Cerita di Balik Binar Academy: Strategi Alamanda Mencetak Talenta Digital
Alamanda Shantika selalu memandang hidup sebagai sebuah perjalanan penuh pembelajaran. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan minat yang luar biasa terhadap dunia teknologi. "Cita-citaku sebenarnya bukan jadi teknologis, tapi jadi guru," katanya dalam acara BizzComm Podcast, siniar kerjasama SWA dengan LSPR Faculty of Business.
Namun, cinta pada teknologi datang seiring dengan kegemarannya belajar coding di usia 12 tahun. Ia mendirikan Binar Academy pada 2017 sebagai perwujudan dari mimpinya yang tak lekang oleh waktu: menciptakan ruang belajar yang menyenangkan bagi generasi muda Indonesia.
Binar Academy lahir dari keyakinan Alamanda bahwa sistem pendidikan yang ada belum mampu menciptakan suasana belajar yang inklusif dan penuh tantangan. “Aku ingin belajar itu menjadi sesuatu yang menyenangkan, bukan membuat stres," ucapnya.
Membangun Ekosistem Pendidikan yang Inklusif
Inilah yang menjadi alasan utama Binar hadir—untuk memberikan ruang belajar bagi generasi muda yang mampu merangkul kesalahan sebagai bagian dari proses belajar. Dalam perjalanannya, Alamanda melihat banyak siswa yang dipaksa masuk ke jurusan yang tidak sesuai dengan minat mereka, suatu fenomena yang membuatnya semakin yakin bahwa pendidikan harus diubah.
Di awal berdirinya Binar, Alamanda dihadapkan pada banyak tantangan. Salah satunya adalah mencari talenta yang memiliki spesialisasi di bidang teknologi mobile. “Saat itu, di Indonesia belum banyak yang paham tentang desain UI/UX atau manajer produk untuk aplikasi," jelasnya.
Alamanda memutuskan untuk melatih para lulusan baru, bahkan mereka yang tidak memiliki latar belakang teknologi, untuk mengisi kebutuhan tersebut. Perlahan tapi pasti, Binar Academy mulai dikenal sebagai tempat yang tidak hanya menawarkan pelatihan teknis, tetapi juga membuka kesempatan bagi siapa pun untuk belajar teknologi.
Visi Alamanda untuk Binar sangat jelas: mencetak anak-anak Indonesia yang mampu bersaing di kancah global. Ia bertekad untuk membangun ekosistem yang mendukung transformasi digital di berbagai perusahaan, sembari terus melahirkan talenta-talenta teknologi baru.
“Transformasi digital itu bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang membangun manusianya,” tegasnya. Ini adalah misi yang ia jalankan dengan sepenuh hati, mendorong Binar untuk tidak hanya fokus pada hasil, tetapi juga pada proses.
Salah satu obsesi besar Alamanda adalah menciptakan lingkungan belajar yang aman secara psikologis, di mana setiap siswa merasa dihargai dan didukung. “Kami tidak pernah memberikan penghargaan kepada siswa terbaik, tapi kepada siswa yang paling progresif,” katanya.
Alamanda ingin menghilangkan rasa intimidasi di kelas dan mendorong siswa untuk saling membantu. Bagi Alamanda, ini adalah cara untuk memastikan bahwa semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.
Model bisnis Binar Academy awalnya berfokus pada klien korporasi. “Kami memulai sebagai perusahaan B2B karena di sanalah uangnya,” ungkap Alamanda dengan jujur.
Namun, seiring berjalannya waktu, Binar juga membuka program beasiswa yang didanai oleh perusahaan-perusahaan besar untuk para siswa yang ingin belajar teknologi. Hal ini membuat Binar tumbuh menjadi sebuah ekosistem yang berkesinambungan, di mana siswa yang lulus dari program Binar langsung bisa disalurkan ke perusahaan-perusahaan mitra.
Prestasi yang diraih Binar tidaklah sedikit. Sejak berdiri, sudah lebih dari 18.000 siswa yang berhasil lulus dari program intensif Binar. Angka ini terus bertambah seiring dengan makin banyaknya perusahaan yang mencari talenta teknologi berkualitas.
“Yang paling memuaskan adalah ketika melihat anak-anak yang lulus dari Binar mampu berkompetisi di pasar global, bahkan bekerja di perusahaan luar negeri seperti di Singapura dan Jerman,” ujar Alamanda dengan bangga.
Di Binar Academy, para siswa diajarkan berbagai keterampilan digital, mulai dari coding, analisis data, hingga manajemen produk. Alamanda menekankan pentingnya adaptasi terhadap teknologi baru, termasuk kecerdasan buatan (AI).
“Jika kita tidak mengadopsi AI dalam kehidupan kerja sehari-hari, ada yang kurang,” tambahnya. Selain keterampilan teknis, Binar juga menekankan pada pengembangan karakter seperti curiosity (rasa ingin tahu) dan self-awareness (kesadaran diri).
Mengatasi Kesenjangan Akses Pendidikan Teknologi
Namun, perjalanan mencetak talenta tidak selalu mulus. Alamanda menyadari adanya gap yang signifikan antara anak-anak di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa dalam hal akses pendidikan teknologi. "Kesenjangan ini sangat besar," jelasnya.
Melalui kerja sama dengan Kemendikbud, Binar Academy mencoba menjembatani kesenjangan ini dengan memberikan beasiswa kepada ribuan siswa dari luar Jawa. "Banyak dari mereka sebenarnya mampu, tapi terkendala oleh hal-hal mendasar seperti bahasa dan akses internet," tambah Alamanda.
Inilah yang membuat Binar Academy berusaha keras untuk memberikan fasilitas yang mendukung, seperti mengirimkan materi belajar dalam bentuk fisik ke daerah-daerah yang akses internetnya terbatas.
Ke depan, Alamanda berencana untuk terus mengembangkan Binar dengan melahirkan lebih banyak talenta yang mampu bersaing secara global. “Obsesi kita adalah bagaimana kita bisa terus melahirkan anak-anak Indonesia yang bisa berkompetisi secara global, bukan hanya di Indonesia,” tegasnya. Bagi Alamanda, transformasi digital adalah kunci untuk memproduksi dampak yang lebih besar bagi masyarakat, dan Binar akan terus menjadi bagian dari perjalanan itu.
Seperti apa Binar di masa depan? Alamanda optimis. Dengan tim yang solid dan visi yang jelas, Binar akan terus menjadi pionir di dunia pendidikan teknologi Indonesia. Ia tak pernah berhenti untuk belajar dan menginspirasi, memastikan bahwa generasi berikutnya akan lebih siap menghadapi tantangan dunia digital yang terus berubah. (*)