Economic Issues

Daya Beli Konsumen Berpotensi Tumbuh Pasca Penurunan BI Rate 6%

Fithra Faisal Hastiadi, Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Indonesia. (Foto: Audrey/SWA)

Bank Indonesia menetapkan untuk menurunkan suku bunga acuan BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) atau menjadi 6%. Penurunan suku bunga acuan ini merupakan penurunan pertama kali sejak Februari 2021.

Ekonom PT Samuel Sekuritas Indonesia dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, penurunan BI Rate ini akan memicu kelonggaran finansial terhadap perekonomian dan menjadi pendorong sektor usaha. Contohnya, sektor properti dan perbankan, ritel dan otomotif. “Menurut saya jika suku bunga sudah turun seperti ini, harusnya tingkat konsumsi berpotensi rebound meskipun butuh waktu karena sekarang daya beli kelas menengah sedang tertekan,” ujar Fithra di Jakarta, (Kamis, 19/9/2024).

Dia berpendapat penurunan suku bunga acuan ini membuka ruang kepada pelaku industri mendapatkan akses pendanaan yang relatif lebih murah dibandingkan periode sebelumnya. Pelaku usaha berpeluang besar melakukan ekspansi. "Tentunya, ini bisa mendorong konsumsi,” tambahnya.

Dia menjelaskan dampak dari kebijakan BI Rate itu diproyeksikan pada jangka menengah-panjang agar mendongkrak pertumbuhan ekonomi akan bisa meningkat. "Adanya penurunan suku bunga 25% ini, membuka ruang pertumbuhan melalui daya beli masyarakat atau konsumen," terangnya. Ke depannya, kebijakan fiskal yang lebih longgar bisa meningkatkan daya beli masyarakat. “Dari sisi ini bukan hanya BI tapi juga melibatkan porsi dari kebijakan pemerintah. BI melakukan tindakan dalam memberikan keleluasaan ekonomi karena dari sisi monitor lebih loose, lebih relax,” terangnya.

Dia berharap wacana kenaikan pajak pertambahan nilai, iuran Tapera, dana pensiun yang bertambah, tarif biaya cukai dan isu-isu lain yang sedang berkembang itu ditunda agar meringakan beban pengeluaran kelas menengah. "Sementara dari sisi lain menurunkan ongkos pembiayaan itu sangat baik efeknya untuk bisnis maupun keperluan yang bersifat konsumtif. Jadi, perlu ada dua kombinasi antara sisi monitor dan sisi fiskal,” jelasnya.

Sebelumnya, Bank Indonesia pada 18 September 2024 memutuskan untuk menurunkan BI-Rate sebesar 25 basis poin (bps) atau menjadi 6%. Penurunan suku bunga acuan ini merupakan penurunan pertama kali sejak Februari 2021. Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan keputusan ini konsisten dengan tetap rendahnya perkiraan inflasi pada 2024 dan 2025 . “Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 September 2024 memutuskan untuk menurunkan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 6%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 6,75%,” ujarnya di Jakarta, Rabu (18/9/2024).

Dia menyebutkan keputusan BI ini sejalan dengan sasaran inflasi 2,5±1%, penguatan dan stabilitas nilai tukar Rupiah dan perlunya upaya untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi. Ke depannya, Bank Indonesia terus mencermati ruang penurunan suku bunga kebijakan sesuai dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah, nilai tukar Rupiah yang stabil dan cenderung menguat, serta pertumbuhan ekonomi yang perlu terus didorong agar lebih tinggi.

Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran juga terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, termasuk UMKM dan ekonomi hijau, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.

“Kebijakan sistem pembayaran diarahkan juga untuk turut mendorong pertumbuhan, khususnya sektor perdagangan dan UMKM, memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran,” tuturnya. (*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved