Perjalanan Ben Wirawan Membangun Torch dari Nol Hingga Tumbuh 100 Kali Lipat
Beberapa kali gagal menjalankan bisnis, Ben Wirawan pantang menyerah. Berikutnya, mengembangkan brand perlengkapan traveling Torch selama 9 tahun dengan pertumbuhan 100 kali lipat. Bagaimana lika liku perjalanan bisnisnya?
Buah dari Mentorship
Bagi anak-anak muda, tas Torch pasti tidak asing lagi. Merek tas ini kerap dipakai untuk sekolah, kuliah, bekerja atau kegiatan di luar rumah lainnya, baik pria maupun wanita. Tas ini bahkan kerap dikira produk buatan uar negeri, lantaran kualitasnya prima dan ada garansi. Padahal, Torch adalah produk asli Indonesia yang berasal dari Bandung, Jawa Barat.
Sosok di balik kehadiran Torch adalah Ben Wirawan. Pria lulusan Desain Produk Industri dari ITB Bandung ini mengaku sudah jatuh bangun membangun bisnis. Beberapa bisnis yang pernah dia rintis adalah konsultan desain dan produksi t-shirt merek Maha Nagari. Namun, semuanya tidak berkembang.
“Torch bukanlah perusahaan pertama saya, tapi hasil mentorship. Tahun 2013, saya sengaja mencari mentor-mentor bisnis di Indonesia yang mengerti bisnis ritel. Kebetulan saya dapat mentor yang membeli sebagian saham di tempat saya, yaitu pendiri perusahaan fashion Zoya dan Shafira,” ujar Ben mengwali ceritanya kepada Swa.co.id.
Sebagai mentee, Ben mengaku digembleng jadi semacam supplier di perusahaan owner Zoya dan Shafira sambil belajar bisnis ritel, tentang pergudangan, pemasaran dan macam-macam. Waktu itu ada target tertentu yaitu diminta mengembangkan sebuah bisnis di bawah merek Zoya yang nilainya bisa Rp10 miliar.
“Susah memang. Tapi, saya dan tim berhasil mewujudkan bersama teman (Hanafi Salman) dari jurusan Desain Produk Industri ITB,” katanya lagi
Setelah itu, Ben diminta bikin proposal yang lebih besar dari pencapaian bisnis Rp10 miliar, yaitu Rp11,5 miliar. Proposal pertama dan kedua ditolak. Akhirnya yang diterima proposal ketiga, yaitu Torch, sebuah perusahaan yang mengembangkan peralatan traveling. Mereka melihat prospek Torch akan menjadi sesuatu pasar yang besar. Mengapa?
“Indonesia memiliki kelebihan, penduduk yang sangat besar sebagai potensi pasar. Selain itu, belakangan terjadi tren makin banyak orang melakukan traveling, sedikit-sedikit healing. Secara industri, tahun 2024 saja diperkirakan nilai pasar industri traveling sekitar Rp57 triliun,” Ben menguraikan.
Industri traveling itu, secara market hanya belasan persen saja pasarnya yang dikuasai oleh brand internasional atau merek-merek besar. Masih ada 85 persen peluang pasar yang bisa dikuasai oleh siapapun. Pasar yang menarik, tapi cukup sulit dimasuki. Sebab, dibutuhkan supply chain yang bagus dan desain-desain yang inovatif.
Jatuh Bangun
Torch dimulai tahun 2015. Modal saat memulai usaha dari mentor sebagai angel investor dan digabung dengan modal pinjaman P2P Lending terkumpul sekitar Rp1 miliar. Sementara jumlah karyawan di awal 6 orang (termasuk Ben) dan sekarang total 120 orang. Setelah 9 tahun atau di 2024, kinerja Torch tumbuh lebih dari 100 kali lipat dibandingkan satu tahun pertama.
Pada dua tahun pertama berdiri, penjualan Torch masih dilakukan offline melalui konsinyasi ke beberapa toko di seluruh Indonesia. Ternyata model bisnis seperti itu tidak ideal, karena menagih pembayarannya sulit.
Akibatnya, cashflow perusahaan tidak terprediksi dan planning bisnis sulit berjalan. Akhirnya, tahun 2017 diputuskan untuk menghentikan pola konsinyasi. Kebetulan sejak awal tahun 2016 sudah mulai belajar digital marketing dan cukup berhasil di kuartal IV/2016.
Tahun 2017, perusahaan-perusahal peralatan travelling belum masuk ranah pemasaran digital. Dan Torch saat itu memutuskan inilah momen yang tepat untuk masuk penjualan online. Keputusan yang jitu, karena dalam perkembangannnya, penjualan Torch terus melesat.
“Enaknya online itu penjualan bersifat cash and carry, sehingga pertumbuhan cashflow perusahaan sangat bagus,” ucap Ben menerangkan alasannya pilih jalur penjualan daring.
Produk ritel itu harus mempersiapkan inventori sebelum dijual. Hal ini perlu didukung oleh product development kreatif, marketing bagus, research and development bagus, dan finansial kuat. “Sebenarnya, dari dulu yang kami alami dalam menjalankan bisnis adalah kesulitan masalah finansial,” ujarnya karena tidak ada agunan besar untuk mendapatkan pembaiayaan bank.
Kemudian, tahun 2017 penjualan Torch masuk ke Facebook, selanjutmya ke marketplace seperti Tokopedia dan Shopee.
Kesulitan keuangan untuk mengembangkan Torch yang dialami Ben dan Hanafi akhirnya dibantu oleh teman-temannya yang bergelut di bisnis fintech P2P Lending. Modal inilah yang mengiringi pertumbuhan Torch dari tahun ke tahun.
Omzet Torch tahun 2015 sebesar Rp900 juta, tahun 2016 Rp 1 miliar, tahun 2017 di atas Rp1 miliar dan tahun 2023 sudah mencapai level Rp100 miliar per tahun. Tahun 2024 ditargetkan bisa naik di atas Rp100 miliar.
Kejadian pandemi bagi penjual online di awal memang pukulan berat, karena omzet merosot, namun selanjutnya justru meningkat pesat. “Saat pandemi ada aturan social distancing itu membuat penjualan tas Torch menurun 50%. Akhirnya, kami berpikir produk apalagi ya yang bisa digunakan di luar rumah selain tas besar seperti koper atau tas kerja. Lalu, kami memperbesar produksi tas kecil seperti tas untuk naik sepeda, jalan kaki, lari, tas kecil dokter atau bepergian dekat. Ternyata, respons pasar sangat bagus,” cerita Ben mengenang perjuangan Torch untuk survive dari hantaman pandemi Covid-19.
Selain itu, Torch membuat alat pelindung diri (APD) pakaian medis untuk para dokter dan tenaga kesehatan dengan harga Rp15 ribu sekali pakai. Dulu, APD Torch itu viral karena harganya terjangkau. Tidak dinyana, penjualan APD itu mampu meningkatkan porsi kontribusi penjualan Business to Business (B2B) Torch yang sebelumnya didominasi penjualan ritel ke konsumen.
“Bagi kami penjualan online saat pandemi tahun 2019-2021 bukanlah migrasi, karena Torch sudah terbiasa melakukan digital marketing. Justru penjualan Torch terus meningkat meski pandemi,” Ben mengungkapkan.
Jika tahun 2017 – 2023, penjualan Torch mayoritas di platform online selama 6 tahun, namun setahun terakhir sudah merambah omnichannel, di mana Torch buka beberapa toko offline. Jadi, sifatnya O2O dari online ke offline. Kini, sudah ada 9 toko offline. Konsepnya ada yang di mal, ada yang berdiri sendiri di pinggir jalan. Masing-masing punya karakter dan segmen.
“Brand masuk ke mal bertujuan untuk statement. Untuk pengembangan cepat, justru di pinggir jalan. Di dalam toko offline Torch juga dilakukan penjualan online melalui Live TikTok dan Live Shopee,” tutur Ben.
Empat Rencana
Beberapa strategi siap dijalankan oleh Ben untuk mengembangkan Torch. Pertama, akan mengembangkan varian produk inovatif. Saat ini ragam produk Torch ada 400 SKU. Harganya mulai Rp 50 ribu – Rp 1,2 juta per unit. Produk best seller Torch adalah sling bag kecil, backpack, dan sandal umrah/haji. Adapun target pasar Torch adalah middle market dengan rentang usia 18-45 tahun pria dan wanita.
Kedua, membuka puluhan toko baru. “Selama tiga tahun ke depan, target kami memiliki 50 toko offline Torch di Indonesia,” kata Ben. Saat ini, sudah ada 9 toko Torch, lokasinya tersebar di Bandung, Tangerang, Bekasi, Depok, Yogyakarta, Malang, Makassar, Medan, serta Lampung. Luas tiap toko sekitar 60-70 meter persegi. Investasi pembukaan satu toko sekitar Rp500 juta dan break event point pada tahun ke-2.
Ketiga, bekerja sama dengan banyak mitra pabrik dan UMKM. Selama ini aneka produk Torch memang bukan diproduksi di pabrik sendiri. Melainkan berkolaborasi dengan sejumlah pabrik dan pelaku bisnis UMKM. Misalnya produk tas ransel ada pabrik sendiri, sandal ada mitra sendiri, dompet atau tas-tas kecil ada juga UMKM binaan. “Meski begitu, quality control tetap ada di tangan Torch,” tegas Ben.
Menurut Ben, timTorch yang mendesain produk dan yang memproduksi diserahkan ke pabrik jika kategori produk besar, sedangkan ke UMKM jika kategori produknya kecil. Untuk gudang diserahkan kepada pihak ketiga di Depok sebagai pengelola. Adapun lokasi UMKM mitra Torch ada puluhan ada di Tangerang, Garut, Bandung, Sleman, Yogyakarta, Malang dan sebagainya.
“Mobil operasional Torch juga diserahkan ke pihak ketiga. Inilah yang disebut dengan model bisnis Slim Startup. Torch adalah perusahaan rintisan yang ramping,” ujarnya. Itulah sebabnya Torch berkembang cepat. Bisnis-bisnis yang bukan inti atau penting bagi Torch, diserahkan kepada pihak ketiga.
Ben menggarisbawahi bahwa kompetensi inti Torch adalah bidang management talent, supply chain management, research and development, serta branding & marketing.
Rencana keempat, mengembangkan model bisnis omnichannel, dari online ke offline (O2O). Selama ini komposisi kontribusi pendapatan: penjualan online 75% dan offline 25%.Penjualan pola B2B (15-20%) dari perusahaan pertambangan, perkebunan dan lainnya, sedangkan ritel (80-85%).
“Ke depan, mimpi Torch adalah mengembangkan solusi dan inovasi kebutuhan perlengkapan orang ketika keluar rumah, baik itu untuk pergi ke gym, sekolah, kantor, ibadah umrah dan haji, ke pasar, ladang, proyek lapangan dan sebagainya,” kata Ben.
Ben mengaku sejatinya pasar luar negeri sudah dirambah Torch secara online. ”Kami pernah juga menjual Torch di Amazon bisa mencapai omzet Rp300-400 juta sebulan. Hampir dua tahun belajarnya untuk tembus ke pasar Amerika. Penjualan sekarang masih bagus, tapi masalah distribusi barang sering kosong yang tidak kekejar untuk pengiriman cepat,” ungkapnya yang ingin segera mendapat solusi soal distribusi ke mancanegara ini.
Ya, Torch adalah perusahaan kreatif, atau jualan ide. Tantangannya adalah harus bisa me-maintain talenta. “Kami ingin mewujudkan brand lokal yang bisa handle di luar rumah ini bisa mendunia,” ucap Ben.
Prospek Torch tentu sangat menjanjikan mengingat brand ini bak seorang gadis seksi yang dilirik oleh beberapa venture capital untuk memberikan pendanaan seri A. (*)