Bisnis Tanpa Kickback, Bisakah?
Pertemuan di sebuah kementerian pagi itu berjalan dengan hangat. Sebagai konsultan yang bergerak dalam pengembangan kepemimpinan dan penciptaan kebahagiaan di tempat kerja, kami mempresentasikan produk-produk unggulan kami, juga menggali tantangan yang sedang dihadapi kementerian yang bersangkutan.
Semua berjalan lancar. Calon klien pun menunjukkan ketertarikannya dan menyampaikan keinginannya untuk menciptakan lingkungan kerja yang relijius, yaitu pegawai bekerja bukan semata-mata untuk mencari nafkah, tetapi sebagai sarana ibadah kepada Tuhan. Konsep ini tentu saja sangat cocok dengan nilai-nilai yang kami anut. Singkat cerita, pertemuan tersebut benar-benar memberi harapan, chemistry di antara kami pun sudah mulai tercipta.
Seminggu kemudian, kami mendapatkan telepon dari kementerian tersebut yang intinya bahwa mereka sangat tertarik dan sangat antusias untuk bekerjasama dengan kami. Mereka sangat yakin kerjasama ini akan membuahkan manfaat yang besar. Hanya saja, di akhir pembicaraan, mereka menyampaikan sebuah kabar yang kurang menggembirakan: penyelenggara acara meminta bagian 30% dari nilai proyek.
Menghadapi permintaan seperti itu, tentu saja kami sudah siap. Semua karyawan ILM, perusahaan yang saya dirikan, sudah tahu persis bagaimana cara meresponsnya.
Pertama, kami akan mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan dan keinginan bekerjasama dengan kami. Kedua, kami akan mengatakan dengan sopan santun dan keramahtamahan bahwa kami tidak terbiasa dengan permintaan seperti ini. Kami juga khawatir bila hal ini memiliki dampak hukum di kemudian hari. Ketiga, kami meminta maaf bila sikap kami ini menimbulkan ketidaknyamanan di pihak calon klien kami.
Intinya, kami menolak praktik penyuapan (kickback) ini. Alasannya sederhana saja: bisnis kami mengajak orang kepada kebaikan dan nilai-nilai yang luhur. Bagaimana kami bisa mengajak orang menjadi lebih baik dan berintegritas sementara kami justru bersekongkol dengan penyelenggara untuk melanggar integritas itu sendiri?
Dengan menolak, hal ini bukan berarti kami ingin dilihat berbeda, apalagi dikesankan sebagai “orang suci”. Kami hanya ingin menghindari konflik di dalam batin kami sendiri. Konflik batin itu akan jauh lebih menyiksa dibandingkan dengan masalah hukum yang mungkin akan kami temui di masa depan.
Tentu saja, sebagai entitas bisnis, kami membutuhkan “darah segar” yang didapatkan dari penjualan produk-produk kami. Namun, di atas penjualan sesungguhnya ada yang jauh lebih penting: Alasan mengapa kita melakukan bisnis.
Kita melakukan bisnis karena kita ingin memberikan manfaat dan kebaikan yang sebesar-besarnya. Inilah yang saya rumuskan sebagai Visi ILM, yaitu “Make Indonesia Happy”. Juga Misi ILM, yaitu “Creating Happy Leaders”. Inilah yang menjadi pegangan kami dalam berbisnis, dan inilah juga yang mampu memandu kami untuk melewati berbagai godaan dan tantangan.
Bagaimana mungkin bisa mencapai visi dan misi itu kalau kami mengambil jalan pintas semata-mata untuk mendapatkan proyek? Bukankah ini akan merusak spiritualitas dan jati diri kami sendiri?
Lebih jauh lagi, konflik batin yang akan terjadi bisa melampaui wilayah bisnis dan langsung menghujam ke wilayah pribadi kita. Kita diciptakan dan dikirim Tuhan ke dunia untuk menjadikan dunia ini tempat yang lebih baik. Itulah yang menjadi alasan penciptaan kita.
Dengan kata lain, kita diciptakan untuk menjadi agen-agen Tuhan dalam menyebarluaskan kebaikan di muka bumi. Inilah sesungguhnya alasan utama mengapa kita berbisnis. Bisnis sesungguhnya adalah “kendaraan” yang kita ciptakan agar dapat menjadi agen-agen Tuhan di wilayah keahlian kita masing-masing.
Jadi, kalau kami menolak kickback, sesungguhnya itu karena kami menginginkan kebaikan untuk kami sendiri, serta menghindari konflik batin yang sungguh berbahaya bagi kesehatan jiwa kami. Ini jauh dari keinginan untuk kelihatan baik, suci, dan sebagainya.
Mungkin Anda ingin tahu seberapa sering kami menghadapi permintaan semacam ini? Jawabannya, tidak terlalu sering. Selama 20 tahun berkarya, ILM telah melayani lebih dari 400 perusahaan besar di Indonesia, mulai dari kementerian, lembaga negara, BUMN, hingga perusahaan swasta serta multinasional, dan baru 10 kali kami menemui permintaan seperti ini.
Itu tentu saja sebuah kabar gembira. Ternyata, sekarang jauh lebih banyak organisasi dan perusahaan yang berintegritas dibandingkan dengan yang tidak.
Kesimpulan terakhir itu boleh jadi terlalu sederhana karena hanya didasarkan pada permintaan kickback yang masuk kepada kami. Kesimpulan ini bisa saja salah karena ada kemungkinan juga calon klien yang memperhatikan perilaku dan sikap kami (yang serius dan tidak main-main) memutuskan untuk menawarkan kickback ke pihak lain tanpa sepengetahuan kami dan hanya menggunakan jasa ILM sekali-sekali.
Yang menarik, walaupun kami menolak memberikan kickback, dari 10 calon klien hanya satu yang akhirnya batal. Sembilan klien yang lain tetap menggunakan jasa kami sesuai dengan rencana.
Itu bukti bahwa upaya kickback tersebut hanyalah bersifat coba-coba, dan mungkin dilakukan oknum tertentu, tanpa sepengetahuan pemimpin tertinggi. Kenyataan ini juga sangat menggembirakan karena ini berarti klien mengapresiasi kualitas program kami sebagai dasar menjalin kolaborasi dan kerjasama.
Tulisan saya ini mudah-mudahan bisa menjadi penguat bagi para pelaku bisnis agar selalu menjalankan bisnis dengan penuh integritas. Kita harus percaya diri bahwa selama kita memiliki produk yang berkualitas dan memberikan manfaat besar, produk itu saja sesungguhnya sudah menjadi sesuatu yang sangat menarik.
Mereka yang membutuhkan kickback sesungguhnya adalah orang yang memiliki tiga kemungkinan berikut. Pertama, mereka tidak percaya diri. Kedua, produk mereka hanya berkualitas rata-rata. Ketiga, mereka tidak memiliki spiritualitas dalam bisnis. (*)