Standard Chartered Ungkap Komitmen Strategis terhadap Transisi Energi di Indonesia
Standard Chartered Group bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi serta Menteri Keuangan menggelar sesi fireside chat yang membahas dampak ekonomi makro terhadap upaya transisi energi global.
Bill Wanters, CEO Standard Chartered, menjelaskan bahwa sebagai bank internasional dengan jangkauan global, mereka berkomitmen untuk mendorong pertumbuhan keuangan berkelanjutan dan menyalurkan modal ke tempat-tempat yang membutuhkannya.
Komitmen ini diwujudkan dalam mobilisasi dana sebesar US$300 miliar untuk pendanaan ramah lingkungan hingga tahun 2030. Antara Januari 2021 hingga September 2023, Standard Chartered telah menyalurkan US$87,2 miliar untuk pendanaan terkait perubahan iklim.
“Tugas kami di bidang keuangan berkelanjutan bukan hanya tentang melakukan hal yang benar; namun juga menciptakan long-term value. Kami membuat komitmen finansial yang signifikan, dan telah melihat keuntungan besar. Kami memperkirakan keuangan berkelanjutan akan menjadi salah satu penghasil keuntungan utama bagi bank, berpotensi menyumbang 10% dari pendapatan grup kami dalam waktu dekat," ujar Bill dalam keterangan tertulis pada Rabu (11/9/2024).
Standard Chartered juga mendukung mitra-mitranya dalam transisi ke model bisnis berkelanjutan melalui solusi dan produk keuangan yang inovatif, guna menghadapi tantangan dan mendorong pertumbuhan yang inklusif. Bill menekankan, “Di Standard Chartered, kami menyadari bahwa transisi menuju net zero tidak bisa terjadi dalam semalam, dan kami berkomitmen membantu klien mendekarbonisasi bisnis mereka demi masa depan yang berkelanjutan.”
Komitmen ini menjadi prioritas strategis bagi Standard Chartered, dengan bisnis keuangan berkelanjutan mereka menghasilkan lebih dari US$720 juta antara Januari hingga Desember 2023. Target jangka panjang bank ini adalah mencapai pendapatan tahunan sebesar US$1 miliar dari seluruh lini bisnis pada 2025.
“Kami membuktikan bahwa Anda dapat memberikan dampak nyata sekaligus meraih keuntungan finansial besar. Ini adalah masa depan perbankan—di mana profitabilitas dan tujuan hidup berjalan beriringan,” jelas Bill.
Menanggapi hal tersebut, ekonom Dr. Chatib Basri memberikan perumpamaan "Chicken and Egg", di mana pemerintah kerap berfokus pada penggalangan dana dari investor, sementara investor justru menunggu pemerintah menyediakan platform dan kerangka peraturan yang diperlukan.
Bill menggarisbawahi pentingnya kolaborasi dan inovasi, serta menciptakan proyek-proyek yang layak investasi dengan kerangka kerja yang jelas untuk memberikan keyakinan kepada investor. Dia juga menyoroti hambatan yang masih menghalangi percepatan transisi menuju ekonomi rendah karbon, seperti ketidakpastian global yang dipicu inflasi, ketidakstabilan geopolitik, dan fluktuasi harga energi.
“Investasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca jauh lebih lambat dari yang diharapkan. Ketidakpastian global berkontribusi pada hal ini, namun bukan satu-satunya alasan. Kita perlu mendorong lebih banyak investasi untuk memenuhi kebutuhan iklim kita,” tegasnya.
Bill juga mendorong pembentukan mekanisme penetapan harga karbon global yang kredibel, yang menurutnya dapat memberikan insentif bagi investor untuk mendanai proyek-proyek energi terbarukan. Bagian dari strategi Standard Chartered adalah fokus pada solusi keuangan inovatif dan blended finance, yang memadukan modal publik dan swasta untuk membuka investasi di infrastruktur berkelanjutan. Kemitraan dengan organisasi multilateral seperti Asian Development Bank (ADB) dan World Bank juga penting untuk menjembatani kesenjangan pendanaan, khususnya di negara-negara berkembang.
“Kolaborasi antara sektor publik dan swasta sangat penting jika kita ingin mencapai kemajuan signifikan dalam pendanaan transisi energi,” ujar Bill. Dia menekankan perlunya standar pembiayaan global untuk proyek ramah lingkungan, serta mekanisme pelaporan dan penegakan hukum yang transparan untuk memastikan pendanaan perubahan iklim berjalan efektif.
Tanpa regulasi yang terstruktur, Bill memperingatkan bahwa sulit untuk menarik modal yang dibutuhkan demi mencapai target emisi rendah karbon, terutama di negara-negara berkembang. (*)