semua orang bisnis sekalipun mudah bertanya untuk memperoleh informasi analitik sistem tentang karyawan. Menurut pihak Visier, karena merupakan platform multidimensional yang berbasis meta-data, pada dasarnya Vee dapat menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.

Cara kerja Vee, secara otomatis mengubah conversational query (natural language questions) menjadi Visier’s query language. Kemudian,Vee akan memberikan jawaban naratif yang ringkas dan akurat, tanpa tergantung pada data proprietary pelanggan.

Vee juga dapat digunakan untuk menghasilkan kesimpulan eksplanatif dari visualisasi data yang tersedia, membuat laporan secara otomatis, mengubah sistem people analytics yang rumit menjadi tanggapan dan narasi yang mudah dipahami, serta memberikan cara baru bagi pelaku bisnis untuk merasa “terikat” (engaged) dengan data mereka sendiri. Dan, yang lebih penting lagi, aplikasi Vee membantu pembuatan keputusan bisnis yang lebih bersifat data driven bagi para manajer yang mungkin kurang pengalaman dalam menginterpretasikan diagram dan grafik.

“Visi kami ketika mendirikan Visier adalah menerapkan question-first approach di bidang people analytics,” kata Ryan Wong. “Perkembangan cepat dari teknologi Generative AI membuat visi tersebut lebih menarik, lebih relevan, dan lebih masuk dalam jangkauan kita, dibandingkan sebelumnya,” lelaki yang menjabat CEO sejak 6 Mei 2020 ini menjelaskan.

Visi pendiri yang tak kalah menarik ialah bagaimana membuat Visier bisa diintegrasikan dengan aplikasi-aplikasi workplace yang populer, semacam Salesforce’s Slack ataupun Microsoft Teams, sebagaimana dipromosikannya dengan tagar #askvisier. Melalui integrasi seperti ini, para manajer dapat memperoleh gambaran berharga (valuable insights) yang bisa disampaikan ke anggota tim atau departemennya. Caranya simpel, cukup dengan mengajukan pertanyaan kepada Vee di platform kerja mereka biasanya, tanpa perlu masuk dulu ke platform data dan analitik dari aplikasi Visier People.

Vee, yang merupakan bagian dari keluarga produk Visier People, bukan hanya bisa dinikmati end user, tapi juga oleh mitra pengembang. Sebab, disediakan di Alpine (lini bisnis PaaS) sebagai sebuah programmatic developer service. Dengan menggunakan layanan ini, mitra pengembang dapat menempelkan kapabilitas Generative AI pada produk solusi mereka dan dilabeli sebagai digital assistant. Paycor, salah satu Visier Embedded Partner, telah merintisnya dengan meluncurkan digital assistant yang diberi nama Cora.

Model bisnis yang cukup beragam dan terbuka seperti itu memang memantik pertanyaan bagaimana soal keamanan dan privasi data orang-orang yang terkait di dalamnya. Untuk hal ini, pihak Visier sudah memberikan jaminan telah menerapkan model keamanan paling canggih. Visier pun menjamin hasil berupa tanggapan/jawaban dari Vee hanya tersedia bagi para end user yang punya kewenangan berbasis pada model keamanan dan perizinan terkait. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved