Mengulik Isi Hati (Calon) Pewakif
Potensi wakaf uang di Indonesia sangatlah besar, diperkirakan mencapai Rp 188 triliun per tahun. Melihat peluang ini, tak heran jika Pemerintah Indonesia meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang pada 25 Januari 2021. Gerakan ini tidak hanya berfokus pada aspek keagamaan, tetapi juga bertujuan untuk menciptakan dampak ekonomi yang lebih luas.
Namun, sayangnya, potensi besar ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Hingga saat ini, nilai wakaf yang berhasil terkumpul baru mencapai Rp 2,23 triliun — kurang dari 2% dari total potensi yang ada.
Padahal, pengembangan wakaf uang bisa menjadi motor penggerak dalam mendukung sektor-sektor penting seperti pembiayaan UMKM, pendidikan, hingga fasilitas kesehatan. Dengan optimalisasi wakaf uang, Indonesia juga bisa mengurangi defisit anggaran dan ketergantungan pada utang, sekaligus meningkatkan kesejahteraan sosial.
Salah satu kunci sukses dalam memaksimalkan potensi wakaf uang adalah keberadaan para pewakif — mereka yang bersedia mendermakan hartanya di jalan Allah. Pewakif memiliki peran penting karena mereka mengalihkan hak kepemilikan pribadi menjadi kepemilikan publik untuk kemaslahatan umat.
Oleh karena itu, memahami aspirasi dan persepsi para pewakif serta calon pewakif menjadi sangat krusial dalam menyusun strategi pengumpulan wakaf yang efektif. Lembaga wakaf harus mampu membaca motivasi dan pola pikir pewakif agar strategi yang diterapkan tepat sasaran.
Meski penelitian tentang wakaf, khususnya persepsi calon pewakif, telah berkembang pesat, sayangnya hasil-hasil penelitian tersebut masih kurang tersosialisasikan. Sebagian besar penelitian ini dipublikasikan di jurnal internasional yang berbahasa Inggris dan aksesnya terbatas, sehingga pengetahuan penting ini belum tersebar luas di masyarakat.
Melalui tulisan ini, saya mencoba merangkum beberapa temuan penting dari para ahli untuk memperluas pemahaman mengenai potensi besar wakaf uang di Indonesia.
Pandangan Teori Perilaku
Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior atau TPB), yang dikembangkan oleh Icek Ajzen pada tahun 1991, adalah kerangka kerja yang digunakan untuk memprediksi dan memahami perilaku manusia. Teori ini berpendapat bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu tindakan merupakan faktor utama yang menentukan apakah perilaku tersebut akan benar-benar terjadi.
TPB terdiri dari tiga komponen utama: sikap (penilaian positif atau negatif individu terhadap perilaku), norma subjektif (tekanan sosial yang dirasakan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku), dan kontrol perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control), yaitu persepsi mengenai kemudahan atau kesulitan dalam melaksanakan perilaku tersebut, serupa dengan konsep efikasi diri.
Ketiga komponen ini bekerja bersama untuk membentuk niat seseorang, yang kemudian memprediksi kemungkinan dilakukannya perilaku tersebut. TPB menekankan bahwa semakin kuat niat seseorang, ditambah dengan kontrol yang memadai, semakin besar peluang perilaku itu dilakukan. Kesederhanaan dan kemampuannya untuk mengintegrasikan faktor-faktor motivasional menjadikan TPB sebagai model yang populer dalam memahami perilaku manusia (Godin & Kok, 1996).
Menelisik Isi Hati Pewakif Golongan Menengah Bawah dan Menengah Atas
Sebuah studi yang dilakukan oleh Maulina et al. (2023), yang melibatkan 570 responden, memberikan wawasan penting tentang faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi wakaf tunai di antara berbagai kelompok pendapatan umat Muslim di Indonesia.
Studi ini menggunakan kerangka Teori Perilaku Terencana (TPB). Temuan menunjukkan bahwa individu dari kelas menengah atas cenderung termotivasi oleh keyakinan agama dan nilai-nilai yang mereka anut, melihat wakaf tunai sebagai cara untuk memenuhi kewajiban agama serta memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Religiusitas dan manfaat yang dirasakan secara signifikan membentuk sikap mereka terhadap wakaf tunai.
Sebaliknya, kelas menengah bawah menunjukkan pola perilaku yang berbeda. Niat mereka untuk berpartisipasi dalam wakaf tunai lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti norma sosial, kepercayaan, pengetahuan, perasaan mampu mengontrol perilaku, serta manfaat yang dirasakan.
Tidak seperti kelas menengah atas, sikap dan religiusitas tidak berperan besar dalam keputusan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan sosial dan pendapat orang lain memiliki pengaruh lebih besar bagi kelompok ini, menyoroti pentingnya komunitas dan jaringan sosial dalam membentuk keputusan terkait wakaf tunai.
Dalam studi lain, Maulina et al. (2023) mewawancarai 20 responden dari tiga kota besar di Indonesia dan mengelompokkan umat Muslim kelas menengah atas ke dalam enam kluster berdasarkan karakteristik psikografis terkait partisipasi wakaf tunai. Kluster pertama dan kedua termotivasi oleh tanggung jawab keluarga dan kewajiban agama, meskipun kluster kedua juga dipengaruhi oleh rasionalitas ekonomi, yang melihat wakaf tunai sebagai kombinasi amal dan investasi.
Kluster ketiga menunjukkan motivasi rendah karena kurangnya pengetahuan tentang manfaat wakaf tunai dan minimnya keuntungan pribadi yang dirasakan. Kluster keempat dimotivasi oleh pertimbangan keluarga dan komunitas, namun mereka kurang memprioritaskan manfaat ekonomi.
Kluster kelima didorong oleh keterlibatan komunitas dan tanggung jawab etis, tetapi mereka menghadapi tantangan jika program wakaf tidak selaras dengan nilai etis mereka. Kluster terakhir dipengaruhi oleh ajaran agama dan pertimbangan etis, dengan fokus utama pada kewajiban spiritual daripada manfaat ekonomi.
Segmentasi ini mengungkapkan motivasi dan hambatan yang beragam, yang dapat membantu dalam merancang strategi efektif untuk meningkatkan partisipasi wakaf tunai di Indonesia.
Meneropong Aspirasi Antar Generasi
Studi yang dilakukan oleh Jatmiko et al. (2024) mengeksplorasi perbedaan perilaku di antara berbagai generasi di Indonesia terkait partisipasi dalam wakaf tunai. Penelitian ini memperluas Teori Perilaku Terencana (TPB) dengan menambahkan variabel religiusitas dan pengetahuan untuk melihat pengaruhnya terhadap niat berwakaf.
Survei ini melibatkan 684 responden dari berbagai provinsi di Indonesia, mencakup empat generasi utama: Baby Boomers, Generasi X, Generasi Y (Millennials), dan Generasi Z. Hasil studi menunjukkan bahwa religiusitas, pengetahuan, sikap, norma subjektif, serta kontrol perilaku yang dipersepsikan (Perceived Behavioral Control atau PBC) mempengaruhi niat berwakaf secara langsung maupun tidak langsung, dengan variasi berdasarkan karakteristik tiap generasi.
PBC muncul sebagai faktor paling signifikan yang memengaruhi niat di seluruh generasi, sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyoroti pentingnya PBC dalam niat berperilaku.
Penelitian ini juga menemukan bahwa religiusitas tidak langsung mempengaruhi niat untuk menyumbangkan wakaf tunai, melainkan melalui pembentukan sikap positif terhadap wakaf. Pengetahuan juga berperan penting, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam mempengaruhi niat berwakaf, yang menekankan pentingnya literasi dan pendidikan terkait wakaf.
Generasi yang lebih muda, terutama Generasi Y dan Z, lebih dipengaruhi oleh norma subjektif dan PBC. Artinya, mereka lebih terpengaruh oleh pendapat serta harapan dari orang-orang di sekitar mereka, seperti keluarga, teman, dan komunitas. Mereka cenderung menghargai persetujuan sosial, dan lebih mungkin berpartisipasi dalam wakaf tunai jika mendapat dukungan dari lingkungan mereka.
PBC sangat penting bagi generasi ini, menunjukkan bahwa persepsi tentang kemudahan atau kesulitan dalam berwakaf memainkan peran signifikan dalam keputusan mereka. Generasi Y dan Z cenderung memilih platform yang menawarkan proses yang sederhana dan mudah digunakan.
Penelitian lain oleh Nour Aldeen et al. (2022) yang menganalisis 20 responden di Pulau Jawa menemukan bahwa Generasi Y atau Millennial memiliki pemahaman yang terbatas tentang dampak penuh dari wakaf tunai dan fleksibilitas kontribusi. Meskipun mereka sadar akan tujuan umum wakaf tunai, banyak dari mereka belum sepenuhnya memahami bagaimana kontribusi kecil mereka dapat memberikan dampak signifikan.
Sebaliknya, niat Baby Boomers lebih banyak dipengaruhi oleh PBC. Keputusan mereka untuk berwakaf terutama didorong oleh keyakinan dalam kemampuan mereka untuk berkontribusi, baik secara finansial maupun dalam praktik berwakaf. Generasi ini menghargai kontrol atas keputusan mereka sendiri dan kurang dipengaruhi oleh tekanan sosial atau pendapat orang lain.
Tidak seperti generasi yang lebih muda, Baby Boomers cenderung membuat keputusan berdasarkan keyakinan pribadi dan keadaan individu, memprioritaskan stabilitas dan keandalan program wakaf daripada mencari validasi sosial.
Aspirasi dari Pengguna Aplikasi Crowdfunding
Mekanisme pengumpulan dana melalui urunan (crowdfunding) telah menjadi cara yang umum untuk melaksanakan wakaf tunai, karena memungkinkan partisipasi dari berbagai kalangan. Penelitian oleh Masrizal et al. (2023), yang melibatkan 330 responden, meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pengguna aplikasi wakaf crowdfunding di Indonesia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Model Penerimaan Teknologi (Technology Acceptance Model atau TAM) memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap niat pengguna untuk memanfaatkan crowdfunding berbasis wakaf tunai. Faktor-faktor seperti persepsi kemudahan penggunaan dan kegunaan yang dirasakan terbukti secara signifikan memengaruhi keputusan individu untuk berpartisipasi dalam model ini.
Sebaliknya, Teori Penerimaan dan Penggunaan Teknologi Terpadu (Unified Theory of Acceptance and Use of Technology atau UTAUT2) tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap niat pengguna untuk menggunakan model crowdfunding wakaf tunai.
Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti pengaruh sosial, kondisi yang mendukung, dan motivasi hedonis, yang menjadi elemen utama dalam UTAUT2, mungkin tidak berperan sebesar yang diharapkan dalam konteks penggunaan crowdfunding untuk wakaf tunai.
Rekomendasi Kebijakan
Berbagai strategi dapat diterapkan untuk meningkatkan partisipasi dalam inisiatif wakaf tunai di Indonesia. Lembaga wakaf dan lembaga keuangan syariah perlu menerapkan pendekatan pemasaran yang tematik dan tersegmentasi, memanfaatkan analisis psikografis untuk memahami motivasi beragam dari kalangan Muslim menengah ke atas serta kelompok generasi berbeda (Baby Boomers, X, Y, dan Z).
Dengan membangun hubungan personal yang kuat dan memanfaatkan motivasi religius, lembaga keuangan syariah bisa mengembangkan produk wakaf yang inovatif, menyeimbangkan aspirasi spiritual dan finansial. Ini memungkinkan mereka untuk menarik kelompok-kelompok tertentu berdasarkan prioritas yang berbeda, seperti rasionalitas ekonomi atau motivasi keagamaan.
Peningkatan transparansi dan akuntabilitas juga sangat penting. Badan Wakaf Indonesia diharapkan dapat menerapkan regulasi yang lebih ketat untuk memastikan alokasi dana wakaf yang tepat dan efisien. Selain itu, dukungan pemerintah sangat diperlukan, termasuk dalam bentuk kampanye kesadaran nasional, regulasi yang mendukung, serta kebijakan yang memfasilitasi kontribusi wakaf, seperti insentif pajak dan proses berwakaf yang disederhanakan.
Adopsi platform crowdfunding digital dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan pengumpulan dana wakaf, meningkatkan efisiensi, serta memperluas partisipasi. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat bersama-sama memajukan wakaf tunai di Indonesia, guna menciptakan masa depan yang lebih baik dan sejahtera bagi bangsa. (*)
_________________________________________________
*Eko Fajar Cahyono, Dosen dan Peneliti Departemen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Binis Universitas Airlangga, Surabaya