My Article

Memerah Perusahaan Pelat Merah


Dr. Antoni Ludfi Arifin

Dalam beberapa waktu terakhir, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Indonesia menghadapi serangkaian tantangan yang mengancam keberlangsungan operasional mereka.

Kasus yang melibatkan salah satu BUMN farmasi, yang hampir mengalami kebangkrutan, mencerminkan kompleksitas masalah yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan milik negara tersebut.

Krisis di BUMN Farmasi

Salah satu BUMN yang bergerak di sektor farmasi yang usianya sudah 106 tahun, Indofarma, kini berada di ambang kebangkrutan, dilanda serangkaian isu yang serius. Perusahaan ini menghadapi aksi protes dari karyawan karena gaji yang belum dibayar, juga terlibat dalam skandal korupsi manajemen yang merusak reputasi.

Selain itu, perusahaan ini—melalui karyawan—diketahui terlibat dalam pinjaman online, yang menunjukkan adanya masalah dalam pengelolaan keuangan, ditambah praktik window dressing, di mana perusahaan menampilkan laporan keuangan yang menyesatkan untuk memberikan kesan yang lebih baik dari kondisi sebenarnya, turut memperparah situasi.

Kombinasi dari masalah-masalah ini menunjukkan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan perusahaan negara. Kegagalan untuk mengatasi isu-isu ini tidak hanya berdampak pada stabilitas finansial perusahaan, tetapi juga pada kepercayaan publik dan karyawan.

Kondisi BUMD Mengkhawatirkan

Di sisi lain, perusahaan milik pemerintah daerah, atau BUMD, juga menghadapi tantangan berat. Dari total 1.057 BUMD yang ada, sekitar 30% dilaporkan mengalami kerugian finansial. Masalah yang sama seperti dihadapi BUMN farmasi, seperti:

1. Kehabisan modal dikarenakan modal disetor dijadikan modal usaha yang merugikan, ditambah beban usaha yang terus menggulung modal tersebut.

2. Tatakelola yang buruk, juga menjadi kendala utama bagi banyak BUMD. Ketidaksesuaian visi, misi, tujuan jangka panjang, terhadap Rencana Kerja Anggaran (RKA), bahkan implementasi RKA yang jauh dari rencana awal. Beberapa perusahaan ini bahkan terpaksa ditutup akibat kasus pengelolaan yang tidak efektif.

3. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kasus penggelapan uang sarat terjadi di BUMD, modus ini bisa berupa pengelembungan (markup) proyek, fee dari pihak ketiga, dan pembiayaan fiktif. Di sisi lain, tidak mudah bagi BUMD untuk menolak titipan karyawan hingga direksi dari pejabat publik daerah atau kekuatan politik lainnya (tim sukses, misalnya).

Sebagai contoh, ada BUMD yang menabrak ketentuan PP 54/2017 tentang BUMD di antaranya, batas usia minimal dan maksimal direksi/komisaris/dewan pengawas, yang memaksakan “ordal” untuk masuk padahal ketentuan tersebut belum diatur dalam Perda.

4. Interpretasi multitafsir terhadap PP 54/2017 pasal 57 berbunyi, “Untuk dapat diangkat sebagai anggota Direksi, yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai berikut:” huruf (l) “Tidak sedang menjadi pengurus partai politik, calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, dan/atau calon anggota legislatif.

Ini menimbulkan multitafsir, apakah huruf (l) tersebut berlaku saat pengangkatan/pelantikan, atau berlaku sejak persyaratan administratif seleksi calon direksi/komisaris/dewan pengawas BUMD sehingga tidak kental tekanan politik agar pengelolaan BUMD murni dari karier nonpolitik.

Kondisi ini menegaskan perlunya keseriusan kebijakan Kementerian BUMN (KBUMN) dan kepala daerah agar BUMN dan BUMD ini dapat dikelola secara profesional dan berorientasi bisnis yang berkelanjutan.

Peran pemegang saham—KBUMN dan pemerintah daerah, adalah memastikan bahwa perusahaan pelat merah ini dapat beroperasi secara efisien, mengoptimalkan sumber daya, berorientasi pelanggan & pasar, menghasilkan keuntungan finansial, dan berkontribusi secara positif terhadap perekonomian, melalui rapat berkala pemegang saham atau perwakilan pemegang saham dengan para pengurus perusahaan.

Memerah Perusahaan

Untuk mengatasi krisis yang melanda BUMN dan BUMD, diperlukan reformasi menyeluruh yang mencakup peningkatan transparansi, penegakan hukum terhadap korupsi, serta perbaikan pengelolaan keuangan dan operasional.

KBUMN, pemerintah daerah, dan pihak terkait harus bekerja sama untuk memastikan perusahaan-perusahaan pelat merah berfungsi secara efisien dan memberikan kebermanfaatan maksimal bagi masyarakat.

Memerah perusahan pelat merah, agar mendatangkan “susu segar” bagi korporasi memerlukan pengelolaan profesional, mulai dari 1) rekrutmen dan seleksi karyawan, direksi, hingga komisaris/dewas; 2) penerapan tata kelola yang baik (Good Corporate Governance/GCG); 3) pengembangan produk dan pasar yang kompetitif menjadi fokus utama, agar merek-merek yang ditawarkan perusahan ini mampu diterima di pasar; dan 4) pemantauan laba perusahaan secara rutin—bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan—adalah kunci untuk menjaga performa finansial dan kontribusi positif bagi semua pemangku kepentingan.

Reformasi yang efektif akan memulihkan kepercayaan publik dan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih sehat dan berkelanjutan. Dengan pendekatan serius dan berkelanjutan, masalah ini dapat diatasi, memungkinkan perusahaan-perusahaan milik negara berfungsi secara optimal. (*)

________________________________

*Dr. Antoni Ludfi Arifin adalah Pendiri Forum Doktor Bisinis Indonesia (FORDOBI), Sekjen Ikatan Doktor Alumni UNJ, Wakil Ketua Umum Asosiasi Praktisi Human Resource Indonesia (ASPHRI), Penulis buku-buku Kepemimpinan, & Associate Professor di Institut STIAMI.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved