Pasar Kangen: Dari Trauma Healing Hingga Pesta Kedaulatan Pangan Nusantara
Pasar Kangen pertama kali dimulai pada tahun 2007, tak lama setelah gempa besar mengguncang Yogyakarta. Di tengah masa pemulihan, seorang seniman bernama Ong Hari Wahyu bersama rekan-rekan sesama seniman tergerak untuk menjalankan program trauma healing yang berfokus pada kebudayaan pangan dan kuliner. Mereka memahami bahwa makanan tidak hanya menjadi kebutuhan dasar, tetapi juga memiliki peran penting dalam pemulihan psikologis masyarakat.
Sebagai bentuk nyata dari pemikiran tersebut, mereka mengembangkan konsep kedaulatan pangan, yang mengedepankan pentingnya sumber daya pangan yang berasal dari hasil bumi lokal. Ini merupakan gagasan tentang ketergantungan pada produk-produk lokal, yang tidak hanya mendukung ekonomi petani setempat, tetapi juga menjaga tradisi dan warisan kuliner Nusantara.
Dari konsep inilah muncul ide untuk menggelar pameran kuliner, yang pada akhirnya dikenal sebagai Pasar Kangen. Pameran ini pertama kali diadakan di Taman Budaya Yogyakarta dengan skala yang relatif kecil, hanya diikuti oleh sekitar 10 pedagang yang menjual makanan tradisional. Meski dimulai dengan sederhana, Pasar Kangen langsung mendapat sambutan hangat dari masyarakat karena nuansa nostalgia dan keautentikan rasa yang ditawarkannya.
Seiring waktu, Pasar Kangen berkembang pesat. Saat ini, pameran kuliner tahunan tersebut telah melibatkan lebih dari 2.000 tenant yang menjajakan beragam makanan tradisional dari berbagai daerah di Indonesia.
Pasar ini tidak hanya menjadi tempat berburu kuliner khas, tetapi juga ruang bagi para seniman dan pengusaha lokal untuk terus menjaga serta memperkenalkan kekayaan budaya melalui pangan.
Kini Pasar Kangen digelar secara reguler sebanyak empat kali dalam setahun seiring dengan momem-momen tertentu seperti Lebaran, musim pendaftaran sekolah dan liburan akhir tahun. Diakuinya, dalam satu pameran seorang pedagang bisa mengantongi omzet hingga Rp50 juta.
Pasar Kangen bukan sekadar pasar biasa. Ia menjadi simbol dari kekuatan komunitas dalam menghadapi bencana, sekaligus manifestasi dari kedaulatan pangan yang mengakar pada sumber daya dan tradisi lokal.
Dengan terus berkembangnya Pasar Kangen, semangat kebersamaan dan penghargaan terhadap produk lokal semakin diperkuat, menciptakan ruang di mana seni, budaya, dan kuliner tradisional bisa terus hidup dan dinikmati oleh generasi masa kini dan mendatang.
Ong Hari Wahyu, penggagas sekaligus Ketua Pelaksana Pasar Kangen, menekankan pentingnya edukasi dalam menjaga kelestarian pangan lokal dan ekologi. "Saat itu saya berpikir bahwa tidak cukup hanya menjual makanan saat pameran. Kami harus mendidik masyarakat tentang pentingnya mempertahankan pangan lokal dan peduli terhadap lingkungan."
Ong juga menerapkan kurasi yang ketat terhadap para pedagang yang terlibat di Pasar Kangen. Bagi mereka, komitmen terhadap kedaulatan pangan dan keberlanjutan ekologi adalah hal yang mutlak. "Jika ada yang tidak mengikuti prinsip-prinsip kami, masih banyak pedagang lain yang lebih peduli dan siap untuk bergabung. Kami ingin membantu mereka memasarkan dan mempromosikan makanan khas Indonesia dengan cara yang benar," tambah Ong.
Baginya, kebudayaan tidak terbatas pada seni saja. Kuliner, pengolahan bahan pangan, hingga praktik pertanian semuanya merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan. Dengan mendorong pelestarian kuliner tradisional dan praktik pertanian yang berkelanjutan, Pasar Kangen bukan hanya sekadar ajang menjual makanan, tetapi juga menjadi wadah untuk menjaga dan merayakan warisan budaya Indonesia.
Pada penyelenggaraan Pasar Kangen di acara “Gebyar BCA Merah Putih” selama 22 - 24 Agustus 2024 di komplek Candi Prambanan, Yogyakarta, lebih dari 10.000 pengunjung menghadiri Pasar Kangen. Kepadatan pengunjung terjadi hampir di setiap kedai Pasar Kangen.
Dari total 60 UMKM lokal yang bergabung, kedai-kedai seperti Leker Noto Kangen, Sate Kronyos, Semprong Atri, Es Goyang Jadoel, Dawet Ireng, dan lainnya, padat oleh pengunjung hingga menimbulkan antrean. Hal ini menandai minat serta antusiasme masyarakat terhadap jajanan tradisional. (*)