Menyesap Sejarah dalam Tiap Seduhan: Perjalanan Kopi Kupu-Kupu Bola Dunia yang Tak Lekang Waktu

Wirawan Tjahjadi, melanjutkan warisan leluhur untuk mengembangkan Kopi Kupu-kupu Bola Dunia (Foto: Silawati/SWA)

Aroma kopi menyeruak jauh sebelum kaki melangkah memasuki gerbang bangunan di Jalan Pulau Moyo, Denpasar. Di balik tembok tinggi, tersembunyi lahan seluas 1 hektar yang penuh dengan kehidupan—mulai dari kebun kecil berisi kopi robusta dan arabika, kandang luwak, hingga ruang pengeringan, gudang penyimpanan, dan gedung produksi yang bersih serta terawat rapi. Tak ada hiruk-pikuk, hanya desisan halus mesin-mesin yang bekerja tanpa henti, membaur dengan kepulan asap tipis yang menyapa langit sore.

Di Bali, hampir tak ada yang tak mengenal Kopi Kupu-kupu Bola Dunia, kopi yang telah menemani berbagai perayaan dan kehidupan sehari-hari warga Bali sejak 1935. Bermula dari tangan seorang pedagang hasil bumi, Bian Ek Ho, kopi ini berkembang menjadi legenda lokal yang tak terpisahkan dari ritual dan budaya setempat.

Bian, yang dikenal sebagai salah satu pedagang terbesar di Bali pada 1920-an, memulai perjalanan kopi ini dengan mengolah biji kopi untuk ekspor ke Singapura. Namun, ketika melihat tumpukan biji kopi yang menanti pengangkutan, naluri kreatifnya tergugah. Dengan alat sederhana, ia mencoba menggoreng biji-biji kopi itu, menghasilkan bubuk kopi yang hitam pekat dengan aroma menggoda.

Kendati alat yang digunakan sederhana, hasil kopinya menarik banyak peminat. Kualitas biji kopi yang premium membuat kopi olahannya semakin dicari. Namun, nasib tidak selalu berpihak.

Kedatangan Jepang menghancurkan bisnis ekspor Bian Ek Ho, memaksa sang anak, Djuwito Tjahjadi, yang masih duduk di bangku sekolah di Surabaya, untuk pulang ke Bali. Djuwito pun membantu ayahnya menggoreng kopi hingga masa pendudukan Jepang usai.

Titik balik terjadi ketika Djuwito mendapatkan pinjaman lunak untuk membeli mesin penggorengan kopi asal Jerman seharga US$250 ribu. Mesin modern ini menjadi saksi kerja kerasnya untuk menghasilkan kopi berkualitas tinggi bagi pasar wisatawan yang mulai berdatangan ke Bali. Tak hanya pasar lokal yang terserap, kopi ini juga mulai menarik perhatian Hotel Bali Beach, satu-satunya hotel berbintang kala itu di Sanur.

Satu pagi, seekor kupu-kupu yang melintas di jendela kamar Djuwito memberikan ilham. Nama Kopi Kupu-kupu Bola Dunia lahir, menjadi identitas kopi Bali yang kemudian melegenda. Toko kecil warisan keluarganya di Jalan Gajah Mada, yang dulu dikenal sebagai Toko Bian E, bertransformasi menjadi Toko Bhineka Jaya, show room bagi kopi racikannya. Aroma kopi yang menyeruak dari toko menjadi iklan alami, menarik pembeli untuk mencoba produk yang tak pernah gagal memuaskan selera.

Namun, perjalanan bisnis ini tidak selalu mulus. Pada 1984, pabrik kopi yang hanya berjarak 200 meter dari toko hangus terbakar. Namun, di balik musibah itu, lahir babak baru. Djuwito memindahkan pabrik ke Jalan Pulau Moyo, dan membangun fasilitas modern di atas lahan yang lebih luas. Mesin penggoreng kopi bertambah dari satu menjadi empat, dan produksinya meningkat pesat.

Pada 1993, Djuwito memanggil putra bungsunya, Wirawan Tjahjadi, yang telah menetap di Amerika selama 15 tahun. Bukannya langsung diberi jabatan tinggi, Wirawan yang akrab dipanggil Wewe harus menjalani tugas sederhana: mencicipi kopi setiap hari selama tiga tahun. "Karena itu saya bisa membedakan mana kopi Bali Kintamani, mana kopi Gayo, mana kopi Toraja," kenangnya.

Sebagai generasi ketiga, Wewe dipersiapkan dengan matang untuk memahami seluk-beluk kopi dan usaha keluarga. "Bagaimana bisa memimpin perusahaan kopi kalau tidak tahu tentang kopi?" kata-kata sang ayah selalu terngiang di benaknya.

Wewe juga belajar langsung dari para petani kopi, berkeliling ke berbagai kebun di Bali dan luar daerah untuk mendalami karakteristik biji kopi dari setiap lokasi.

Komitmen terhadap kualitas menjadi prinsip yang dijaga teguh. Biji kopi harus dipanen saat benar-benar matang dan disimpan minimal enam bulan sebelum diolah untuk mencapai cita rasa terbaik. "Orang harus jujur. Kopi itu soal selera. Good service, good taste. Setiap produk kami sudah melewati quality control yang ketat," tegas Wewe.

Sebagai warga pendatang di Bali, sang ayah selalu mengingatkan untuk menjaga hubungan baik dengan pasar lokal. Harga kopi tak pernah dinaikkan menjelang hari raya, dan pedagang kecil di pasar tradisional diberi kelonggaran pembayaran agar bisa menjaga roda bisnis mereka.

Kini, di bawah kepemimpinan Wewe, Kopi Kupu-kupu Bola Dunia tetap diekspor ke Singapura, Hong Kong, dan Guam. Meski jumlah ekspornya tak banyak, hubungan dengan pasar internasional tetap terjaga.

”Walaupun ekspor kami tidak banyak, tapi setiap tahun selalu ada dan tidak pernah putus,” ujar kelahiran 17 Agustus 1962 ini bangga. Ayah 3 anak ini juga tidak terburu-buru memperluas produksi, meskipun pabriknya mampu menghasilkan hingga 1 ton per jam.

Seiring guliran waktu, generasi keempat kini telah mulai dilibatkan dalam bisnis. Putra sulung Wewe, Maxwell Ryder Tjahjadi, kini mengelola Kopi Bali House di kawasan Sanur. Restoran yang menyajikan lebih dari 70 jenis kopi ini benar-benar menjadi 'rumah kopi' sejati.

Di sini, Wewe menampilkan dan menyimpan koleksi lukisan unik yang terbuat dari cat berbahan dasar kopi. Maxwell juga memberikan kesempatan belajar gratis tentang seluk-beluk kopi dan penggunaan berbagai peralatan canggih kepada para pelanggan yang membeli atau menyewa mesin kopi di tempatnya. Sementara itu, Ian Garrett Tjahjadi, putra kedua Wewe, telah memulai perjalanan bisnisnya dengan tugas yang sama seperti ayahnya dahulu: mencicipi kopi.

Alih generasi ini memberi kesempatan bagi Wewe untuk mengejar passion lain. "Mungkin sekarang saya bisa lebih banyak waktu mengurus galeri, tidak hanya lukisan tapi juga patung dari pohon kopi," ujarnya, menatap masa depan dengan tenang. (*)

# Tag